Narasi

Bersetia bersama Pancasila = Bela Negara

Sejarah selalu memberi kita pelajaran berharga. Dari sejarah, kita belajar berbenah. Apa-apa yang terjadi sepanjang perjalanan bangsa ini mesti menjadi cermin untuk melakukan refleksi dan evaluasi diri. Termasuk tentang bagaimana sejarah memberi kita pelajaran berharga tentang betapa pentingnya komitmen dan keteguhan untuk selalu membela negara dan bangsa meski dalam kondisi yang sulit. Hal ini bisa kita baca dalam sejarah munculnya Hari Bela Negara.

Hari Bela Negara menyimpan memori kuat tentang heroisme kebangsaan, tentang keteguhan untuk menjaga eksistensi bangsa meski keadaan sedang sangta sulit dan genting. Momen yang diperingati setiap tanggal 19 Desember dan ditetapkan melalui Keppres No. 28 Tahun 2006 ini bertuhuan memeringati deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatra Barat pada 19 Desember 1948 oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

1948, kita tahu, artinya usia republik masih sangat muda sejak diproklamasikan pada 1945. Saat itu, Belanda melancarkan Agresi Militer II dan berhasil menguasai ibu kota negara yang saat itu berada di Yogyakarta. Beberapa jam kemudian, Presiden Soekarno memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat. Tak lama berselang, Bung Karno dan Bung Hatta ditawan Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka. Jadilah, pemerintahan dalam kondisi daruat. Ibu Kota dikuasi Belanda. Sedangkan dua pemimpin bangsa ditawan.

Saat kondisi genting tersebut, Mr. Sjafruddin langsung melakukan rapat dengan Gubernur Sumatra, Teuku Muhammad Hasan, sehingga membuahkan hasil berupa deklarasi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pendirian PDRI penting untuk menyelamatkan pemerintahan Indonesia agar tetap berdiri dan berdaulat di tengah kekosongan kepemimpinan pemerintahan NKRI. PDRI diproklamasikan berdiri pada tanggal 22 Desember 1948, lengkap dengan susunan kabinetnya, dengan Mr. Sjafruddin sebagai Ketua dan Teuku Moh. Hasan sebagai Wakil Ketua.

Baca Juga : Asas Bela Negara dalam Khazanah Literatur Pesantren

Sehari kemudian, pada 23 Desember 1948, Mr. Sjafruddin berpidato  dan disiarkan melalui radio ke seluruh rakyat Indonesia. Dengan lantang, Mr. Sjafruddin menegaskan pemerintahan Indonesia masih eksis dan terus menyuarakan perlawanan terhadap kolonial. “….Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi. Pemimpin-pemimpin yang lain akan putus asa. Negara RI tak tergantung pada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga buat kita. Patah tumbuh, hilang berganti!” kata Mr. Sjafruddin dalam pidatonya.

Aksi heroik Mr. Sjafruddin tersebut awet dalam ingatan bangsa Indonesia dan diabadikan dalam peringatan Hari Bela Negara setiap tanggal 19 Desember. Diharapkan, semangat dan spirit Bela Negara yang ditunjukkan oleh Mr. Sjafruddin dan pemimpin-pemimpin saat itu lewat pendirian Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) bisa terus kita resapi dan teladani untuk membangkitkan spirit perjuangan dalam membela, merawat dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ancaman radikalisme

Tentu, semangat berjuang membela negara mesti terus diaktualisasikan dan ditransformasikan untuk menjawab tantangan bangsa yang sedang dihadapi. Dan kita tahu, salah satu ancaman atas kedaulatan bangsa saat ini adalah merebaknya paham atau ideologi radikalisme. Paham radikalisme atau ekstremisme agama tumbuh dan menyebar di tengah masyarakat, menciptakan sikap-sikap intoleran, kekerasan, bahkan aksi-aksi teror yang merusak persaudaraan di masyarakat.

Ideologi radikalisme atau ekstremisme agama terbukti telah menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Tak sekadar masyarakat luas, namun juga menjangkiti kalangan pelajar, guru, akademisi, hingga aparat sipil negara. Berbagai hasil survei menggambarkan hal tersebut. Misalnya, Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menyebut hampir 50 persen pelajar setuju tindakan radikal. 52,3 persen siswa setuju dengan kekerasan untuk soliraditas agama dan 14,2 persen membenarkan serangan bom. Survei tersebut juga menyebut 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tak lagi relevan (cnnindonesia.com, 6/11/2019)

Adapun Penelitian Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2017 mencatat sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi terpapar radikalisme. Sedangkan, penelitian Setara Institut pada Februari-April 2019 terhadap 10 Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia, mengungkap masih banyak wacana dan gerakan keagamaan yang bersifat eksklusifitas (detik.com, 1/7/2019). Kemudian, hasil survei Alvara Research pada Oktober 2018, menyebutkan bahwa ada 19,4 persen Aparatur Sipil Negara (ASN) di 6 kota di Indonesia yang tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Keenam kota tersebut adalah Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar (viaindonesia.com, 24/1/2019).

Bersetia dengan Pancasila

Keadaan tersebut rasanya sudah lebih dari cukup bagi kita untuk semakin meningkatkan kewaspadaan, sekaligus menguatkan kembali Pancasila demi kedaulatan kita sebagai negara bangsa. Paham ekstremisme, radikalisme-terorisme, adalah paham yang tak selaras dengan realitas kemajemukan bangsa Indonesia, sehingga  bisa menciptakan keterpecahan di tengah masyarakat. Jelas, ini ancaman nyata bagi kedaulatan bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Di sinilah, semangat Hari Bela Negara mesti menjadi momentum bagi kita untuk meneguhkan Pancasila sebagai ideologi kita dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perjuangan para pemimpin bangsa 71 tahun lalu yang secara heroik mempertahankan eksistensi pemerintahan Republik Indonesia di tengah kondisi darurat, harus menjadi inspirasi dan pemantik motivasi kita untuk terus menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan dasar Pancasila. Bersetia dengan Pancasila dan secara teguh berjuang menjaga dan mempertahankannya adalah wujud bela negara di tengah ancaman berkembangnya ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Caranya, tentu dengan terus mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

View Comments

Recent Posts

Emansipasi Damai dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sejatinya tidak pernah pincang di dalam memosisikan status laki-laki dan perempuan. Di dalam banyak…

2 hari ago

Langkah-langkah Menjadi Kartini Kekinian

Dalam era modern yang dipenuhi dengan dinamika dan tantangan baru sebelum era-era sebelumnya, menjadi sosok…

2 hari ago

Aisyiyah dan Muslimat NU: Wadah bagi Para Kartini Memperjuangkan Perdamaian

Aisyiyah dan Muslimat NU merupakan dua organisasi perempuan yang memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat…

2 hari ago

Aisyah dan Kartini : Membumikan Inspirasi dalam Praktek Masa Kini

Dua nama yang mengilhami jutaan orang dengan semangat perjuangan, pengetahuan dan keberaniannya: Katakanlah Aisyah dan…

3 hari ago

Kisah Audery Yu Jia Hui: Sang Kartini “Modern” Pejuang Perdamaian

Setiap masa, akan ada “Kartini” berikutnya dengan konteks perjuangan yang berbeda. Sebagimana di masa lalu,…

3 hari ago

Bu Nyai; Katalisator Pendidikan Islam Washatiyah bagi Santriwati

Dalam struktur lembaga pesantren, posisi bu nyai terbilang unik. Ia adalah sosok multiperan yang tidak…

3 hari ago