Di tengah dunia yang kian terhubung, kata “persatuan global” kerap terdengar indah dan menjanjikan. Di era digital yang serba cepat, kebencian kini tak lagi disebarkan lewat senjata, melainkan melalui narasi yang membelah kesadaran kita atas nama kebenaran. Padahal, bangsa yang berdiri di atas kebencian sesama anak negerinya akan rapuh sebelum sempat bermimpi menjadi kuat.
Sejarah Indonesia mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak pernah diraih oleh satu kelompok atau golongan tertentu. Ia lahir dari tekad bersama rakyat yang berbeda agama, suku, dan pandangan, tetapi bersatu dalam cita-cita yang sama: menjadi bangsa yang merdeka dan bermartabat. Namun kini, semangat itu perlahan terkikis oleh ide-ide sempit yang menjunjung tinggi identitas golongan di atas kepentingan nasional. Dalam banyak ruang publik, baik nyata maupun digital, muncul kecenderungan untuk menilai seseorang bukan dari kontribusinya bagi bangsa, melainkan dari seberapa serupa pandangan dan latar belakangnya dengan kita.
Ironisnya, mereka yang mengaku memperjuangkan persatuan umat kerap memulai langkahnya dengan menanamkan kebencian terhadap sesama warga negara. Ini adalah pola yang sudah lama digunakan oleh kelompok-kelompok transnasional yang ingin melemahkan kedaulatan suatu bangsa. Jika kita tidak waspada, maka skenario yang menimpa Irak dan Suriah bisa terulang di negara Indonesia, negara yang dulunya makmur hancur oleh perpecahan internal dan perang antar-kelompok.
Harus dipahami, kehancuran Irak dan Suriah tidak terjadi dalam semalam. Ia berawal dari propaganda yang memecah kepercayaan antarwarga, lalu berkembang menjadi kebencian, dan akhirnya berubah menjadi konflik bersenjata. Indonesia tidak kebal terhadap ancaman semacam itu. Ketika narasi nasionalisme digantikan oleh fanatisme golongan, dan identitas kebangsaan dikalahkan oleh ideologi sempit, maka kehancuran bukan lagi ancaman yang jauh, melainkan kenyataan yang menunggu waktu.
Kita tidak boleh tertipu lagi oleh propaganda yang dikemas atas nama agama atau moralitas, seperti yang pernah dilancarkan ISIS di Irak dan Suriah. Mereka menjanjikan kejayaan, tetapi yang mereka bawa adalah kehancuran dan penderitaan. Banyak anak muda yang terseret karena tidak mampu membedakan antara seruan keimanan dan jebakan ideologis yang memanfaatkan agama sebagai alat politik. Indonesia harus belajar dari sejarah kelam itu, bahwa persatuan sejati tidak lahir dari kebencian, tetapi dari cinta terhadap sesama manusia dan terhadap tanah airnya.
Narasi persatuan nasional tidak akan pernah tumbuh dari fanatisme kelompok. Ia hanya dapat lahir dari kesadaran bersama bahwa kita adalah warga negara yang terikat oleh satu identitas nasional: Indonesia. Semangat Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, melainkan fondasi moral untuk menjaga harmoni dalam keberagaman. Menggelorakan persatuan umat harus diletakkan dalam bingkai kebangsaan yang inklusif dalam persatuan yang tidak meniadakan perbedaan, tetapi merangkulnya sebagai kekuatan bersama.
Pemahaman keagamaan yang eksklusif dan menutup diri terhadap dialog hanya akan melahirkan jurang permusuhan di antara anak bangsa. Karena itu, setiap warga negara memiliki tanggung jawab moral untuk menolak segala bentuk ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama atau ideologi. Kedaulatan bangsa tidak hanya dijaga oleh tentara dan undang-undang, tetapi juga oleh kesadaran kolektif rakyatnya untuk tidak saling meniadakan.
Pada akhirnya, kekuatan sejati Indonesia tidak terletak pada keseragaman, melainkan pada kemampuannya mengelola perbedaan menjadi sumber harmoni. Di tengah dunia yang terus berubah, tantangan terbesar bangsa ini bukan lagi datang dari luar, melainkan dari dalam: dari sejauh mana kita mampu menjaga akal sehat, empati, dan rasa kebangsaan. Maka, ketika kita berbicara tentang “persatuan global”, hendaknya kita mulai dengan langkah paling sederhana yakni mencintai dan menghargai sesama anak bangsa terlebih dahulu. Sebab dari sanalah, sesungguhnya, persatuan yang sejati menemukan maknanya.
This post was last modified on 2 Desember 2025 8:42 AM
Di tengah momen duka bangsa akibat bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,…
Menjadi khalifah di muka bumi adalah mandat moral dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia.…
Di tengah krisis lingkungan global dan meningkatnya gelombang ekstremisme, masyarakat dunia menghadapi dua ancaman berbeda…
Basa ngelmu Mupakate lan panemu Pasahe lan tapa Yen satriya tanah Jawi Kuno-kuno kang ginilut…
Fenomena radikalisme di kalangan siswa bukan lagi ancaman samar, melainkan sesuatu sudah meresap ke ruang-ruang…
Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya, menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan…