Narasi

Inilah 3 Kemudharatan, Jika Pancasila diganti dengan Khilafah

Membawa fitnah beserta tuduhan, lalu menawarkan khilafah sebagai solusi. Hal demikian sebetulnya adalah “gaya politik lama” kaum Khawarij yang sejak dulu digunakan. Ketika ingin menguasai/merampas sebuah tatanan negara. Jelas, segala bujuk-rayuannya selalu membawa dalih kesucian agama, hingga membuat kita terkecoh, tanpa disadari ini adalah bagian dari misi politik kekuasaan yang licik.

Dalam konteks argument di atas, Saya hanya ingin memaparkan 3 kemudharatan bagi bangsa ini. Ini adalah bagian dari konsekuensi etis, jika Pancasila sebagai prinsip hidup berbangsa kita, digantikan dengan khilafah. Dari 3 kemudharatan tersebut, sejatinya akan membuat kita sadar, betapa pentingnya tetap konsisten dan berkomitmen penuh terhadap Pancasila itu.

Pertama, jika Pancasila diganti dengan khilafah, maka problem pertama akan muncul semacam (subordinasi identitas). Bagaimana, kemajemukan dalam kehidupan masyarakat itu tidak lagi memiliki hak/perlakuan yang setara. Sebab, akan ada semacam subordinasi terhadap identitas-identitas lain, sehingga tindakan semena-mena dan perilaku anarkisme terhadap identitas lain akan terjadi,

Ini tidak terlepas dari esensi ideologi khilafah yang mendasari sistem bernegara bersandar pada “identitas agama” yang nantinya akan condong subjektif. Ini jauh berbeda dengan Pancasila yang mendasari (kualitas beragama) sebagai prinsip ber-masyarakat yang menjunjung kemanusiaan yang organik (sama-rata). Sebab, ideologi khilafah bukan perihal kualitas beragama sebagai acuan, tetapi identitas agama sebagai keunggulan secara politik.     

Dari situlah keseimbangan masyarakat yang majemuk akan mengalami (disentegritas). Keterasingan identitas lain akan terus tumbuh seiring perilaku semena-mena akan menjadi polemik sosial yang akan membuat keragaman/kemajemukan di negeri ini musnah. Meskipun janji-janji kelompok khilafah akan memberi hak sama atas non-muslim. Hal ini hanyalah dalih apologies di hadapan realitas subordinasi identitas secara politik itu. 

Kedua, nilai keadilan yang menggunakan standar identitas primordial. Secara phenomenologist, ideologi khilafah dalam sejarahnya memiliki semacam klaim bahwa mereka akan membangun sebuah negara yang dianggap sesuai syariat agama. Syariat agama yang dimaksud tidak terlepas dari klaim-klaim yang mendasari nilai eksklusivitas dalam beragama yang menganggap non-muslim itu menyalahi ajaran agama.

Sehingga, rasa sentiment dan dendam serta kebencian terbungkus agama akan menjadi standar identitas primordial, bagaimana keadilan itu akan berjalan. Tentu, akan berpihak dan akan selalu condong terhadap kelompok tersebut. Karena di luar kelompoknya pasti akan mengalami ketidakseimbangan perilaku yang adil. Bahkan standar keadilan yang sesuai dengan identitas primordial telah menjadi fakta di Negara Timur Tengah yang menyebabkan kemiskinan di tangan khilafah itu terjadi.

Ketiga, hukum tertinggi akan menyesuaikan kemauan pemegang kuasa (khilafah). Sebagaimana yang kita lihat saat ini, klaim Pancasila itu sesat, dianggap tidak sejalan dengan agama. Bahkan Pancasila dianggap penyebab kemiskinan, oligarki yang dianggap (perlu diganti) dengan khilafah.

Ini adalah satu konsep (prinsip hukum kelompok khilafah) dalam membenarkan sebuah perilaku dengan berbagai macam tuduhan yang dianggap benar. Yaitu menyesuaikan apa yang dikehendaki kelompok. Maka, ketika ideologi Pancasila diganti dengan khilafah, niscaya akan mudah pembantaian dan kezhaliman itu terjadi, hanya dengan modal klaim sesat/kafir dan layak untuk dibasmi.

Tiga hal yang Saya sebutkan di atas adalah satu pembacaan penting, jika Pancasila sebagai prinsip hidup dan berbangsa kita  digantikan dengan khilafah. Sebab apa? khilafah sebetulnya bukan perkara kesejahteraan, keadilan atau-pun yang disebut-sebut “kebenaran Islam” itu. Khilafah adalah misi politik untuk menguasai tatanan ini dan segala tuduhan/fitnah atas Pancasila adalah gaya-gaya politik ala Khawarij yang mereka gunakan sebagai tipu-muslihat di dalamnya.

This post was last modified on 7 Juni 2023 3:34 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

10 jam ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

11 jam ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

11 jam ago

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

2 hari ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

2 hari ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

2 hari ago