Narasi

Islam Nusantara dan Korban Kebangsaan

Ada sebuah parabel dari Kafka, seorang sastrawan yang pernah berpesan bahwa kelak setelah kematiannya karya-karyanya agar dibakar, tentang seorang yang tiba-tiba saja menjadi terpidana dan sesaat menjelang penggantungannya bergumam: “Seperti seekor kambing yang mengembik.”

Saya teringat cerita Ismail dalam novel Kafka, The Trial, yang mendadak juga mesti disembelih oleh Bapaknya, Ibrahim. Tak perlu saya ungkapkan suasana dramatik menjelang penyembelihan Ismail, meskipun buat banyak sastrawan titik itu adalah yang paling menarik untuk dipoles.

Pada latar dua kisah yang berbeda kebudayaan tersebut orang akan menemukan arti dari sebuah pengorbanan yang klise. Pada kisah Kafka pengorbanan itu bersifat absurd, tanpa alasan ataupun penjelasan tentangnya. Sehingga orang hanya disuguhi sebuah peristiwa yang menyesakkan dada, tanpa dapat menilai dan menghakimi apapun di sana. Sementara kisah Ismail justru sebaliknya, seperti halnya roman gaya lama yang selalu saja berakhir bahagia. Dan kemudian beribu hikmah bernuansa kemuliaan diperaskan darinya.

Entah kenapa dalam khazanah bahasa Indonesia istilah Arab qarib,dimana istilah Idul Adha atau hari raya korban diturunkan, terkesan sebagai sesuatu yang bernada keteraniyayaan, meskipun hal itu juga terkadang dimaknai secara positif. Ketika mendengar istilah “korban” atau “pengorbanan” yang terbetik pertama kali di imajinasi adalah seseorang yang mesti merelakan sesuatu untuk hilang.

Baca Juga : Identitas Ganda, Negara Bangsa dan Solidaritas Kemanusiaan

Barangkali, secara agamis, istilah “korban” memang berkaitan dengan istilah Arab “qarib” yang artinya dekat. Sementara istilah “pengorbanan” sepadan dengan istilah “taqarrub” yang sering diartikan sebagai pendekatan. Salah satu hikmah yang bernuansa agama pada kisah Ibrahim dan Ismail adalah sebuah perintah untuk mengikhlaskan sesuatu dalam rangka menerima kompensasi yang berganda, baik di sini dan kini maupun di sana dan esok ketika di akhirat.

Aspek sosial laku berkorban adalah tak semata mengikhlaskan daging untuk sesama manusia, utamanya yang kekurangan. Tapi juga mesti mengikhlaskan kepentingannya pribadi atas nama kebangsaan dan kebersamaan. Karena itu secara sosial nilai-nilai pengorbanan dalam hari raya korban saya kira adalah salah satu bentuk kontribusi agama Islam pada bagaimana mengelola kebangsaan, kebersamaan dan keberagaman kepentingan. Artinya, pada dasarnya, Islam seperti berprinsip bahwa demi kebangsaan dan kebersamaan yang tak sampai harus mengganggu individualitas—karena nilai-nilai individualitas juga diakui oleh Islam—apapun mesti diupayakan.

Bagi saya pribadi Islam pada dasarnya adalah soal keseimbangan dan kemoderatan. Karena itu etikanya adalah apa yang saya sebut sebagai “etika jalan perak” dimana prinsip untuk tak melampaui batas sangat dianjurkan. Banyak bukti dari sumber agama Islam sendiri yang memegang teguh prinsip jalan perak tersebut. Seumpamanya, persyaratan “bagi yang mampu” atas ibadah tertentu. Di samping itu, adalah beberapa prinsip yang digunakan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam merumuskan sikap bela diri dan bela negara (Pancasila dalam Perspektif Islam Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Semua ini membuktikan bahwa individualitas juga diakui dan diperjuangkan oleh Islam.

Terkait dengan sikap etis untuk tak mengabaikan prinsip kebersamaan telah pula ditauladankan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam petunjuknya untuk menghapuskan sila I Pancasila versi piagam Jakarta tanpa terjatuh pula pada pengutamaan prinsip Ekasila atau gotong-royong di atas prinsip “Ketuhanan yang Maha Esa” (Pancasila dan Paradigma Autochthony NU, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Atas dasar hal di atas, maka potensi perpecahan yang disebabkan oleh overlapping-nya kesadaran sebagai warga agama di atas warga negara ataupun sebaliknya, warga negara di atas warga agama, sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu ketika isu RUU HIP menyesaki ruang publik, tak beranjak mengutub yang pada akhirnya dapat mengoyak anyaman kebangsaan, kebersamaan dan keberagaman. Seandainya hal ini yang terjadi, maka pengorbanan yang kemungkinan terjadi bukanlah pengorbanan yang berakhir manis seperti kisah Ibrahim dan Ismail, tapi pengorbanan ala The Trial Franz Kafka.

This post was last modified on 22 Juli 2020 2:02 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago