Akhir Desember 2009, saya ikut bergabung dengan ribuan orang pelayat di Masjid Ulul Albab, Tebuireng. Kami menunggu datangnya jenazah sang idola, guru, teman, kekasih maupun ‘musuh’, yang malam sebelumnya dkabarkan telah wafat; meninggalkan kami semua. Dengung suara shalawat mengalir, wajah-wajah sendu berkelebatan, gelisah menunggu dan gigil hati penuh kesedihan yang terus menyerang. Pagi itu, kami berkumpul bersama, menunggu untuk memberikan penghormatan terakhir untuk beliau, KH. Abdurrahman Wahid, yang biasa kami panggil Gus Dur. Ketika jenazah benar-benar tiba, tangis kecil menerjangi kami semua, takbir dan tahlil menggelora. Sungguh, kami merasa sangat kehilangan.
Mengalami peristiwa itu, saya berpikir; hal apa yang bisa membuat Gus Dur begitu kami cintai sehingga kehilangan tersebut terasa menyesakkan? Banyak orang bersepakat, termasuk Presiden SBY saat itu, bahwa beliau adalah seorang pluralis yang begitu lebar membuka diri dan aktif merangkul semua golongan tanpa pandang bulu. Beliau mampu menempatkan diri sebagai seorang yang begitu damai, terbuka dan pandai menenangkan; mengambil dan membesarkan hati para kaum-kaum yang sering terpinggirkan di negeri ini.
Kiprah Gus Dur yang lebih sering merangkul “yang lain” daripada kaum muslim sendiri memang kerap membuat beliau menjadi kontroversi, justru bagi internal kaum muslim sendiri. Jaman saya dulu masih muda dan unyu-unyu, betapa tidak sepakatnya saya dengan apapun sepak terjang beliau. Akan tetapi setelah banyak memikirkan, membaca dan mendiskusikan tulisan-tulisan beliau, saya mulai menyadari, memang ada yang kurang dengan pemikiran saya sendiri, dan mungkin juga kebanyakan kaum muslim yang dulu banyak berseberangan, mencela dan memusuhi Gus Dur.
Satu hal yang tidak bisa terlupakan dari proses pembacaan terhadap Gus Dur adalah ide beliau untuk memaknai Islam bukan sebagai agama Islam, akan tetapi sebagai kedamaian. Dengan pemaknaan itu, Gus Dur dengan cerdas berhasil menjawab kebingungan saya untuk menjawab ayat yang berbunyi: Innaddiina ‘indallaahil Islam (Agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam). Pemaknaan Islam menjadi agama an sich ini menjadi sebuah tafsir sempit yang sering dijadikan bahan untuk mengeksklusi agama lain, di mana tidak ada yang akan selamat kecuali pengikut agama Islam itu sendiri. Sehingga, semua orang harus menjadi muslim dulu agar bisa selamat dunia dan akhirat.
Dalam dunia yang sangat beragam sehingga sikap tepo seliro adalah keharusan agar tercipta kedamaian, maka tafsir Gus Dur yang memaknai Islam sebagai perdamaian adalah sikap yang sungguh brilian. Tafsir itu mengandaikan bahwa Tuhan hanya akan menerima orang yang berislam, yakni bersikap penuh damai dengan siapapun. Pada titik ini, ujaran kebencian, fitnah dan klaim sepihak yang merasa paling benar sendiri dan menyalahkan pihak lain adalah berbagai sikap yang tidak cocok dengan konsepsi damai itu sendiri.
Pemaknaan Islam dengan damai itu senafas dengan ujaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak itu sendiri cenderung dan hampir identik dengan perilaku, sebagaimana kita memaknai kalimat: ”mari lebih berakhlak” dengan makna ajakan untuk berbuat lebih baik. Selain itu, dimensi akhlak sebagai perbuatan baik adalah wilayah yang bisa menjangkau siapapun, kapan pun dan di manapun. Artinya, di manapun kita berbuat baik, di situ pula manusia, apapun identitas mereka, akan dengan senang hati mengapresiasi dan bahkan membalas dengan lebih baik lagi di kemudian hari.
Secara ringkas, dengan akhlak atau perbuatan yang baik itulah kita bisa menemui kedamaian, menemui Islam. Islam, dengan begitu, dimaknai bukan sekedar muatan ideologis,identitas maupun klaim kebenaran yang sedemikian sempit, yakni tertuju dan hanya untuk kaum muslim sendiri.
Penafsiran itu penting buat saya, karena itu menjawab paradoks yang sering dikandung oleh seorang muslim. Kaum muslim mendaku diri sebagai umat terbaik, rahmat bagi seluruh alam, cocok pada semua zaman, namun pada kenyataanya banyak yang tidak begitu. Kata-kata kasar, perbuatan intoleran maupun merasa benar sendiri, adalah sekian banyak perilaku yang sering dilakukan oleh sebagian dari muslim di negeri ini.
Islam menjadi sedemikian bengis, kaku, pemarah dan mengidap phobia akut dengan apapun yang mereka sangka akan merusak keislaman mereka. Kaum muslim yang seperti ini pada hakikatnya menurut saya adalah kaum yang mengingkari kata-kata yang selalu Gus Dur dengungkan, yakni Al islamu ya’la walaa yu’la ‘alaih (Islam adalah keluhuran, dan tidak akan ada yang bisa mengatasi keluhuran itu sendiri).
Memadukan Islam dengan akhlak yang baik, itulah warisan Gus Dur yang menurut saya sangat penting untuk terus dipahami dan diamalkan dalam perbuatan nyata. Menjadi seorang muslim adalah menjadi seorang yang selalu berakhlak baik kepada siapapun, tidak harus kepada sesama muslim sendiri, sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi sendiri semasa hidup beliau. Dengan akhlak yang baik itulah, Islam akan bisa mewujudkan diri dalam sebuah kedamaian yang tiada terbatas pada kelompoknya sendiri, namun benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh Islam.
Jika kaum muslim hanya mengklaim dirinya sendiri yang paling benar dan “memaksa” yang lain untuk mengikuti jalannya, tentu ia akan sulit menjadi Islam yang rahmatan lil ‘alamin, bukan?
This post was last modified on 3 Januari 2017 12:27 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…