Narasi

Kearifan Lokal dan Perpres RAN PE

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 (Perpres RAN PE) resmi ditandatangani oleh presiden beberapa hari yang lalu. Yang menarik dari perpres itu adalah diperhatikan dan diakomodasinya kearifan lokal sebagai salah satu prinsip-prinsip yang mendasari proses dan pelaksanaan RAN PE. Hal ini, bagi saya, tentu saja tak begitu mengejutkan mengingat kearifan lokal telah ditempatkan oleh kalangan radikal yang berpotensi untuk melakukan aksi-aksi terorisme sebagai sesosok musuh atau salah satu target pemberangusan.

Secara sosiologis, kearifan lokal saya pandang sebagai autochthony sebuah masyarakat dimana ketika masyarakat itu dicerabut dari autochthony-nya otomatis ia akan rapuh dan rentan oleh perpecahan (Dada Para Pendadu: Tentang Klaim Kesucian dan Keluhuran, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Padahal, atas dasar autochthony itu sebenarnya sebuah masyarakat memiliki mekanisme pertahanan diri dari serangan atau hal-hal yang berupaya mengoyak keguyuban dan keutuhannya. Mekanisme pertahanan diri yang bersifat turun-temurun ini pernah saya temukan 4 tahun lalu di Dusun Sodong, Desa Gelangkulon, Kecamatan Sampung, dan Desa Klepu, Kecamatan Sooko (Berpijak di Akar Budaya yang Sama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org dan Menghidupi Tradisi, Menyemai Toleransi, Heru Harjo Hutomo, https://saa.iainkediri.ac.id). Dari berbagai kearifan lokal yang dihidupi oleh dua komunitas masyarakat tersebut keberagaman agama dan kepercayaan dapat terjaga karena toleransi yang menjadi autochthony masyarakatnya sangat dikedepankan. Berdasarkan kearifan lokal yang dipegang ini komunitas masyarakat tersebut pernah pula mampu mengusir kalangan penyerobot masjid setempat sebelum HTI secara resmi dibubarkan dan menjadi ormas terlarang oleh pemerintah. Ini semua berjalan berkat dihidupinya prinsip autochthony yang sudah menjadi semacam naluri budaya masyarakat setempat.

Sejak 4 tahun lalu, setidaknya di tempat kelahiran saya, Ponorogo, dan Jogjakarta, kearifan-kearifan lokal memang menjadi salah satu target gerakan-gerakan radikal, baik yang berbungkus agama maupun non-agama. Pengisolasian sosial, pembunuhan karakter, tekanan-tekanan dan perlakuan diskriminatif lainnya merupakan santapan harian. Saya pun pernah melacak dan mengulas berbagai kalangan kapitayan, kalangan yang secara khusus memang menghidupi kearifan-kearifan lokal, mulai dari Ponorogo hingga Jogjakarta. Dan hasilnya pun tak jauh berbeda, ketika tak ingin diperlakukan semena-mena, maka mereka mesti konformistis terhadap ketentuan “masyarakat,” padahal jelas ketentuan-ketentuan tersebut tak memiliki akar pada masyarakat yang diklaim. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan yang diklaim sebagai ketentuan “masyarakat” itu berasal dari luar atau dari jejaring yang memiliki kepentingan di wilayah masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat setempat pun sudah dicekoki sedemikian rupa oleh berbagai sentimen pada golongan tertentu sehingga seperti lupa akan dirinya sendiri atau bahkan sampai membunuh dirinya sendiri karena “membenci” berbagai hal yang sesungguhnya adalah autochthony-nya.

Di samping menjadi kerangka sebuah masyarakat, kearifan-kearifan lokal, baik yang merupakan kekhasan suatu daerah atau yang sudah menjadi komunitas yang berdiri sendiri sebagaimana aliran-aliran kapitayan, sangat mengedepankan prinsip inklusivitas sehingga dengan sendirinya sangat toleran terhadap perbedaan. Bahkan banyak ajaran mereka tentang toleransi telah menjadi salah satu doktrin utamanya. Taruhlah sikap untuk tak boleh fanatik pada Paguyuban Sumarah (Membidik Tanpa Hardik, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Jauh sebelum banyak pihak mengkampanyekan moderasi dalam beragama dan berkepercayaan, sebagaian penganut kearifan-kearifan lokal tersebut telah menghidupi moderasi dalam kesehariannya (Suryomentaram di Tengah Temaram Zaman, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Prinsip melawan penindasan dan ketakadilan pun ternyata telah menjadi bagian dari sejarah kalangan kapitayan. Stigmatisasi “lembek” pada mereka, karena identik dengan kasepuhan, ternyata hanyalah sebentuk pembunuhan karakter agar sebuah masyarakat secara pelahan tercerabut dari akarnya (Temali Sang Mahayogi, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Penyikapan kebanyakan mereka terhadap radikalisme pun juga seturut dengan prinsip autochthony yang bekerja dengan mekanismenya sendiri: “Gabah dumrajak karana dhasak, sang penipu akan lenyap ditelan waktu” (Kawruh, Matahari dan Rembulan Kemanusiaan, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Tak bertepuk sebelah tangan, 4 tahun telah berlalu, sang waktu pun tak menipu, HTI dan FPI, dua ormas radikal yang terkenal itu, bubar dan menjadi ormas-ormas yang dilarang oleh pemerintah.

This post was last modified on 26 Januari 2021 2:11 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

21 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

21 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

21 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago