Narasi

Jihad Membingkai Nasionalisme di Era Digital

Era sekarang adalah era digital. Semua serba cepat, on-line dan instan. Hanya dengan ngeklik di smartphone semua kebutuhan manusia hampir terpenuhi, baik itu sandang, pangan, transportasi, maupun kebutuhan komunikasi. Pendek kata, internet telah memberikan semuanya kepada milenial.

Dalam hal ini, peran negara “hampir-hampir” sudah digantikan oleh internet. Belum lagi dikaji –seperti diungkapkan Mahfud MD (2018) –jika era digitalisasi berbasis skill dan otak, sementara nasionalisme sebagai ekspresi bela negara justru berbasis kemanusiaan.

Dalam konteks inilah pertanyaan besar: Masih perlu dan relevankah nasionalisme sebagai ekspresi bela negara? Bagaimana milenial membingkai nasionalisme di era digital ini? –perlu mendapat respons.

Data terakhir menunjukkan, bahwa warga negara Indonesia yang berhak dan wajib bela dengan sesuai dengan konstitusi kita justru didominasi kaum milenial.

Pertama, generasi Baby Boomers (lahir sebelum tahun 1960). Kedua, generasi X (lahir tahun 1960-1980). Ketiga, generasi Y, ini yang disebut generasi milenial (lahir tahun 1980-2000). Keempat, generasi Z (lahir tahun 2000-2010). Kelima, generasi Alpha (lahir tahun 2010-sekarang).

Data ini menunjukkan, milenial mempunyai tanggung jawab besar dalam membingkai nasionalisme di era digital. Hal ini sesuai dengan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa, 25 juta atau sekitar 80% dari pengguna internet adalah kalangan milenial, kelahiran 90an, dan 80an.

Basis Nasionalisme Kini

Basis nasionalisme dulu ketika awal-awal kemerdekaan dan sekarang di era digital ini tentu sangat jauh berbeda. Mahfud MD dalam Pekan Pancasila dan Bela Negara yang diadakan oleh UIN Sunan Kalijaga (2018), mengungkapkan bahwa, menegakkan keadilan dan hukum tanpa pandang bulu harus menjadi basis nasionalisme kita sekarang.

Baca Juga : Bela Negara Sama dengan Bela Agama

Secara elaboratif Mahfud MD menyatakan: “Penegakan keadilan yang bisa mendorong pemaksimalan hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat akan sangat membantu upaya merawat kebangsaan kita secara signifikan. Ketidakadilan telah berkontribusi banyak terhadap meningkatnya penduduk miskin, dan kemiskinan sering mendorong kekufuran dan pembangkangan.”

Memperkuat pernyataan ini, Mahfud MD membangun argumennya dengan hirarkisitas yang dia bangun sendiri. Menurutnya, runtuhnya suatu bangsa tidak lepas dari ketidakadilan dan penegakan hukum, yang ia sebut dengan Empat Dis.

Awal mulanya berawal dari salah arah dalam penegakan hukum (disorientasi); kemudian menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat (distrust); akibatnya kalau ini terus menerus berlanjut akan menimbulkan pembangkangan terhadap orientasi negara (disobedience); pada akhirnya negara menjadi pecah (disintegrasi).

Dengan demikian, upaya bela negara dalam konteks kekinian adalah upaya untuk terus menjaga dan menjungjung tinggi keadilan dan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Jika tidak, tesis yang diungkapkan oleh Mahfud MD tadi bisa jadi ada di depan mata.

Membingkai Nasionalisme

Wujud bela negara dari segi konten dan materi dalam konteks kekinian merujuk kepada apa yang dituturkan oleh Mahfud MD di atas. Dalam hal,  tugas anak bangsa adalah membingkainya. Maksud membingkai adalah, milenial bertugas mengampanyekan, merawat, mengawasi, dan mengkritisi semua yang berkaitan dengan ketidakadilan dan penegakan hukum di Indonesia.

Dengan ikut membingkai, itu artinya milenial sudah berperan aktif sebagai anak bangsa dalam membela negara dengan bentuk menjaga keutuhan agar negara ini tidak pecah disebabkan oleh banyaknya ketidakadilan dan penegakan hukum yang pandang bulu.

Tugas ini tentu bagi milenial tidak terlalu susah. Hanya dengan modal hastag di media sosial maka sebuah kasus akan viral. Dalam masyarakat kekinian, viral di media sosial lebih ditakuti ketimbang diburu oleh polisi. Maka wajar, bagi sebagaiana pelanggar hukum yang dihindari itu malah bukan penegak hukum, tetapi viral di medsos.

Banyak kasus menunjukkan, bahwa media sosial, baik itu Fecebook, Instagram, Youtube, Twitter, dan semacamnya sangat efektif dalam menjaga dam mengawasi proses hukum, dan tegaknya keadilan.

Kasus yang menimpa salah satu anak Muda Madura umpamanya, yang karena alasan ingin membela diri dari serangan begal, maka ia terpaksa membunuh sang begal. Akan tetapi, berkat bantuan media sosial yang viral, anak muda tersebut menjadi bebas.

Contoh-contoh seperti ini banyak. Artinya di era digital, bentuk bela negara sebagai ekspresi nasionalisme tentu berbeda dengan zaman konvensional. Maka tugas milenial dalam membingkai nasionalisme pun jauh berbeda. Dengan tetap membingkai teori dari Mahfud MD tadi, maka perpecahan negara dengan sendirinya bisa ditangani.

Ahmad Kamil

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

1 hari ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago