Puncak kecintaan muslim adalah mencintai Tuhannya, hal ini dapat melalui berbagai dimensi yang ada di dunia. Tujuan akhirnya tetap Tuhan. Untuk menuju kesana bisa melalui medium apapun. Mulai mencintai Nabi, keluarga, saudara, sahabat hingga kekasih.
Islam hadir di dunia ini membawa misi meneguhkan rahmat kepada seluruh alam. Ini merupakan manifestasi cinta seorang muslim untuk meraih kebahagiaan nanti di surga yang telah dijanjikan oleh Tuhan. Begitu juga dengan misi nabi Muhammad diutus ke dunia menjadi penyempurna akhlak. Bahkan dalam suatu riwayat hadis diterangkan akhlaknya adalah Al-Quran. Muhammad menjadi seorang yang memiliki akhlak yang agung (QS. Al-Qalam: 4) Maka tindak tanduk yang dikerjakan Muhammad menjadi representasi dari Al-Quran itu sendiri.
Pada hakikatnya cinta merupakan mengesampingkan kebutuhan dan kepentingan kita demi terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan orang atau sesuatu yang kita cintai. Bila kita sudah dapat menjadikan cinta sebagai budi pekerti yang ada dalam hati dan kita mampu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari niscaya hati kita akan tentram, tak serakah terhadap apapun, tak memaksakan kehendak untuk bisa tercapai dan sebagainya.
Erich Fromm salah satu tokoh psikologi dalam bukunya Seni Mencinta (1987) menyatakan bahwa kesatuan yang dicapai dalam kerja produktif tak bersifat antar pribadi; kesatuan yang dicapainya dalam paduan yang gila-gilaan bersifat sementara-kesatuan yang dicapai dengan penyesuaian hanya merupakan kesatuan semu. Dari sebab itu, hal-hal di atas hanya merupakan jawaban yang bersifat sebagian terhadap masalah eksistensi. Jawaban sepenuhnya terletak dalam mencapai kesatuan antar-pribadi, kesatuan melalui perpaduan dengan pribadi lain, dalam cinta.
Fromm memberikan pemaparan kepada kita untuk mengeksplorasi seberapa jauh dan tata-cara kita memaknai cinta dan bagaimana mempraktekkannya. Penulis setuju dengan apa yang dikatakan guru sufi Al-Ghazali bahwa siapa yang mengetahui dirinya dan mengetahui Tuhannya dan mengetahui dunia dan mengetahui akhirat dengan mengetahui secara sebenarnya dan terbuka bahwa tak ada baginya pertolongan di akhirat kecuali mendahulukan dirinya mengetahui Tuhan dengan mencintainya. Dan mencintai itu tak dapat diperoleh kecuali hanya dengan mengulang-ulang dalam mengingatnya. Dan mengetahui tidak pula bisa didapat kecuali hanya dengan melanggengkan berfikir dan berdzikir.
Lebih lanjut Fromm menjelaskan bahwa dasar kebutuhan kita untuk mencinta terletak pada pengalaman akan keterpisahan dan kebutuhan yang diakibatkannya mengatasi kecemasan karena keterpisahan dengan pengalaman penyatuan. Bentuk religius cinta, yang disebut cinta akan Allah, tidaklah berbeda kalau berbicara secara psikologis. Cinta itu berasal dari kebutuhan untuk mengatasi keterpisahan dan untuk mencapai penyatuan. Kenyataannya, cinta terhadap Allah mempunyai sifat dan aspek yang berbeda sama banyaknya dengan cinta terhadap manusia – dan dalam arti yang luas kita menemukan perbedaan-perbedaan yang sama.
Setelah mengenal dan mengetahui yang kita cintai kita juga harus menjaga yang kita sayangi. Al-Quran memberikan isyarat yang jelas untuk menjaga diri dan keluarga kita dari bahaya api neraka. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim: 6).
Selain itu, kita juga harus berpegang teguh dengan ajaran dan syariat yang telah digariskan Allah. Terdapat Al-Quran beserta tafsir karangan para ulama terdahulu yang menjelaskan maksud dari perintah Allah dan Hadis Rasulullah. Dengan mencintai Allah kita akan dengan suka hati menjalankan segala petunjuk yang telah digariskan dalam syariat. Dengan begitu, kita sebagai muslim akan memiliki hubungan baik secara vertikal dan horizontal bahkan terhadap alam lingkungan sekitar.
Terakhir dalam Islam kita mengenal asmaul husna (nama-nama Tuhan yang Agung). Ini sering kita ucapkan dalam rangkaian doa sebagai bentuk pengharapan akan makna dari nama-nama tersebut. Akan memberikan dampak terhadap lantunan doa yang kita panjatkan. Kita juga dianjurkan untuk meniru sifat-sifat Tuhan yang terepresentasi dalam 99 nama tersebut. Bahkan, nama anak kita ada baiknya kita namai dengan asmaul husna, tentu ditambah dengan kata abdun (hamba) sebagai bentuk kecintaan kita kepada Yang Maha Agung. Semoga.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…