Narasi

Kaum Ghuluw, Pembajak Agama, dan Islam yang Hanif

“Konstitusi Islam, yakni Al-Qur’an, saya tidak melihat di dalamnya, kecuali menjadi peringatan bagi fanatisme, ekstrimisme, dan terorisme kriminal” (Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi)

 

Statemen di atas disampaikan oleh seorang ulama yang ‘alim, zahid, dan bersahaja. Beliau adalah Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, ulama Suriah yang pengaruhnya mendunia. Beliau dikenal sebagai ulama moderat, yang lebih menonjolkan Islam dari sisi rahmatan lil ‘alamin. Semasa hidup, Syekh Al Buthi banyak mengkritik gerakan ekstrimisme yang mengatasnamakan Islam. Menurutnya, hal tersebut bukanlah jihad yang sesungguhnya, karena tega membunuh orang-orang tak berdosa.

Pemikiran dan gerakan Syekh Al Buthi rupanya tidak senangi oleh sebagian golongan, terutama Islam garis keras. Maka pada tanggal 21 Maret 2013 M atau bertepatan pada tanggal 9 Jumadil Awal 1434 H, para musuh Syekh Al Buthi berusaha mengentikan langkah beliau dalam menyebarkan Islam, yakni dengan meledakkan diri. Hari itu, Syekh Al Buthi pun gugur sebagai syahid akibat bom bunuh diri yang meluluhlantakkan beliau dan beberapa pengikutnya.

Apa yang dialami oleh Syekh Al Buthi adalah bukti nyata betapa gerakan ekstrimisme dalam Islam begitu berbahaya. Ekstimisme telah mengakibatkan Islam tercoreng di mata pemeluk agama lain.

Kaum Ghuluw dan Pembajak Agama 

Jika dianalisis lebih jauh, lahirnya ekstrimisme tidak jauh-jauh dari sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama. Sikap berlebih-lebihan adalah sikap melampaui batas dalam mengamalkan ajaran agama. Jauh-jauh hari, Nabi Saw sebenarnya sudah mengingatkan akan bahaya sikap ghuluw ini. Nabi Saw bersabda : “Wahai manusia, jauhilah berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah berlebih-lebihan dalam agama.” (HR Ibnu Majah).

Baca juga : Banalitas Kejahatan, Eichmann dan Para Pembajak Agama

Dalam hadis tesebut tegas Nabi Saw melarang sikap ghuluw karena bisa menghancurkan umat, sebagaimana umat terdahulu. Kabar nubuwwah Nabi Saw ini masih relevan hingga hari ini. Buktinya, selepas syahidnya Syekh Al Buthi oleh kaum ekstrimis, Suriah bukannya tambah damai, tetapi tambah berantakan. Perang di Surah hingga saat ini belum usai. Kerugian moril dan materiil terus saja berdatangan. Belum lagi nyawa yang tiba-tiba melayang, semakin menambah derita Suriah.

Sikap ghuluw yang telah menghancurkan umat Islam, menurut KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha), sebenarnya muncul dari umat Islam yang ilmunya kurang. Gus Baha mencontohkan Ibnu Muljam, seorang pembunuh Sayyidina Ali kw. Semasa hidup, Ibnu Muljam dikenal sebagai orang yang taat dalam beribadah, shalat, puasa dan bahkan hafal Al-Qur’an. Tetapi memang pemahaman terhadap keislaman kurang, diibaratkan bacaan Qur’an-nya tidak masuk kecuali sampai batas kerongkongannya. Karena itu, Ibnu Muljam berani membunuh sahabat mulia yang telah dijamin masuk surga, yakni Sayyidina Ali kw.

Fenomena Ibnu Muljam ini, menurut Gus Baha, bisa terjadi pada siapa saja umat Islam yang pemahamannya kurang. Sebagaimana Ibnu Muljam yang taat ibadah, awalnya merasa “paling suci” dari pada orang lain. Lama kelamaan berani menuduh orang lain yang berbeda dengannya sebagai kaum yang salah. Kemudian ia mulai berani menvonis orang lain. Dan ujungnya ia bisa berbuat ekstrim kepada orang yang dipandang buruk. Ia merasa bahwa dirinya adalah “representasi Tuhan” yang berhak menghakimi orang lain. Dalam posisi inilah ia sebenarnya sedang “membajak agama” untuk kepentingan nafsunya sendiri.

Islam yang Hanif

Bahaya sikap ghuluw sebagaimana diuraikan di atas, jelas menjadi ancaman yang sewaktu-waktu bisa membahayakan. Karena itu, perlu langkah optimal agar sikap ghuluw ini tidak menjalar dalam tubuh umat Islam. Caranya tentu saja dengan menambah pengetahuan dan wawasan keislaman dari ulama yang kredibel. Bukan ulama “asal-asalan” yang berfatwa dengan menuruti hawa nafsunya sendiri.

Ulama yang kredibel tentu paham bahwa agama yang dicintai Allah Swt adalah agama yang hanif (lurus) dan samhah (toleran). Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Nabi Saw : “Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran” (HR Bukhari). Islam yang lurus dan toleran tentu bukan Islam yang membolehkan orang untuk memvonis orang lain dengan tuduhan tak berdasar. Apalagi sampai membolehkan membunuh orang lain yang dipandangnya buruk.

Islam yang lurus dan toleran ini, sering diungkapkan oleh KH Mustofa Bisri (Gus Mus), yakni Islam yang mudah untuk diamalkan. Bukan Islam yang mempersulit orang, apalagi berlebih-lebihan (ghuluw). Ringkasnya, Islam mengajarkan manusia untuk saling tolong-menolong dan memberi keselamatan, bukan malah menghancurkan.

Fatkhul Anas

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

4 jam ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

4 jam ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

6 jam ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

6 jam ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

1 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

1 hari ago