Setiap detiknya, ragam berita tayang di internet. Hanya bermodal ponsel pintar dan kuota saja, kita sudah bisa mengakses beragam berita. Informasi kini bukan lagi bersifat ekslusif, seperti pada beberapa masa silam. Kini, informasi bahkan menyebabkan warga net untuk terjebak dalam era sesak media. Sesaknya berita yang belum tentu benar, ditulis dengan mengesampingkan etika jurnalisme, kerap melahirkan informasi sesat. Tak heran, banyak berita yang mendadak viral, padahal tidak mengandung kebenaran. Tanpa bekal literasi media dalam beragama, kita pun akan mudah terombang-ambing dalam ambivalensi berita yang dapat memberikan informasi yang salah, dan mengarahkan kita berperilaku sesat.
Di satu sisi, media menghadirkan informasi. Namun, tanpa keterampilan literasi media, maka kita akan dengan mudah dibelokkan menuju kesesatan berpikir. Fitnah, hoax, ujaran kebencian, bahkan tindakan provokasi berkedok agama sering kita jumpai di media. Tak jarang, permusuhan dipicu bukan antara dua pihak, namun dipicu oleh pihak ketiga yang menabuh gendering perang melalui penyebaran berita tidak benar. Indonesia sendiri, merupakan negara yang ditengarai memiliki waktu terpapar media cukup lama.
Dalam sehari, digital native di Indonesia dapat menghabiskan lebih dari 4 jam waktunya hanya untuk bermedia sosial. Tanpa filter yang baik, maka informasi di internet hanya akan diterima oleh otak sehingga organ pokok yang mengontrol pemmbentukan sikap dan perilaku tersebut mengalami kelelahan. Jika sudah lelah, individu cenderung mempercayai sebuah berita, entah itu benar atau salah.
Ancaman perpecahan di era sesak media, bukan lagi eksploitasi ekonomi, melainkan eksploitasi mental. Jika tidak cerdas bermedia, kita hanya akan dipaksa menyantap berita, padahal di dalamnya terkandung paham atau pengetahuan yang salah. Oleh karena itu, literasi media sebagai sebuah keterampilan kritis dalam menyerap informasi, menafsirkan, dan memanfaatkan pengetahuan sebagai sebuah keterampilan baru, menjadi sangat penting. Literasi media merupakan filter paling ampuh agar digital native tidak terjebak dalam pola berpikir macet alias berhenti kritis dan langsung percaya pada berita yang belum tentu benar.
Penting bagi kita untuk berjihad literasi dengan cara melakukan edukasi secara inklusif. Remaja, anak-anak, bahkan orang tua pengguna internet aktif yang terpapar media sangat membutuhkan kecakapan literasi media sebagai filter berita. Edukasi literasi media dapat menyelamatkan Indonesia dari kekalahan menghadapi proxy war melalui media maya. Tidak mudah untuk berjihad literasi. Dibutuhkan kerja sama, komitmen, dan juga kesinambungan langkah, sebab edukasi literasi media tidak bisa dilakukan instan, melainkan memiliki tahapan-tahapan. Jihad literasi media harus tetap kita tegakkan, sebab dengan begitu, kita dapat melindungi diri dan generasi agar mendapatkan berita yang berkualitas dan mendukung kedewasaan berpikir.
Paling tidak, kita bisa berjihad literasi dengan cara memberikan edukasi literasi media diterapkan kepada diri, keluarga, dan harapannya bisa meluas kepada masyarakat. Jika edukasi literasi media dilakukan berbasis inklusi sosial, maka besar kemungkinan kita akan memiliki kekuatan besar untuk menangkal berita nirkualitas dan bermuatan kebencian sehingga persatuan dan kesatuan akan semakin kuat. Tamburaka (2013) menjelaskan terdapat tiga aspek literasi media, yaitu aspek pengetahuan, motivasi, dan keterampilan.
Idealnya, jihad literasi media merupakan aktualisasi dari kecakapan berpikir, daya kritis menilai sebuah berita, motivasi untuk mengakses berita yang memiliki manfaat, sehingga aktivitas di media maya dapat melahirkan keterampilan baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Oleh karena itu, pelan namun pasti, kita perlu membentuk komunitas-komunitas literasi media, agar dapat mengkritisi media dan tidak terjebak dalam ‘arus macet’ berita yang abal-abal.
Dengan gerakan jihad literasi media berbasis inklusi sosial yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat digital native, harapannya masyarakat akan lebih cerdas dan memilih berita, dan bahkan mampu menjadi pewarta yang inspiratif demi melawan narasi kebencian, hoax, dan berita yang ditulis secara sembarangan. Semoga, dengan jihad literasi media, kita dapat tegar memilah dan memilih berita yang sudah terklarifikasi dan ditulis secara professional berdasarkan asas kejujuran, sebagaimana tuntunan agama Islam rahmatan lil alamin. Wallahu’alam.
This post was last modified on 3 November 2020 9:28 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…