Faktual

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasi label kafir yang selalu diajarkan secara berulang di dalam mata pelajaran (mapel) agama. Sebab, pengidentifikasian “orang kafir” di sekolah selalu stagnan merujuk pada musuh dalam beragama.

Secara objektif, semua tradisi agama-agama pasti memiliki klaim eksklusif. Karena hal demikian tak lepas dari subjektivitas imanen yang mutlak dalam setiap agama. Baik Islam ke Kristen, atau Yahudi ke Islam atau Islam ke Yahudi atau Yahudi ke Kristen dan seterusnya.

Tetapi yang menjadi satu pertanyaan penting kita saat ini, apakah klaim eksklusif keagamaan dapat menormalisasi label kafir sebagai legalitas kebenaran bagi anak-didik? Utamanya dalam memahami umat agama lain sebagai rival/musuh kelak?  Lalu terus tumbuh dari generasi ke generasi?

Jadi, re-generasi intoleransi itu sebetulnya lahir sejak di bangku sekolah. Hal ini ketika klaim eksklusif keagamaan sebagai legalitas di dalam memandang umat agama lain atas standar penilaian subjektivitas imanen. Agama hanya akan menjadi pemisah dan kebenarannya akan digunakan sebagai jalan untuk membangun tembok jarak-pemisah.

Bagaimana mungkin anak-anak bisa memiliki cara pandang yang tolerant? Ketika intoleransi itu tumbuh dari normalisasi label kafir (membenarkan umat agama lain sebagai musuh yang harus diperangi). Lalu pemahaman ini utuh dalam satu pelajaran agama untuk dipahami dan dipraktikkan dalam ujian sebagai bukti validitas atas kebenaran klaim itu?

Paradigma Merdeka Belajar dalam Meredefinisi Label Kafir ke dalam Label Saudara Non-Muslim

Istilah kata atau labelisasi memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang sosial-keagamaan dalam sepanjang sejarah konflik berbunkus agama. Maka, paradigma merdeka belajar di sekolah harus tumbuh sebagai cara pandang yang kritis, kontekstual dan reflektif. Utamanya dalam meredefinisi label kafir ke dalam orientasi objektivitas melihat keberagaman ke dalam saudara non-Muslim atau saudara non-Kristen.

Merdeka belajar di sekolah tak boleh menjadikan anak-anak menjadi korban tekstual di dalam pelajaran agama dan melihat subjektivitas agama ke dalam jalur yang etis. Sebab, menormalkan label kafir sebagai musuh atau orang yang berbeda dengan dirinya. Ini telah menanamkan akar intoleransi yang akan dijadikan satu kebenaran dalam menyikapi umat agama lain secara non-etis dalam lanskap merawat keragaman/toleransi.

Argumentasi di atas pada dasarnya ingin membangun satu paradigma baru dalam pendidikan agama di sekolah. Sebagaimana, pelajaran keagamaan baik pelajaran Kristen bagi umat Kristen, Islam bagi umat Islam atau Yahudi bagi umat Yahudi dll. Ini juga saling membawa label pengidentifikasian yang selalu terpisah antara subjektivitas imanen dengan objektivitas imanen dalam menyikapi keragaman/kemajemukan.

Antara etika memahami agama dan prinsip memahami kebenaran agama merupakan dua entitas yang berbeda. Labelisasi kafir selalu melebur ke dalam prinsip memahami kebenaran agama. Sehingga muncul nilai-nilai subjektivitas dan perasaan emosi/sentiment/kebencian terhadap umat agama lain.

Jadi, perubahan pengidentifikasian umat agama lain dalam teks keagamaan yang dipelajari menjadi sangat penting. Ini tak sekadar mengubah kata tetapi mengubah makna dan orientasi dalam lanskap keragaman kita. Misalnya dari asalnya kafir menjadi istilah saudara beda iman. Labelisasi demikian akan menormalkan cara pandang yang cenderung egalitarian pada anak-anak dalam melihat perbedaan ke dalam nilai-nilai objektif dalam beragama.

Maka, memahami teks-teks keagamaan secara kontekstual dan relevan dalam membangun dunia yang damai. Paradigma demikian juga harus tumbuh dalam kurikulum merdeka belajar dalam memahami agama secara konstruktif bukan destruktif. Tentunya, kesadaran semacam ini tak hanya ada di kampus-kampus melainkan juga mengakar di tingkat sekolah atas, menengah hingga pada tingkatan dasar. Hal ini demi menanamkan persaudaraan lintas iman yang tolerant lewat proses pengidentifikasian-pengidentifikasian semacam itu.

Saiful Bahri

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

1 hari ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

1 hari ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

1 hari ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

3 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

3 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

3 hari ago