Categories: Narasi

Jangan Asal Sebut Kafir!

Kecenderungan berdakwah dengan cara keras dan kasar sepertinya belum juga berhenti beredar. Semangat untuk menyampaikan ajaran agama bertumpang tindih dengan semangat untuk menyalah-nyalahkan golongan lain yang memiliki pandangan berbeda. Umat yang berharap mendapat pencerahan dengan mendatangi majelis pengajian malah sesak dengan ajakan-ajakan kebencian dan permusuhan. Mereka yang mengaku pemimpin agama malah terlalu asik mengajak umatnya untuk tidak perlu pikir panjang dalam mengkafirkan sesama. Seolah mereka adalah pemegang resmi ‘kunci’ surga yang pasti  tahu siapa yang akan bahagia dan siapa yang akan celaka.

Seolah tidak mau ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia, melalui Ijtima ke-5 komisi Fatwa, mengeluarkan kriteria ‘resmi’ tentang kafir. Penerbitan fatwa ini didasari oleh keresahan atas adanya kecenderungan di sebagian masyarakat kita yang menganggap enteng perihal kafir. Sehingga tanpa segan label kafir begitu mudah mereka tempelkan kepada kelompok lain yang memiliki pandangan berbeda.

Karenanya, fatwa ini diharapkan dapat menjadi pembendung arus pengkafiran yang sempat gencar dikoarkan oleh kelompok-kelompok pemuja ketenaran. Status kafir merupakan hukum syariat yang tidak bisa sembarangan diberikan, harus ada kelompok atau institusi kredibel untuk melakukan penelitian, diskusi mendalam, dan pemikiran yang matang sebelum status kafir diberikan.

Dalam konteks Indonesia, kecenderungan untuk mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pandangan tentu sangat meresahkan. Terlebih karena pemberian status kafir tersebut diberikan secara serampangan tanpa ada pertimbangan yang matang. Tidak jarang pula status kafir hanya digunakan sebagai pembenaran atas berbagai aksi kekerasan yang diklaim sebagai upaya membela Tuhan. Akibatnya, kelompok yang telah secara semena-mena dicap kafir dianggap layak untuk diusir, mereka yang diklaim telah mengikuti setan pantas menerima hukuman berupa kekerasan.

Padahal jauh hari Rasul saw telah mewanti-wanti kita untuk jangan sembarangan memberi cap kafir kepada orang lain, karena jika tuduhan tersebut ternyata salah, maka yang menjadi kafir sebenarnya justru si penuduh itu sendiri. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasul saw bersabda, “Barang siapa memanggil orang lain dengan sebuatn ‘kafir’ atau ‘musuh Allah’, sedang ia tidak begitu, maka tuduhan itu kembali kepadanya (si penuduh).”

Karenanya persoalan kafir-mengkafirkan tentu bukan perkara sepele, selain syarat dan prosesnya ribet, label kafir juga tidak memiliki imbas yang signifikan. Dalam konteks bernegara misalnya, kafir tidak termasuk dalam pelanggaran hukum, sehingga orang-orang yang dicap kafir tidak bisa dipenjara. Karenanya –sekali lagi—dalam konteks kenegaraan, pertanyaan sederhananya adalah, kalau suatu kelompok sudah dicap kafir, lalu mau diapakan?

Indonesia bukan negara agama, hal-hal yang terkait dengan kepercayaan dan keimanan warga negara berada di luar urusan negara. Sehingga urusan kafir atau murtadtidak memiliki hukum negara yang mengikat. Jikapun perlakuan seorang manusia melukai perasaan Tuhan, maka biarlah Tuhan sendiri yang mengurusi.

Hal sederhana namun begitu mulia yang dapat kita lakukan adalah terus menjaga dan mengembangkan perdamaian ditengah beragam perbedaan, termasuk berbeda dalam hal pandangan dan keyakinan.

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

8 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

8 jam ago

Menghapus Dosa Pendidikan ala Pesantren

Di lembaga pendidikan pesantren, tanggung-jawab seorang Ustadz/Kiai tidak sekadar memberi ilmu kepada santri. Karena kiai/guru/ustadz…

8 jam ago

Sekolah Damai BNPT : Memutus Mata Rantai Radikalisme Sejak Dini

Bahaya intoleransi, perundungan, dan kekerasan bukan lagi hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi…

1 hari ago

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

2 hari ago

Pengajaran Agama yang Inklusif sebagai Konstruksi Sekolah Damai

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Duta Damai BNPT telah berinisiasi untuk membangun Sekolah…

2 hari ago