Faktual

Islamofobia Berawal dari Maraknya Politik Identitas

Pada tahun ini, tepatnya 15 Maret Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Internasional untuk MemerangIslamophobia (The Internasional Day to Combat Islamophobia). Ketetapan PBB tersebut dilandasi atas dasar masih banyaknya muslim yang menjadi korban diskriminasi, persekusi hingga pelecehan atas nama agama, khususnya di dunia Barat dan negara minoritas Muslim. Ketidaktahuan dan stigma negatif terhadap Islam memunculkan islamofobia dalam bentuk pikiran hingga tindakan.

Umumnya, Islamofobia muncul di negara-negara Barat yang kurang memahami Islam secara utuh. Mereka mengetahui Islam dari perilaku oknum umat Islam yang mengatasnamakan Islam dalam setiap tindakan kekerasan. Lekat sekali pada akhirnya Islam seolah mendukung terorisme akibat media Barat yang memframing Islam sebagai penyebab utama. Keberadaan oknum-onum muslim yang bertindak mengatasnamakan Islam dengan tindakan kekerasan seolah menjadi cara Barat melihat ajaran Islam dan umat Islam secara keseluruhan.

Karena itulah, harus dipahami bahwa islamofobia muncul karena ketidaktahuan dan kurangnya berbaur antar lintas agama. Ada perasaan curiga dan dendam memunculkan ketakutan dan kebencian terhadap Islam. Di beberapa negara, upaya menghapus islamofobia dilakukan dengan silaturrahmi dan kerjasama lintas agama untuk mematahkan persepsi dan prasangka salah tentang Islam.

Di Indonesia tentu berbeda dengan negara Barat yang masyarakatnya kurang banyak mengenal Islam. Indonesia negara muslim terbesar di mana muslim menguasai ruang dan fasilitas publik di berbagai daerah. Dari area oflline penyiaran hingga dunia maya, orang mengenal dan berinteraksi dengan Islam. Justru kadang ada umat non muslim yang sudah terbiasa mengucapkan : assalamualaikum, masyallah, astghfirullah karena Islam sudah menjadi identitas inheren dalam masyarakat Indonesia.

Namun, bukan berarti Indonesia tidak berpotensi tumbuh Islamofobia. Islamofobia muncul karena prasangka ketidaktahuan dan saling memahami di dalam perbedaan. Selain itu, upaya mengeneralisir pelaku dan oknum kriminal berdasarkan agama. Itulah akar islamofobia belajar dari negeri Barat. Jika masyarakat Indonesia justru mengeraskan sikap intoleran dikhawatirkan ada jarak antara muslim dan non muslim yang menghambat saling mengenal dan menghormati. 

Gerakan Anti Islamofobia di Indonesia sejatinya harus diarahkan pada gerakan untuk menanamkan toleransi dan saling mengenali (tasamuh dan taaruf). Tentu gerakan anti islamofobia bukan untuk memunculkan peneguhan identitas yang ekslusif apalagi dipolitisasi hanya untuk kepentingan kelompok sesaat. Gerakan Anti Islamofobia jangan justru menjadi gerakan yang justru menakutkan karena akan terkesan ekslusif.

Gerakan melawan Islamofobia adalah gerakan santun untuk membuktikan Islam yang sebenarnya. Bukan gerakan yang hanya pandai menyalah-nyalahkan kondisi yang sudah harmoni seperti di Indonesia. Gerakan anti Islamofobia harus diarahkan kepada dua hal.

Pertama, diarahkan kepada umat Islam untuk mengajak memamerkan Islam yang sebenarnya penuh kesantunan yang jauh dari stigma Barat tentang kekerasan. Kedua, diarahkan kepada non muslim untuk meyakinkan Islam adalah agama yang bersahabat bukan agama yang merusak. Gerakan anti Islamofobia harus bermula dari mengurangi politik identitas yang kerap menjual agama.

Itulah esensi gerakan Anti Islamofobia yang harus digalakkan. Jangan sampai gerakan ini hanya ditunggangi oleh kepentingan politik yang hanya menjadikan isu islamofobia sebagai dagangan politik menarik simpati umat. Semakin politik identitas dijual semakin memperlebar potensi islamofobia.

This post was last modified on 12 Desember 2022 8:53 PM

M. Katsir

Recent Posts

Memviralkan Semangat Moderasi ala Pesantren di Media Sosial; Tantangan Jihad Santri di Era Virtual

Di era ketika jari-jemari menggantikan langkah kaki, dan gawai kecil mampu menggerakkan opini dunia, ruang…

7 jam ago

Sejak Kapan Jihad Santri Harus Mem-formalisasi “Hukum Tuhan”?

  Narasi "jihad adalah menegakkan hukum Allah" sambil membenarkan kekerasan adalah sebuah distorsi sejarah yang…

7 jam ago

HSN 2025; Rekognisi Peran Santri dalam Melawan Radikalisme Global

Hari Santri Nasional (HSN) 2025 hadir bukan hanya sebagai ajang peringatan sejarah, tetapi sebagai momentum…

7 jam ago

Majelis Nurul Legend; Metode Dakwah Santri Berbasis Game Online

Barangkali tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika game online dapat menjadi media dakwah. Game online kerap…

1 hari ago

Menolak Senjakala Pesantren

Ada sebuah diktum yang meresahkan bagi kaum santri saat ini, yaitu bahwa untuk menjadi modern,…

1 hari ago

Ronggawarsita: Daya Jelajah Seorang Santri

Di Tegalsari, Ponorogo, terdapat sebuah pesantren yang, dalam catatan Bruinessen (1995), merupakan pesantren tertua dalam…

1 hari ago