Tokoh

Kartini dan Perempuan sebagai Duta Anti-Radikalisme

Kartini tidak pernah berbicara tentang radikalisme. Basis utama perhatian Kartini adalah melawan budaya patriarki dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Namun, terlepas dari semuanya itu, meski basis utama pemikiran Kartini adalah kesetaraan gender, tetapi Kartini telah menunjukkan kepada kita bahwa perempuan adalah sosok yang tak kalah gigih dan konsisten dalam memperjuangkan hak-hak bersama.

Dan, saya kira, inilah yang perlu dilihat kembali dan diteladani perempuan masa kini. Yakni, berjuang dan ikut andil dalam penyelesaian masalah-masalah sosial yang sedang terjadi.Karena itu, dalam konteks hari ini, meneladani Kartini tidak mesti harus membicarakan masalah kesetaraan gender dan hak-hak perempuan yang tersubordinasi.

Lebih dari itu, meneladani Kartini juga bisa dalam konteks yang lain. Sebagai duta anti-radikalisme, misalnya. Sesuai dengan konteks masalah sosial yang sedang terjadi. Penulis meyakini, cita-cita Kartini di balik perjuangannya melawan budaya patriarki Jawa sebenarnya tidak sebatas hanya untuk mewacanakan kembali apa yang disebut kesetaraan.

Lebih dari itu, dalam hemat penulis, Kartini hendak menggugah peradaban bahwa perempuan, dengan gender yang melekat pada dirinya, juga mampu melakukan banyak hal untuk keberlangsungan peradaban manusia. Sebagaimana kaum laki-laki melakukannya.

Karena itu, dalam konteks hari ini, dengan meneladani Kartini, ada banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan oleh perempuan. Seperti yang penulis katakan: menjadi duta anti-radikalisme, misalnya. Mengapa tidak mesti kesetaraan gender?

Ibaratnya, kesetaraan gender hanyalah jembatan bagi perempuan untuk bisa terlibat dalam pergumulan panggung sosial atau tampil ke ruang publik layaknya laki-laki. Dan, hal itu sudah selesai—meski tidak sepenuhnya—dibangun oleh Kartini.

Di mana, berkat perjuangan Kartini yang dengan gigih mempromosikan kesetaraan gender, peradaban kita, pelan-pelan, mulai tersadar bahwa kesetaraan itu penting ada dan harus ada guna menjembatani segala potensi yang dimiliki oleh perempuan.

Sebenarnya, di luar persoalan kesetaraan gender, ada banyak pilihan basis selain persoalan radikalisme seperti yang penulis tawarkan di atas. Akan tetapi, tema tentang ”radikalisme dan perempuan” sengaja penulis pilih karena dua hal: pertama, karena radikalisme adalah persoalan serius yang mesti segera ditangani.

Kedua, untuk menangani radikalisme itu, kita membutuhkan peran perempuan. Baik sebagai sosok pencegah ataupun pemberantas radikalisme–perempuan sama-sama punya potensi akan hal itu. Mengapa radikalisme dikatakan sebagai problem sosial yang mesti segera diakhiri dan mengapa perempuan perlu terlibat?

Pertama, karena radikalisme adalah ”bom sosial” yang setiap waktu, bisa menghancurkannya tatanan sosial kebangsaan kita. Kedua, karena sebagian pelaku terorisme-radikalisme adalah anak-anak yang sebagian lagi adalah perempuan.

Atas dasar itu, kiranya bahwa perempuan perlu terlibat dalam aksi nyata pencegahan pemberantasan terorisme-radikalisme tak perlu dibantah lagi. Sebab, selain dua alasan faktual di atas, untuk menjadi Kartini, perempuan masa kini memang perlu banyak aktif melakukan advokasi terhadap apa yang sedang menjadi persoalan bangsa.

Perjuangan perempuan masa kini tidak boleh hanya terjebak pada romantisme kesetaraan gender belaka seperti yang banyak terjadi pada perempuan-perempuan yang mengaku sebagai anak ideologis Kartini. Kartini adalah sosok tangguh yang berlari sekencang mungkin untuk mencapai tujuannya. Tidak sekadar bermimpi dalam tidur.

Karena itu, sangat disayangkan bila Kartini dilihat dan diteladani sebagai sosok pejuang pembebasan perempuan tanpa dimaknai lebih luas lagi. Sebab, bagi penulis, yang penting dari sosok Kartini semata-mata bukan hanya kesesatan gender yang diperjuangkan, melainkan juga sosoknya sebagai perempuan yang berani, tangguh, dan gigih. Yang berani menggugat peradaban demi sebuah perubahan. Inilah yang bagi penulis merupakan nilai tersendiri dari sosok Kartini yang perlu diteruskan oleh perempuan-perempuan masa kini.

This post was last modified on 21 April 2023 8:23 PM

Farisi Aris

Recent Posts

Membaca Ulang Fatwa Jihad Palestina: Perspektif Kritis terhadap Fatwa IUMS

Beberapa waktu lalu, Organisasi Internasional yang menaungi para ulama Muslim dari berbagai belahan dunia, yaitu…

11 jam ago

Menimbang Dampak Maslahat-Mudharat Fatwa Jihad ke Palestina

IUMS (International Ulama Muslim Scholars) beberapa waktu yang lalu, mengeluarkan sebuah fatwa seruan Jihad ke…

11 jam ago

Fatwa Jihad Internasional: Perlukah Indonesia Bertindak di Luar Jalur Diplomasi?

Fatwa jihad yang dikeluarkan oleh International Union of Muslim Scholars (IUMS) pada awal April 2025…

12 jam ago

Bagaimana Seharusnya Muslim Nusantara Meratifikasi Seruan Jihad Global Melawan Israel?

Gelombang kekerasan dan genosida di Palestina, terutama di Gaza oleh zionis Israel seolah kian menggila.…

12 jam ago

Terorisme Pasca JI : Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 2 April 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

16 jam ago

Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

Menarik untuk mengamati fenomena keberadaan masjid yang desain arsitekturnya mirip atau malah sama dengan kelenteng.…

2 bulan ago