Dalam konteks negara bangsa, umat beragama kerap dihadapkan pada problematika terkait identitas ganda yang disandangnya. Tidak terkecuali dalam konteks Indonesia. Umat beragama di Indonesia kerapkali dihadapkan pada pilihan antara identitas kebangsaan dan keagamaan. Inilah yang dimaksud oleh James M. Jaspers dan Aidan McGarry dalam buku The Identity Dilemma: Social Movements and Collective Identity sebagai “dilema identitas”. Identitas kebangsaan melekat pada diri setiap warga negara lantaran kesamaan nasib di masa lalu sekaligus cita-cita kolektif di masa depan. Identitas kebangsaan atau kerap disebut juga identitas nasional inilah yang menjadi jati diri bangsa.
Sedangkan identitas keagamaan diperoleh lantaran status keagamaan yang disandangnya. Penganut Islam secara otomatis memiliki identitas keislaman, begitu pula pemeluk agama Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu serta agama-agama lainnya. Berbeda dengan identitas kebangsaan yang dibentuk atas kesadaran pada kesamaan masa lalu dan orientasi masa depan, identitas keagamaan murni terbentuk oleh persamaan terhadap keyakinan teologis. Kita barangkali kerap bertanya bagaimana relasi keduanya dalam konteks negara bangsa, seperti Indonesia? Manakah identitas atau kepentingan yang harus didahulukan?
Seperti kita tahu, negara bangsa ialah negara yang dilandasi oleh filosofi nasionalisme yakni perasaan cinta pada tanah air, tanah kelahiran yang menjadi tempat perjuangan hidup. Sebagai sebuah konsep, negara bangsa mulai populer sejak abad ke-18 dimana dunia tengah memasuki fajar baru yang dikenal dengan era modernisme. Gelombang modernisme yang terjadi di ranah Eropa ditandai dengan runtuhnya dominasi agama di ranah politik. Inilah titik mula munculnya konsep negara bangsa (nation state) yang didasari spirit nasionalisme dan kesamaan identitas sosio-kultural. Konsep negara juga diadopsi sejumlah negara muslim pasca lepas dari kolonialisme Barat. Hal serupa terjadi di Indonesa. Para pendiri bangsa sepakat menjadikan Indonesia sebagai negara bangsa yang berdasar Pancasila.
Menguatnya Sentimen Solidaritas Keagamaan Sempit
Sayangnya, dalam beberapa tahun belakangan ini, persaudaraan kebangsaan yang menjadi fondasi tegaknya negara ini kerap dihantam oleh gelombang gerakan solidaritas keagamaan dalam perspektif sempit. Kesamaan identitas agama memang secara otomatis akan melahirkan gerakan solidaritas. Apalagi jika ada kelompok dalam satu agama yang tengah menghadapi krisis atau mengalami kesulitan yang dilatari berbagai faktor, mulai ekonomi, sosial maupun politik. Fatalnya, solidaritas keagamaan dalam perspektif sempit ini kerap kali justru mengabaikan kepentingan yang lebih urgen, yakni merawat persaudaraan kemanusiaan. Berbagai fenomena yang mengemuka belakangan ini kerap memperlihatkan bahwa solidaritas keagamaan sempit kerapkali justru merobek ikatan persaudaraan kebangsaan yang susah payah kita bangun bersama.
Dari tinjauan psiko-politik, sentimen identitas keagamaan memang potensial menggeser kepentingan untuk menjaga persaudaraan kebangsaan. Hal ini lantaran isu agama memang terbukti efektif dalam memantik sentimen antarkelompok. Krisis sosial apalagi tragedi kemanuisaan yang berbalut isu sentimen dan identitas keagamaan bisa dipastikan akan mudah membangkitkan gerakan solidaritas. Sebaliknya, persoalan kebangsaan yang sebenarnya lebih krusial justru kerapkali diabaikan. Tidak jarang pula, persoalan solidaritas keagamaan yang dipahami secara sempit berkembang menjadi ancaman terhadap persaudaraan kebangsaan.
