Baru-baru ini, Filipina digoncang bom di tengah pelaksanaan Misa Katolik di gimnasium Universitas Negeri Mindanao di Marawi, Filipina Selatan (3/12/23). Kelompok ISIS dengan sergap mengklaim sebagai dalang dari serangan tersebut dengan menyebutnya sebagai tentara khilafah meledakkan pertemuan besar umat Kristen.
Dalam panggung aksi teror, rumah ibadah kerap sekali menjadi sasaran. Di Barat, Masjid menjadi sasaran teror kelompok ekstremis dengan ideologi white supremacy semisal di Selandia Baru. Di Indonesia, gereja kerap menjadi salah satu sasaran aksi teror. Misalnya, bom di 3 gereja yang dilakukan oleh satu keluarga di Surabaya atau Bom Gereja di Makassar yang dilakukan satu pasangan yang baru menikah dengan berharap bisa bulan madu di surga.
Di akhir tahun 2000, bertepatan juga dengan dua hari menjelang lebaran 1421 H, terjadi rekor ledakan bom serentak di sejumlah gereja di Indonesia pada saat Misa Natal pada minggu tanggal 24 Desember. Ledakan terjadi di di 4 gereja Batam, 1 gereja di Medan, 2 gereja di Pekanbaru, 7 gereja di Jakarta, Bekasi, 1 gereja Sukabumi, 2 gereja Bandung, 1 gereja di Kudus, 4 gereja di Mojokerto dan 3 gereja di Mataram. Aksi teror dilakukan oleh jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang sebagian besar eks kombatan Afganistan.
Dari rangkaian tersebut timbul pertanyaan kenapa gereja menjadi sasaran? Kenapa ada anggapan mengebom gereja justru menjadi ladang yang dianggap medan jihad perang untuk meraih surga? Ajaran dari mana yang membentuk pola pikir mereka?
Islam dan Komitmen Menjaga Gereja
Islam tidak pernah mengajarkan untuk mengucilkan, merusak, merobohkan, apalagi menghancurkan rumah ibadah agama lain. Tidak ada satu pun ajaran Islam yang mengabsahkan tindakan brutal merusak rumah ibadah penganut agama lain. Bahkan, dalam kondisi perang pun Nabi memberikan nasehat : janganlah berkhianat, janganlah dendam, janganlah membunuh anak kecil, perempuan, dan orang tua renta, janganlah menghancurkan pertapaan rahib, janganlah menebang kurma dan pohon, dan janganlah merobohkan bangunan.
Sangat mengherankan jika ada segelintir umat dengan pemikiran yang dangkal menyerang rumah ibadah lain dengan alasan membela agama. Sungguh ajaran yang sesat dan menyesatkan. Tidak ada satu pun landasan baik al-Quran maupun hadist Nabi yang membenarkan bom di gereja sebagai jalan menuju surga.
Dalam al-Quran, Allah telah menegaskan “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah” (QS : Al-Hajj ayat 40). Ayat ini sebagai pencegahan terhadap keganasan manusia dengan merusak rumah ibadah.
Jika merujuk pada kisah dan teladan Nabi juga tidak ditemukan landasan yang absah berupa anjuran apalagi perintah untuk menghancurkan rumah ibadah, menyerang kelompok lain, membunuh para rahib, para jemaat dan sebagainya. Nabi bahkan pernah mengizinkan tamu Nasrani untuk beribadah di masjid dalam kunjungan mereka ke Madinah.
Bisa jadi, menghancurkan rumah ibadah ada sandarannya dari kisah para sahabat dan tabiin? Ingatlah perjanjian Khalifah Umar bin Khattab ketika menaklukkan Yarussalem. Khalifah yang diajak mengelilingi kota Yerussalem oleh pendeta Sophronius ditawarkan shalat di gereja ketika waktu shalat telah tiba. Namun, khalifah menolaknya karena karena khawatir nanti umat Islam akan merubah gereja menjadi Masjid.
