Narasi

Ilmu Tanpa Kebijaksanaan Akan Destruktif

Ada satu ungkapan, bahwa orang pintar itu belum tentu bijaksana dan orang bijaksana pasti akan menggunakan kepintarannya untuk menebar manfaat dan maslahat. Sebab, banyak orang yang berbuat kegaduhan dan gemar menjatuhkan martabat pemimpin-nya dengan logika kepintarannya.

Ada satu buku yang ditulis oleh Jon Krakauer yaitu Into The Wild. Buku ini mengisahkan tentang perjuangan Cristopher McCandless seorang American adventure. Dirinya memilih jalan hidupnya “menyatu” dengan alam di tengah kebisingan peradaban manusia dengan segala kepentingannya (pikiran-pikiran/kecerdasan) yang sering-kali digunakan untuk membenarkan perilaku kejahatan/amoral.

Ada satu-kutipan yang menarik yang ditekankan oleh Jon Krakauer, “If Nature wealth can be controlled by the human mind. Surly this nature will be destroyed”. Bahwa, segala bentuk kekayaan (keindahan) alam jika dikuasai oleh pikiran manusia, niscaya alam itu akan rusak. Artinya secara konsekuensi logis, pikiran/kepintaran manusia itu memiliki kecenderungan politis dan keliaran-nya akan berujung destruktif.

Pikiran manusia yang disebut Jon Krakauer adalah satu dinamika di tengah banyaknya kepintaran manusia yang cenderung merusak alam. Atau dalam bahasa sederhana, ilmu/kepintaran tanpa adab/kebijaksanaan, niscaya akan destruktif. Jika pikiran-pikiran destruktif dibiarkan di negeri yang menjunjung tinggi keadaban, niscaya bangsa ini akan hancur, penuh kekacauan dan bahkan berpecah-belah, akibat semua orang menggunakan pikirannya untuk membenarkan hinaan atau kebencian.

Membantah Argumen: “Pikiran yang Dianggap Tak memerlukan Sopan-Santun

Dari konteks paradigma di atas, tentu Saya tidak sepakat terhadap argument yang disampaikan oleh Rocky Gerung. Dia menganggap bahwa pikiran tidak memerlukan sopan-santun, karena sopan-santun dianggap bahasa tubuh. Ungkapan ini pada dasarnya akan membangun ruang politik “kekacauan”.

Politik kekacauan adalah satu aktivitas dalam ranah demokrasi yang memanfaatkan kebebasan menyampaikan kritikan berwawasan destruktif. Di mana, pikiran-pikiran jahat dan secara politis memiliki kecenderungan untuk memorakporandakan tatanan. Lalu digunakan sebagai satu jalan untuk mencaci/menghina/membeni/nyinyir sebagai satu aktivitas yang dianggap “pikiran sehat” dalam sebuah demokrasi.

Sebagaimana kalau kita kembali terhadap argumen di atas. Bahwa, fungsi adab/sopan/santun yang melahirkan (kebijaksanaan) adalah cara paling etis menggunakan kepintaran kita untuk menebar kebaikan dan membawa nilai manfaat-maslahat. Sebagaimana, fungsi kepintaran itu dalam konteks (mengkritik/memberi saran) pasti menggunakan pikirannya untuk membawa perubahan/kebaikan bagi bangsa ini, bukan sekadar nyinyir atau menghina dalam pikirannya yang terarah ke dalam watak insting binatangisme.

Pikiran/ilmu/kepintaran pada dasarnya memerlukan yang namanya daya kebijaksanaan dalam bahasa agama (adab/etika). Mengapa? karena ilmu tanpa kebijaksanaan pada dasarnya akan berujung destruktif. Sebab, menggunakan kepintarannya untuk melakukan satu tindakan yang bisa menyakiti perasaan orang lain dan menggunakan kepintarannya untuk membenarkan perilaku yang kurang bijak dipelintir agar menjadi benar.

Jadi, ungkapan “tolol” “bajingan” terhadap pemimpin yang sah ada satu aktivitas pikiran dengan dasar “kepintaran/ilmu” yang tidak diimbangi adab/etika/kebijaksanaan. Hal ini pada dasarnya akan bersifat destruktif, karena mengajarkan orang dengan pikiran-pikirannya untuk menyampaikan hinaan serupa dengan menganggap perilaku itu benar. Sehingga, segala bentuk kebencian, hinaan dan cacian di negeri ini akan dianggap benar mengatasnamakan kebebasan demokrasi dengan kepintarannya yang tidak diimbangi dengan daya kebijaksanaan itu.

Sebagaimana dalam konteks demokrasi di negeri ini yang menunjung tinggi nilai keadaban. Maka, sangat penting pikiran-pikiran/argument/kritikan-kritikan yang didasari oleh adab/etika atau kebijaksanaan itu. Dalam konteks peranan logis, kita menyampaikan sebuah argument, bukan suara-suara sentiment.

Segala pikiran/ilmu yang didasari oleh sopan-santun atau kebijaksanaan pasti akan melahirkan “argument” yang akan tumbuh bernilai manfaat, maslahat dan manfaat. Tentu, jauh berbeda dengan ilmu/pikiran/argumentasi kritikan yang tidak didasari oleh kebijaksanaan/adab, niscaya akan destruktif membawa dampak mudharat.

This post was last modified on 9 Agustus 2023 4:33 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

22 jam ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

22 jam ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

22 jam ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago