Ada kesalahan berpikir yang begitu rumit pada pelaku bom bunuh diri dalam memahami jihad dalam Islam. Nalar beragama yang baik akan lebih dulu bertanya: benarkah membunuh orang lain yang tidak seagama atau tidak satu madzhab adalah jihad? Kemudian, apakah bom bunuh diri itu bagian dari jihad?
Dengan mengajukan dua pertanyaan di atas, seseorang dengan sendirinya akan mencari jawaban dari sumber hukum Islam. Apabila penguasaan terhadap ilmu agama lemah, tentu akan bertanya kepada para ulama/Kiai/ustad yang memiliki kompetensi baik dalam bidang agama. Tidak cukup bertanya kepada satu orang, tetapi terbuka juga untuk menerima penjelasan dari beberapa tokoh agama.
Misalnya, menyimak penjelasan Fiqih Jihad karya Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi, di lembar-lembar awal kitab ini sudah ditegaskan, jihad memiliki konotasi makna yang berbeda dengan perang (qital). Jihad tidak sama dengan perang. Jihad yang ditafsirkan hanya perang merupakan makna yang telah direduksi dengan konotasi dan motif negatif.
Kesalahan menafsiri jihad dengan konotasi makna perang jelas tidak sesuai dengan al Qur’an (al Baqarah: 216). Alih-alih sebagai jihad, perang justru merupakan sesuatu yang sangat dibenci olah Tuhan. Secara fitrah, manusia sebenarnya sangat membenci perang. Setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang aman dan damai.
Apalagi membunuh orang lain dengan cara meledakkan diri atau bom bunuh diri. Tindakan ini sedikitpun tidak mendapatkan legalitas dari agama. Dua sumber primer hukum Islam, yakni al Qur’an dan hadits tidak mentolerir tindakan biadab tersebut, bahkan mengutuknya sebagai tindakan biadab. Demikian pula para ulama klasik, tidak ada dari kalangan mereka yang berpendapat boleh melakukan aksi bom bunuh diri. Kalaupun ada kelompok yang mengatakan bom bunuh diri adalah jihad, seperti kelompok radikal, tidak lebih hanya ideologisasi agama, membungkus kebatilan dengan kemasan agama untuk misi politik.
Lebih jauh lagi, Qardhawi dalam Al Islam wa al ‘Unf mengatakan, Islam adalah agama cinta, agama rahmat atau kasih sayang, anti kekerasan dan peperangan. Sebagai bukti, sifat Allah Al Jabbar (Yang Maha Perkasa) dan Al Mutakabbir (Yang Maha Besar) hanya disebutkan dua kali dalam al Qur’an, yakni dalam surat al Hasyr. Sementara sifat Al Rahman dan Al Rahim (Maha Pengasih dan Penyayang) disebut berulang-ulang dalam al Qur’an.
Hal ini menjadi indikasi kuat Islam sebagai agama yang cinta damai dan anti kekerasan. Islam merekomendasikan perang hanya jika umat Islam terpaksa untuk itu. Yakni, ketika diperangi karena agama dan apabila mengalami tekanan dan intimidasi akan diusir dari tanah kelahirannya.
Mengenai jihad, ia memiliki cakupan makna yang sangat luas. Perang adalah salah satu makna jihad, bukan satu-satunya makna jihad. Menurut Ibnu Qayyim al Jauzi dalam Zad al Ma’ad, ada tiga belas makna untuk jihad, salah satunya bermakna perang. Hal ini semakin menegaskan, memaknai jihad hanya dengan arti perang merupakan reduksi terhadap makna dan kehendak jihad dalam Islam. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan oleh pemangku kepentingan dengan memanfaatkan agama Islam untuk meraih tujuan.
Perang dalam Islam tujuannya adalah untuk menghidupkan, bukan mematikan. Artinya, perang bertujuan untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, bukan menciptakan kerusakan baru yang lebih besar. Dalam perang sekalipun, umat Islam hanya diijinkan membunuh mereka yang memerangi, tidak boleh melakukan pembunuhan terhadap siapa saja yang tidak mengangkat senjata berperang dengan umat Islam, lebih-lebih terhadap perempuan dan anak-anak.
Maka, sangat naif kalau memaknai jihad hanya semata perang, apalagi bom bunuh diri. Bunuh diri dan membunuh jiwa tak berdosa bukan bentuk perang yang dinginkan oleh Islam. Perbuatan tersebut justru bertentangan dengan ajaran Islam dan bukan jihad dalam pengertian yang benar.
Karenanya, sebenarnya tidak ada istilah reformulasi makna jihad atau dekonstruksi makna jihad dalam Islam. Sebab, pengertian jihad dalam Islam telah cukup jelas. Jihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk menghidupkan kemanusiaan, bukan membunuh nyawa manusia. Jihad bisa mengambil banyak bentuk, termasuk keinginan untuk memastikan NKRI tetap kuat dan utuh sehingga kedamaian di negeri ini terealisasi dengan sempurna. Cinta tanah air adalah juga perwujudan jihad umat Islam. Demikian pula menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama merupakan jihad.
Yang perlu direformulasi adalah pikiran kotor yang mereduksi makna jihad itu sendiri. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan cara menyegarkan semangat menguasai ilmu agama secara sempurna, atau bertanya kepada mereka yang memiliki pengetahuan agama yang luas. Bukan percaya kepada mereka yang memaknai jihad secara semu untuk tujuan politik tertentu. Sebab, ada sekelompok manusia yang senang melihat konflik, pertikaian dan permusuhan diantara manusia dan tidak suka kedamaian tercipta.
Kelompok seperti ini memakai segala cara untuk menciptakan suasana yang mengerikan, termasuk memanfaatkan agama sebagai tameng untuk kepentingan itu. Salah yang sering mereka lakukan adalah mencari korban supaya bersedia melakukan bom bunuh diri. Naifnya, masih saja ada umat Islam yang bisa mereka percaya sehingga tanpa berpikir akan akibatnya dengan serta merta bersedia menjadi tumbal untuk melakukan pembunuhan keji, sekalipun nyawa dirinya melayang sia-sia.
This post was last modified on 15 Desember 2022 2:12 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…