Fenomena meningkatnya solidaritas keagamaan sempit yang mengabaikan kepentingan persaudaraan kebangsaan ini merefleksikan setidaknya dua masalah besar. Pertama, adanya kecenderungan bahwa meningkatnya identitas dan simbol keagamaan di ruang publik ternyata berkorelasi positif terhadap meningkatnya pandangan sektarianisme. Pengagungan terhadap golongan sendiri telah melahirkan semacam egoisme kelompok yang berdampak buruk bagi bangunan persaudaraan kebangsaan. Kedua, menguatnya solidaritas keagamaan sempit pada akhirnya juga mencerminkan kian lemahnya komitmen masyarakat terhadap nilai kewargaan dan kebangsaan. Komitmen kebangsaan yang dibangun sejak awal kemerdekaan, serta nilai kewargaan yang kita kembangkan selama era Reformasi ini perlahan luntur oleh menguatnya sentimen keagamaan.
Pentingya Komitmen Kebangsaan dan Nilai Kewargaan
Kita tentu sepakat bahwa agama dan keberagamaan ialah bagian penting dari bangsa dan negara Indonesia. Bahkan, sila pertama Pancasila pun memuat deklarasi tentang keesaan Tuhan. Namun demikian, keberagamaan yang dipraktikkan dalam perspektif yang sempit dan kaku tentu menjadi kerikil tajam bagi langkah bangsa menuju kemajuan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah mitigasi untuk meredam potensi runtuhnya persaudaraan kebangsaan akibat menguatnya solidaritas keagamaan sempit. Disinilah letak pentingnya kita mencari titik temu kebangsaan yang bisa menjadi jalan tengah pertentangan tersebut.
Langkah pertama yang harus dilakukan ialah menanamkan kembali spirit kebangsaan dan nilai kewargaan dalam kehidupan masyarakat, terutama di lingkup komunitas sosial dan keagamaan. Langkah ini bisa diambil oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi dan penyelenggara negara. Pemerintah bisa berperan aktif mendorong komunitas sosial dan lembaga agama untuk menanamkan spirit kebangsaan dan nilai kewargaan kepada anggota-anggotanya. Spirit kebangsaan yang dimaksud ialah komitmen untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok apalagi individu. Sedangkan nilai kewargaan (civic values) ialah prinsip-prinsip dasar menjalankan praktik warganegara kaitannya dengan isu perbedaan agama, hak asasi manusia, demokrasi dan sejenisnya. Penguatan komitmen kebangsaan dan nilai kewargaan ini diharapkan akan mengikis sentimen keagamaan yang melahirkan fenomena solidaritas sempit.
Kedua, umat beragama perlu menggali dan mengembangkan universalitas ajaran agama agar praktik keberagamaan tidak bertentangan dengan komitmen kebangsaan. Dalam studi keagamaan, universalitas ajaran agama bisa diwujudkan dengan memahami ajaran agama dari aspek esoterisnya atau sisi terdalam (inti) agama, bukan dari sisi eksoterisnya, atau sisi terluar alias kulit agama. Dimensi esoteris agama ialah wilayah dimana agama berbicara tentang humanisme, cinta kasih dan ketulusan. Sementara dimensi eksoteris agama ialah wilayah dimana agama masih berkutat pada persoalan ritual, simbol bahkan sentimen identitas. Dengan fokus pada dimensi esoterisme agama, umat beragama tidak terkecuali umat Islam akan mampu keluar dari jebakan solidaritas keagamaan sempit yang mengancam persaudaraan kebangsaan. Arkian, semua elemen bangsa mulai dari pemerintah maupun masyarakat harus mengedepankan nilai-nilai kebangsaan, kewargaan dan keadaban. Hal ini penting untuk merawat persaudaraan kebangsaan yang saat ini tengah terancam oleh meningkatnya solidaritas keagamaan sempit. Umat beragama, dalam konteks yang lebih spesifik, harus mampu bersikap bijak dalam merespons setiap isu, wacana atau peristiwa yang terjadi di lingkup kelompoknya agar tidak terjebak pada aksi solidaritas sempit yang justru mengancam persaudaraan kebangsaan. Umat beragama harus mampu membuktikan bahwa agama ialah ajaran universal yang mampu selaras dengan komitmen kebangsaan dan kewargaan.
This post was last modified on 22 Juli 2020 2:08 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…