Narasi

Bahkan Allah Tak Memaksakan Ajaran-Nya

Ibn Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, I/305) dan Wahbah al-Zuhaili (al-Tafsir al-Munir, II/22) menceritakan, al-Hushain dari golongan Anshar, suku Bani Salim bin ‘Auf, memiliki dua putera beragama Nashrani, sedang ia seorang muslim.

“Bolehkah saya memaksa kedua puteraku, karena mereka tidak taat padaku dan tetap ingin beragama Nashrani?” tanyanya pada Nabi Muhammad Saw.

Atas pertanyaan dan keinginan memaksa itu, maka turunlah Qs. al-Baqarah [2]: 256: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat.”

Menafsiri ayat di atas, Ibn Katsir (I/305) menuliskan, maksud la ikraha fi al-din adalah la tukrihu ahadan ‘ala al-dukhul fi din al-Islam (Jangan kalian memaksa seseorang memasuki/menganut Islam!). Sebab, semua dalil kebenaran Islam sudah jelas, sehingga tidak perlu ada pemaksaan.

Maksud “tidak ada ikrah”, berarti kita sama sekali tidak boleh memaksa orang lain untuk menganut kepercayaan seperti yang kita yakini. Allah menghendaki agama-Nya dianut secara suka rela dan ikhlas tanpa paksaan. Tugas kita hanyalah menyampaikan, bukan memaksa, karena hidayah itu urusan Allah. Firman-Nya: “Apakah engkau ingin memaksa mereka hingga mereka itu menjadi orang-orang yang beriman?” (Qs. Yunus [10]: 99.

Menurut M. Husein al-Thabathaba’i (al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, II/348), ajaran la ikraha fi al-din menganulir tudingan bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan darah (qama bi al-saif wa al-dam). Baginya, perang hanyalah pembelaan (al-difa’), bukan cara penyebaran Islam.

Dalam bahasa Wahbah al-Zuhaili (II/23), perang itu hanyalah cara li radd al-‘udwan (untuk menghalau musuh), sehingga agama bisa berdiri dengan merdeka tanpa ada gangguan pihak musuh. Oleh Wahbah, ayat ini dinilai mendorong pengakuan hurriyah al-tadayyun (kebebasan beragama).

Bagi al-Thabathaba’i (II/347), ayat ini sesungguhnya tengah menjelaskan perihal nafy al-din al-ijbari (meniadakan agama yang memaksa). Menurutnya, agama itu rantai pengetahuan akademik yang berlandaskan keyakinan-keyakinan (i’tiqadat). Dan keyakinan itu persoalan hati yang tidak bisa dihukumi dengan pemaksaan. Pemaksaan hanya bisa berpengaruh pada perbuatan-perbuatan lahir dan gerak tubuh yang fisik (II/347). Karena hati bukan hal lahir, maka tidak berlaku pemaksaan atasnya.

Quraish Shihab (Tafsir al-Mishbah, I/668-669) menjelaskan, Allah Swt tidak membutuhkan apapun, sehingga tidak perlu ada pemaksaan dalam beragama. Jika menghendaki, maka sesungguhnya dengan gampang Allah Swt bisa menjadikan kita semua sebagai umat yang satu (Qs. al-Ma’idah: 48). Sayyid Quthb (Tafsir fi Dhilal al-Qur’an, I/343) menjelaskan, akidah itu masalah kerelaan hati, bukan pemaksaan dan tekanan. Dan Islamlah yang menjelaskan tidak boleh memaksa orang lain untuk memeluk agama ini.

Dengan demikian jelas, ayat la ikraha fi al-din ini memberikan jaminan kepada seluruh manusia perihal kebebasan menganut agama/keyakinan yang dipercayainya. Apa hikmah luhur di balik kebebasan ini?

Pertama, Allah Swt ingin  memuliakan dan menghormati kehendak, pikiran dan perasaan manusia. Ia menyerahkan segala urusan manusia pada dirinya sendiri, terutama terkait petunjuk dan kesesatan. Bagi Quthb (I/343), ini soal Hak Asasi Manusia (HAM), yang tak semestinya dipaksa-paksakan, apalagi melalui ancaman kekerasan.

Kedua, Allah Swt menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya dinamakan Islam yang bermakna damai. Menurut Quraish (I/669), kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa manusia tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, sehingga tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan Islam. Ini menunjukkan, visi ayat itu sesuai dengan visi besar Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keramahan dan kedamaian.

Ketiga, Allah Swt menghendaki (dan ingin disembah dengan) ketulusan. Perbuatan dan berbagai aktivitas apapun tidak akan memiliki makna luhur, bila dikerjakan dengan terpaksa dan mengabaikan ketulusan. Pemberian kebebasan dan bukan pemaksaan, akan menjadikan pelakunya meraih ketulusan dalam menjalankan agamanya. Sesungguhnya, inilah point utama dalam beragama.

Keterangan-keterangan di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa Allah Swt tak ingin dan tak pernah memaksakan ajaran-Nya. Namun, mengapa kita gemar memaksakan agama kita pada pihak lain, bahkan acapkali melalui intimidasi, ancaman dan pembunuhan? Apakah kita hendak melampaui kewenangan-Nya?

Nurul H Maarif

Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten dan Dosen di beberapa perguruan tinggi Banten

Recent Posts

Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan…

13 jam ago

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2025

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme pada 2020 pernah…

13 jam ago

Jangan Membenturkan Kesadaran Nasional dengan Kesadaran Beragama

Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, narasi yang mencoba membenturkan antara kesadaran nasional dan kesadaran…

13 jam ago

Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah…

13 jam ago

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

2 hari ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

2 hari ago