Di abad 21, dunia menawarkan berbagai bentuk kemajuan untuk mempermudah kehidupan umat beragama. Bila di abad-abad sebelumnya, informasi tentang ajaran agama hanya dinikmati kelompok di wilayah tertentu, di masa sekarang kemajuan teknologi media informasi memungkinkan terjadinya penyebaran informasi agama ke berbagai wilayah di dunia. Umat beragama di Indonesia bisa belajar dari umat di negara lain dengan mudahnya.
Kendati demikian, kemajuan teknologi tidak selalu membawa dampak baik bagi umat beragama. Misalnya, beberapa waktu belakangan kelompok ekstremis seperti ISIS menggunakan deepfake dan chatbot untuk menciptakan karakter AI sebagai medium propaganda. Al-Qaeda bahkan sudah mulai membuat workshop sosialisasi kecerdasan buatan bagi para anggotanya di seluruh dunia. Kemajuan teknologi memberi ruang bagi jaringan teroris untuk melakukan perekrutan anggota secara masif. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi, termasuk kecerdasan artifisial (AI) menyuburkan sikap ekstremisme beragama.
Kehadiran AI mendapat respons dari berbagai akademisi studi agama. Tahun 2024, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan seminar virtual bertajuk Agama dan Kecerdasan Artifisial, Pembicara pada forum kala itu adala Dr. Zeynep Başer dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Kırıkkale University, Turki. Dalam diskusi, Zeynep Başer menekankan pentingnya umat beragama memperlakukan AI sebagai ‘alat pendukung’ kebutuhan hidup manusia. Sebagai contoh, sebagai ahli ilmu tafsir, Zeynep Başer mendukung penggunaan AI sebagai media penerjemahan kata-kata Al-Quran ke bahasa lain sebagai media penyampaian dakwah. Namun sebagai orang beragama, makna tersebut perlu memperhatikan implikasi moral agar tidak melenceng jauh dari tujuan pertumbuhan spiritual. Artinya, peran pengguna AI tetap lebih penting dari pesan yang muncul dari AI itu sendiri sebagai alat pendukung.
Pandangan Zeynep Başer, berpadanan dengan klaim Habib Husein Ja’far Al Hadar dalam sebuah dialog interaktif di media sosial bernama Endgame yang dimoderatori oleh Gita Wiryjawan. Dalam dialog yang bertema Anak Milenial dan Kemajuan Peradaban, Habib Ja’far mengusulkan pandangan yang ia sebut ‘kecerdasan spiritual.’ Di era disrupsi ini, Ja’far mengatakan bahwa kecerdasan artifisial tidak boleh menggerus kecerdasan spiritual. Justru, kemajuan teknologi mesti dipakai untuk memperkuat spiritualitas.
Bentuk kongkret kecerdasan spiritualitas adalah penguatan nilai karakter toleransi melalui bantuan AI (Gita Wirjawan, 2023). AI sejatinya adalah alat bantu umat beragama. Melalui kemajuan teknologi, umat beragama dapat memperkuat relasi dialog antar-agama seperti yang dilakukan Ja’far melalui akun youtube-nya ‘Jeda Tulis’. Saya, pungkas Ja’far memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan ajaran kebaikan Islam. Saya memanfaatkan dan mengendalikan teknologi untuk kepentingan saya dan umat beragama buka justru sebaliknya.
Makna penting yang menurut saya dapat kita tarik dari klaim ‘kecerdasan spiritual’ adalah bahwa umat beragama memiliki kemampuan menggunakan AI sebagai sarana penyebaran kebaikan agama dan bukan justru sebaliknya. Kebalikan dari kecerdasan spiritual adalah kelemahan spiritual. Orang yang tidak dapat memanfaatkan AI dengan baik menunjukkan kelemahan spiritual. Oleh karena itu, banyak orang menggunakan AI secara tidak bijaksana seperti menyebarkan berita bohong, mengakses informasi dan tayangan tidak mendidik, serta menyebarkan konservatisme dan radikalisme agama seperti yang dilakukan oleh ISIS dan Alqaeda.
Bertolak dari ide kecerdasan spiritual, penting untuk umat beragama memperkuat ide moderasi beragama sebagai jalan membangkitkan kecerdasan spiritual. Berikut adalah langkah yang dapat diambil.
Pertama, moderasi beragama berpotensi memperkukuh kecerdasan spiritual untuk menyikapi perkembangan AI yang sangat pesat seperti sekarang ini. Orang yang mengambil sikap moderat memiliki kemampuan untuk menyeleksi informasi yang baik dan tidak baik. Saat memanfaatkan AI dan berbagai teknologi lainnya, seorang moderat dapat menghindari informasi yang bercorak konservatif dan radikal. Kita dapat menyikapinya dengan tidak menyebarkan informasi sesat dan berpotensi menimbulkan konflik.
Kedua, kecerdasan spiritual membantu orang yang bersikap moderat tidak memandang AI sebagai sumber pengetahuan moral utama. Orang memakai AI secukupnya sebab yang paling penting adalah memupuk kecerdasan spiritual untuk kehidupan bersama. Dalam hal ini, sikap moderasi beragama menjadi genting agar orang tetap menengahi kecenderungan untuk memperhatikan keseimbangan kebutuhan spiritual dan kebutuhan memanfaatkan teknologi.
Ketiga, kecerdasan spiritual harus menjadi dasar sikap moderasi beragama di tengah kemajuan AI. Saat ini, sangan sulit untuk orang menahan laju perkembangan teknologi dan AI. Manusia suka dengan kemajuan agar dapat memudahkan berbagai kehidupan. Justru, di zaman semacam ini, moderasi beragama menjadi penting agar orang tetap menyeimbangkan keinginan sikap spiritual dan keinginan untuk bergerak mengikuti zaman. Kemajuan teknologi tidak memaksa orang untuk meninggalkan spiritualitas dan berubah menjadi orang yang fanatik dan konservatif. Oleh karena itu, moderasi beragama dapat berperan untuk menyeimbangkan aspek spiritual dan godaan zaman karena kemajuan AI.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…