Lalu, Khalifah dengan tegas membuat perjanjian yang sangat fenomenal layaknya perjanjian konstitusi Madinah yang dibuat Rasulullah. Jika Rasulullah membuat kesepakatan bersama umat yang beragam di Madinah, Khalifah Umar sebagai penakluk justru memberikan jaminan luar biasa. Isi jaminan tersebut :
“Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah jaminan keselamatan yang diberikan hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, kepada penduduk Yerusalem.
Dia telah memberi mereka jaminan keamanan bagi diri mereka sendiri atas harta benda mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang yang sakit dan sehat di kota itu dan untuk semua ritual yang merupakan bagian dari agama mereka.
Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni oleh umat Islam dan tidak akan dihancurkan. Baik mereka, tanah tempat mereka berdiri, salib mereka, maupun harta benda mereka tidak akan dirusak. Mereka tidak akan dipaksa pindah agama”
Tidak boleh ada intimidasi, tidak boleh ada paksaan dan tidak ada pengrusakan kepada tempat ibadah. Itulah komitmen Islam sebagaimana ditunjukkan oleh Umar yang mempunyai sanad langsung kepada Baginda Nabi Muhammad.
Jika kita merujuk pada era keemasan Islam di bawah Khalifah Harun al Rasyid, gubernur Mesir kala itu, Musa bin Isa membuat kebijakan membangun kembali gereja-gereja yang dirusak dengan anggaran negara. Begitu pula, Umar bin Abdul Aziz pernah menulis untuk para pegawainya untuk tidak merusak sinagog, gereja, juga rumah api.
Apakah memperbaiki gereja atau menjaga gereja adalah bagian dari tolong menolong dalam maksiat? Dalam perjanjian Nabi Muhammad dengan kaum Nasrani Najran yang disebut Perjanjian Najran salah satu anjuran Nabi kepada umat Muslim adalah membantu perbaikan gereja, tempat ibadah, dan kepentingan umat Nasrani lainnya. Karena itulah, menjaga, memelihara dan membantu rumah ibadah untuk kepentingan umat yang lain adalah sunnah Nabi dan teladan dari para sahabat.
Mempertanyakan Sanad Bom Gereja
Melihat landasan dan dasar pemahaman di atas lantas ada pertanyaan : mereka yang ngebet meledakkan gereja atau rumah ibadah umat lain dengan harapan masuk surga dari mana landasannya? Dari mana anak-anak muda yang didoktrin meledakkan diri itu mendapatkan ilmu? Lalu dari mana gurunya mendapatkan sanad ilmu jika tidak ditemukan pembenaran dari ajaran Islam serta sirah Nabi, sahabat, tabiin dan ulama salafusshalih.
Dipastikan tidak ada rujukan sanad keilmuan dan pendapat dari para ulama dari tindakan melakukan pengrusakan terhadap rumah ibadah seperti gereja. Bom gereja merupakan bid’ah nyata yang sejatinya bertentangan dengan ajaran Islam. Sebuah fitnah besar yang merusak citra ajaran Islam dan umat Islam.
Para pelaku bukan mabuk agama karena banyak menyerap ilmu agama, tetapi mereka mabuk agama karena oplosan ajaran agama yang dicampur dengan bara kebencian, balas dendam dan motivasi politik. Mereka menukil dan memotong dalil untuk membenarkan tindakan keganasan, kebrutalan dan kekejian. Sungguh perilaku yang sudah melampaui batas yang sangat dibenci dalam agama.
Tentu yang sangat dikhawatirkan adalah anak-anak muda yang menjadi korban indoktrinasi semacam itu. Anak-anak muda, pasangan yang masih belia dan perempuan muda harus dikorbankan untuk melakukan aksi dengan iming-iming surga.
Jika memang impian mereka adalah masuk surga, guru dan mentornya sengaja menyembunyikan sebuah hadist penting : Barangsiapa membunuh mu’ahad (non muslim yang mengadakan perjanjian damai/dzimmi), maka tidak akan mencium bau surga. (Shahih Bukhori, XVII, 321; Sunan Ibn Majah, II, 896).
This post was last modified on 8 Desember 2023 11:42 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…