Narasi

Islah Kebangsaan; Membendung Provokasi Radikal Pasca Pemilu

Pemilu memang telah usai. Namun, ketegangan sosial di masyarakat tampaknya belum mereda sepenuhnya. Terutama di media sosial, kita masih mendapati beragam narasi provokatif yang memecah belah masyarakat.

Aroma persaingan antarpendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden tampaknya masih kencang berembus. Ada semacam perasaan kecewa atau marah dari kalangan yang kandidat jagoannya kalah suara di hitung cepat (quick count) berbagai lembaga survei.

Perasaan marah dan kecewa tentu wajar. Namun, jika kemarahan dan kekecewaan itu bersifat kolektif, maka perlu ada langkah mitigasi agar dampaknya tidak meluas. Kemarahan kolektif rawan ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu.

Pemilu memang rawan menyisakan residu persoalan. Seperti halnya Pemilu 2024 ini yang menyisakan sejumlah residu persoalan. Antara lain, pertama munculnya sikap suudzan alias pikiran negatif terhadap individu atau kelompok. Contoh konkret suudzon adalah menuduh pihak lain melakukan kecurangan.

Penting dicatat bahwa tudingan kecurangan ini tidak hanya dilemparkan oleh pihak yang kalah pada pihak yang menang. Namun, sebaliknya pihak yang memang juga kerap kali menuding pihak lain melakukan kecurangan.

Contoh lain dari sikap suudzon selama Pemilu adalah menuding pada penyelenggara Pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan instansi pemerintahan lainnya tidak netral dan berpihak ke salah satu kelompok tertentu. Tudingan ini tentu berpotensi mendelegitimasi lembaga pemerintah dan institusi penyelenggara Pemilu itu sendiri.

Kedua, ujaran kebencian yang beredar di ruang publik dalam menyikapi hasil Pemilu. Misalnya, belakangan muncul narasi yang menyebutkan bahwa pemilih paslon tertentu sebagai pemilih bodoh.

Ada pula narasi yang menuding pemilih paslon lainnya sebagai pemilih sombong dan arogan. Ujaran kebencian pasca Pilpres juga mewujud pada maraknya perlindungan (bullying) secara online dan verbal terhadap kelompok yang memiliki pilihan atau afiliasi politik berbeda.

Ketiga, propaganda radikalisme dan ekstremisme melalui narasi Pemilu curang, demokrasi kotor, dan sejenisnya. Narasi ini selalu hadir beriringan dengan polemik pasca Pemilu. Bahkan, muncul seruan untuk menolak hasil Pemilu dan mengerahkan massa ke jalanan.

Di media sosial juga mulai muncul narasi seruan makar dan pemakzulan presiden karena dianggap tidak netral dalam Pilpres. Seruan ini jelas sangat berbahaya apalagi di tengah sentimen kekecewaan simpatisan yang kandidatnya malah dalam Pilpres.

Peristiwa kerusuhan demo di depan Kantor Pusat Bawaslu pada tahun 2019 lalu patut menjadi pelajaran berharga. Bahwa polemik pasca Pemilu rawan ditunggangi para provokator yang ingin negara ini kacau dan hancur dari dalam.

Maka, agenda mendesak pasca Pemilu ini adalah merajut kembali persaudaraan kebangsaan kita. Ikatan persaudaraan yang sempat merenggang akibat Pemilu 2024 harus dieratkan kembali. Untuk itu, ada sejumlah langkah yang harus ditempuh.

Langkah terpenting yang harus dilakukan adalah menggalang islah alias perdamaian dalam skala nasional. Gerakan Islah kebangsaan ini idealnya memang dimulai dari level elite politik. Terutama di level paling atas yakni para kandidat capres dan cawapres.

Lalu berlanjut ke level menengah yakni para tim sukses dan para pendukung para kandidat. Jika islah di level elite dan menengah itu terwujud, kita patut optimistik, masyarakat di level akar rumput akan mengikuti jejak islah tersebut.

Islah kebangsaan sangat penting di tengah situasi yang rawan konflik dan kekerasan ini. Islah kebangsaan juga penting untuk meredam provokasi dari kelompok radikal yang ingin mengeksploitasi polemik Pemilu untuk menimbulkan kekacauan.

Provokasi kaum radikal yang membonceng isu polemik pasca Pemilu ini tidak bisa dipandang sepele. Nyaris setahun lebih negeri ini zonder aksi teroris alias steril dari terorisme. Artinya susah setahun lebih gerakan terorisme mengalami tiarap massal.

Mereka tentu menunggu momentum untuk bangkit dan melakukan aksi amaliahnya. Polemik pasca Pemilu inilah yang potensial dieksploitasi kaum radikal. Maka, kita wajib meredam segala narasi provokasi radikal yang disebar melalui medsos. Apalagi narasi ajakan makar dan pemakzulan presiden yang jelas-jelas tindakan subversif dan bisa dikategorikan sebagai pembangkangan.

This post was last modified on 16 Februari 2024 12:03 PM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

14 jam ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

14 jam ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

14 jam ago

Merawat Persatuan, Meredam Bara di Tengah Fanatisme Golongan

Peristiwa bentrokan antar kelompok yang terjadi di Pemalang, Jawa Tengah dan Depok, Jawa Barat beberapa…

14 jam ago

Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

Jawabannya ada. Tetapi saya akan berikan konteks terlebih dahulu. Saya tergelitik oleh sebuah perdebatan liar…

2 hari ago

Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

Belum kering ingatan kita tentang kejadian pembubaran dengan kekerasan terhadap retreat pelajar di Sukabumi, beberapa…

2 hari ago