Narasi

Lebaran ala Nusantara; Modal Kultural Membangun Etos Moderasi Beragama

Momentum Idulfitri atau Lebaran di Indonesia memiliki kekhasan yang tidak ada di negara muslim lain. Seorang kerabat dekat yang lama bekerja berpindah-pindah di sejumlah negara Timur Tengah bercerita bahwa perayaan Idul Fitri di kawasan tersebut tidak semeriah di Indonesia. Justru perayaan Idul Adha jauh lebih meriah ketimbang Idulfitri. 

Di Indonesia, Idulfitri memang bukan lagi semata acara keagamaan. Idulfitri lebih mirip seperti event kebudayaan kolosal yang dirayakan oleh seluruh masyarakat lintas-golongan. Penulis yang tinggal di lingkungan yang bisa dikatakan plural, mengalami sendiri bagaimana Idulfitri dirayakan tidak hanya oleh umat Islam, namun juga umat agama lain.

Ketika Lebaran, tetangga yang beragama non-muslim bahkan ikut open house, mereka membuka lebar rumahnya, siap menerima kedatangan tamu. Tidak lupa mereka menyediakan camilan, lengkap dengan angpao untuk para bocah yang di hari Lebaran antusias berburu uang jajan dadakan. Sebuah pemandangan yang menerbitkan optimisme bahwa pluralitas bukan penghalang untuk kita bersaudara.

Di momen Lebaran, semua orang tampak bahagia. Senyum tersungging di bibirnya. Kalimat “minal aidzin wal faidzin” senantiasa terucap dari bibir ketika bersemuka dengan keluarga, teman, tetangga, bahkan orang yang tidak dikenal sekalipun. Tidak ada sekat ideologis. Bahkan, perbedaan politik pun seolah luruh pada momen Lebaran. 

Lebaran dan Potret Kerukunan Masyarakat Nusantara

Protret kerukunan di tengah masyarakat pada momen Lebaran ini sebenarnya bukan fenomena baru. Dalam disertasinya berjudul “Relasi Mutualistik Komunitas Tionghoa dan Keturunan Arab di Kawasan Pesisir Utara Jawa Tengah”, Ahmad Kurniawan menuliskan bahwa di era kolonialisme, komunitas keturunan Tionghoa dan keturunan Arab telah bahu-membahu dalam merayakan Idulfitri.

Kala itu, di perkampungan-perkampungan pesisir Jawa Tengah bagian Utara, Lebaran dirayakan meriah oleh beragam acara kebudayaan. Seperti lomba balap perahu, pasar malam, dan sebagainya. Para penggagasnya adalah komunitas keturunan Tionghoa dan keturunan China. 

Kurniawan menjelaskan kuliner lebaran masyarakat Jawa Tengah identik dengan ketupat, lontong, sayur lodeh, mie goreng, dan opor ayam, serta jajanan tradisional, itu merupakan bentuk akulturasi budaya dari beragam etnis yang ada di Jawa dan Nusantara pada umumnya.

Lebaran ala Nusantara inilah yang hingga saat ini dilestarikan masyarakat Indonesia modern. Bagi umat Islam Indonesia, lebaran tidak cukup hanya mengumandangkan takbir dan sholat Ied. Lebaran belum lengkap tanpa kuliner khas sekaligus acara-acara kebudayaan. Bahkan, di daerah pesisir pantai Utara Jawa Tengah, tradisi balap perahu dan pasar malam Lebaran masih langgeng hingga sekarang. 

Fenomena Lebaran ala Nusantara ini mengandung makna penting terkait toleransi dan etos moderasi beragama. Toleransi adalah prinsip berbagai ruang dan bekerjasama dalam kehidupan tanpa memandang perbedaan suku, ras, bangsa, agama, dan budaya. Prinsip berbagi ruang ini diterapkan oleh masyarakat Nusantara di masa lampau, termasuk dalam perayaan Idulfitri. 

Lebaran dan Etos Moderasi Beragama

Sedangkan etos moderasi beragama ialah sikap keberagamaan yang berbasis pada setidaknya lima prinsip. Yakni kesetaraan, kedamaian, anti-kekerasan, cinta tanah air, dan adaptif pada kearifan lokal. Lima prinsip itulah yang mengemuka pada tradisi Lebaran ala Nusantara. Di momen Lebaran, semua masyarakat ada dalam posisi setara.

Kaya-miskin, elite-awam, pemimpin-rakyat, semua bersuka-cita dalam kebahagiaan masing-masing. Semua saling memaafkan kesalahan dan dosa masa lampau. Secara teologis, di hari Lebaran semua umat Islam kembali suci seperti bayi baru lahir. 

Demikian pula, Lebaran selalu identik dengan kedamaian dan anti-kekerasan. Tradisi silaturahmi, halal bi halal, pertemuan keluarga dan reuni-reuni yang marak dilakukan di momen lebaran ialah simbol kerukunan, persaudaraan, dan kerukunan.

Lebaran adalah momentum tepat untuk tambah merekatkan hubungan yang sudah harmonis sekaligus menyambung silaturahmi yang barangkali sempat terputus. Di hari biasa, kita barangkali sibuk atau bahkan segan menyambung silaturahmi. Namun, di hari lebaran silaturahmi telah menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditolak. 

Terakhir, Lebaran ala Nusantara juga mencerminkan rasa cinta tanah air dan sikap adaptif pada kearifan lokal. Tradisi mudik jelang Lebaran ialah simbol kepulangan manusia menuju ke akar kultural nya. Tradisi mudik mengandung pelajaran penting bahwa sejauh apa pun kita melangkah, kita tidak boleh lupa darimana kita berasal. Kembali ke tanah kelahiran mengingatkan kita akan jatidiri kita sebagai manusia Indonesia. 

Begitu pula, bermacam tradisi dan budaya ketika Lebaran, menunjukkan Islam adaptif pada kearifan lokal Nusantara. Lebaran memberikan pelajaran penting bahwa kita tidak perlu membentur-benturkan antara Islam dan budaya lokal, karena keduanya bisa berakulturasi dan saling memperkaya.

Pesan tentang toleransi dan etos moderasi beragama ini harus kita jaga dan menjadi spirit perayaan Idulfitri. Dengan begitu, Idulfitri tidak akan hanya menjadi selebrasi tahunan nirmakna. Sebaliknya, Idulfitri akan menjadi semacam modal sosial dan kultural untuk menjaga kebinekaan NKRI di tengah gempuran perang ideologi.

This post was last modified on 21 April 2023 8:09 PM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

42 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

44 menit ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

46 menit ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago