Pustaka

Jalur Sutra: Jejak Historis Hubungan China, Islam, dan Nusantara

Judul Buku: Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru: Format Baru Hubungan Islam Indonesia dan China

Penulis: M. Ikhsan Tanggok, Yusuf Sutanto, Yudi Latif, Mas Mujadi Supangkat, Tarmizi Taher, Liang Li Jiancheng, dan Komarudin Hidayat.

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan Pertama: April, 2010

ISBN: 978-979-22-5700-7

Dalam catatan sejarah: China dan Nusantara memiliki hubungan sangat kuat. Sebagai dua kutub peradaban besar, keduanya seumpama dua sisi mata uang yang setiap sisinya saling melengkapi dan saling menyempurnakan (simbiosis-mutualisme). Hubungan kuat China-Nusantara itu, selain di sektor ekonomi-perdagangan, juga di dalam kaitannya dengan penyebaran agama Islam.

Di bidang hubungan dagang, tercatat China-Indonesia sudah menjalin hubungan sejak sekitar abad 7 Masehi. Sedangkan di dalam kaitannya dengan agama Islam, juga tercatat banyak muslim-muslim China yang juga turut serta menyebarluaskan ajaran agama Islam di Pulau Jawa dan Sumatera yang dibawa oleh para saudagar-saudagar Arab-Persia-India melalui jalur dagang.

Bahkan, teori yang pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan oleh Slamet Mulyana (1968) dalam bukunya: Runtuhnya Kerajaan Hindu-Budha dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara mengatakan bahwa asal-usul Islam di Nusantara tak lain berasal dari China, dari ”negeri tirai bambu”. Bukan dari Arab, India, Persia seperti dikemukakan oleh para ahli sejarah kebanyakan.

Teori Slamet Mulyana (1968) ini mengacu pada temuan bahwa sebenarnya, China mengalami islamisasi lebih dulu ketimbang daerah-daerah di Nusantara. Sebagaimana ditulis Hamka, Islam masuk ke China bukan saja dibawa oleh orang-orang Arab, tetapi juga oleh orang-orang Persia dan India pada abad 7 Masehi. Pendapat Hamka itu sejalan dengan pendapat Kong Yuanzhi, guru besar Universitas Peking, yang juga mengatakan Islam masuk ke China pada abad 7 Masehi.

Masuknya Islam ke China pada abad 7 Masehi itu, dipengaruhi kuat oleh hubungan diplomatik antara kedua peradaban itu. Bahkan, Khalifah Usman bin Affan (577-657) secara langsung mengirim utusan pertamanya (Saad bin Abi Waqqas) untuk berkunjung ke China menemui kaisar China yang kala itu dipimpin oleh Dinasti Tang, Kaisar Yongle Hui (halaman, 4).

Selain itu, diperkirakan bahwa Islam bahkan sudah masuk ke China jauh sebelum Masjid Niujie yang berdiri pada 996 Masehi. Pandangan itu merujuk pada adanya Masjid Huaisheng ci Buangzho yang berangka tahun 627. Menurut cerita, Masjid Huaisheng ci Buangzho  itu didirikan atas bantuan saudagar Arab, Abi Wankesu (yang tak lain Abi Waqqas) yang meninggal di Guang Zho, di masa Kekaisaran Zheng (624-649 Masehi).

Dari temuan itu, mama muncullah hipotesis bahwa Islam di Nusantara tidak diterima melalu jalur pertama, yakni dari Arab, India, atau Persia. Melainkan dari China yang dibawa oleh pedagang-pedagang China Muslim. Teori ini, selain diperkenalkan oleh Slamet Mulyana (1968) juga dikukuhkan oleh Hamka (1981) dan sejarawan China Kong Yuanzhi (2000).

Hipotesis Slamet Mulyana (1968), Hamka (1981), dan Kong Yuanzhi (2000) ini cukup akurat bila Islam, memang benar masuk ke Nusantara pada abad ke-7. Sebab, berdasarkan catatan perjalanan pendeta Budha I-Tsing yang sempat singgah di pelabuhan Sribuza (Sriwijaya) pada tahun 671 Masehi menemukan bahwa pada tahun itu telah banyak komunitas China yang menetap di sana dan melakukan kawin-mawin dengan penduduk setempat. Namun, tidak diketahui pasti apakah mereka adalah China Muslim atau bukan.

Namun, terlepas dari perdebatan sejarah masuknya Islam ke Nusantara melalui daratan China itu, yang jelas dapat disimpulkan bahwa sejak masa lampau, China-Nusantara memiliki hubungan yang kuat. Dan, misi islamisasi dan perdagangan telah menjadi perantara penting dalam pertemuan dua kutub peradaban besar itu.

Ini adalah jejak sejarah yang teramat penting, yang menurut Komarudin Hidayat dalam buku ini, sangat potensial untuk dijadikan pijakan sejarah dalam membangun hubungan harmonis antara Indonesia-China di masa kini dan di masa mendatang yang sejak kedatangan kolonialisme Belanda hingga kini, kerap diposisikan secara vis-a-vis atau berhadap-hadapan. Yang diakui atau tidak, hal itu telah menghidupkan sentimen, kebencian etnis, dan juga menimbulkan perpecahan.

This post was last modified on 25 Januari 2023 9:07 PM

L Rahman

Recent Posts

Fikih Siyasah dan Pancasila, Membaca Ulang Negara yang Berketuhanan

Ketika berbicara tentang Pancasila sebagai dasar negara, sering kali kita mendengar diskusi seputar falsafah kebangsaan,…

11 jam ago

Perihal Fatwa Memilih Pemimpin Seakidah: Kemunduran Demokrasi dan Kemandulan Ijtihad

Jelang hari pencoblosan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa tentang memilih calon kepada…

11 jam ago

Mewaspadai Ancaman Radikalisme Politik Menjelang Pilkada 2024

Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai…

1 hari ago

Memilih Pemimpin sebagai Tanggungjawab Kebangsaan dan Keagamaan

Pemilu atau Pilkada adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi, sebuah sistem yang memberi kesempatan setiap warga…

1 hari ago

Pilkada Damai; Jangan Bermusuhan Hanya Karena Beda Pilihan!

Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia selalu menjadi momen penting untuk menentukan arah masa depan…

1 hari ago

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

2 hari ago