Apapun alasanya, aksi terorisme yang membunuh manusia yang tidak berdosa merupakan tindakan bejat dan bajingan yang wajib dikutuk oleh siapapun yang masih punya nalar sehat dan nurani kemanusiaanya. Apalagi bagi orang-orang yang mengaku beragama, melihat tragedi barbarianisme dalam bentuk bom bunuh diri yang merusak tatanan sosial dan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah yang banyak haruslah dikutuk secara bersama. Tak hanya itu, perlu ada gerakan bersama dari seluruh elemen bangsa, khususnya umat beragama untuk melawan perilaku anti agama tersebut dengan komitmen kebangsaan yang tinggi.
Perlu ada penyatuan persepsi dan komitmen bersama bahwa ancaman terorisme dengan pemahaman dan jaringan yang mereka miliki bukanlah hal sepele dan dipandang sebelah mata. Mereka tidak hanya membunuh manusia tak berdosa, merusak fasilitas umum, menghancurkan rumah-rumah ibadah, menghadirkan rasa resah dan ketakutan publik, tetapi juga melampui hal-hal itu, mereka mencoba mengoyak dan membuat retak bangunan persaudaraan, persatuan dan kesatuan elemen bangsa. Berusaha merusak pondasi toleransi, multikulturalisme, dan hubungan antar umat beragama yang telah dibangun selama ini, dan membangunnya penuh dengan jalan terjal dan tertatih-tatih. Bisa dibayangkan, jika bangunan ini retak, lalu runtuh, maka NKRI bubar. Hal ini seringkali tak disadari oleh sebagian besar warga bangsa yang masih berpikiran sempit yang hasratnya dipenuhi dengan nalar politik jangka pendek.
Kita seringkali lupa bahwa negeri ini adalah suatu negeri yang besar yang di dalamnya memiliki lebih kurang 17.480 buah pulau. Negeri yang cukup multikultural dengan suku atau kelompok etnik sebanyak 1.340 suku bangsa. Memiliki kepercayaan dan tradisi 7.894, dengan jumlah bahasa daerah sekitar 617 bahasa. Suatu negeri yang sangat pluralistik dan sekaligus sangat rentan dengan konflik dan perpecahan kalau-kalau tidak dirawat dan dijaga keberagaman ini secara bersama dengan suatu ketulusan dan komitmen yang tinggi.
Beberapa rentetan bom bunuh diri yang menguncangkan tanah air baru-baru ini, baik yang terjadi di tiga gereja dan markas-markas kepolisian di Surabaya-Sidoarjo yang telah menewaskan 25 orang tak berdosa. Termasuk 13 orang pelaku ikut pula hancur lebur dengan anak istri serta anak belianya. 55 orang harus dirawat karena luka-luka. Di Riau, aksi terorisme (penganut teologi maut) ini menabrakkan mobil ke Polda Riau. Akibatnya, 1 orang polisi tewas dan 4 luka-luka. Sementara, 4 orang pelaku tewas dan 1 lagi berhasil dibekuk polisi. Di beberapa daerah, setidaknya ada 33 orang terduga teroris yang berhasil dilakukan penindakan oleh polisi berdasarkan laporan sumber-sumber media yang terpercaya.
Tragedi yang mengagetkan dan sungguh melukai perasaan dan menombak mata batin rasa kebangsaan kita, sehingga betul-betul terluka. Kejadian ini seharusnya membuka lebar-lebar nalar, hati nurani, dan segenap kesadaran kita bahwa keberagaman sebagai sebuah bangsa dan NKRI sebagai komitmen bersama seluruh elemen bangsa yang ada di dalamnya tengah menghadapi ancaman serius yang sangat menakutkan sekaligus mengerikan. Mengapa menakutkan dan mengerikan? Karena yang diserang adalah rumah-rumah ibadah, yang diruntuhkan tempat-tempat umum yang dianggap thoghut, dan yang mengerikan lagi adalah mereka membajak agama sebagai pembenaran teologi maut yang mereka anut. Sehingga agama yang suci, panduan moral, menebar kasih sayang dan cinta damai, kemudian berubah wajahnya menjadi bringas, sadis, dan sangat menakutkan di tangan kotor mereka-mereka yang sesungguhnya anti agama ini. Perilaku segelintir manusia yang membajak simbol agama ini seolah membenarkan apa yang dituduhkan Paul Kurtz (1994), Nietzsche (1966), dan Sartre (1945) yang secara fundamental menentang agama dan berpandangan bahwa agama sebagai sumber dari hampir semua masalah kemanusiaan di dunia.
Anehnya, dalam suasana duka yang mendalam, bercucur darah, berkeping-keping daging dan tulang belulang manusia karena tragedi ini, jatuh korban, iris tangis membasahi pertiwi, langit kabut mengiringi duka yang cukup mendalam, tapi masih saja ada sebagian warga bangsa yang putus urat peduli dan rasa kemanusiaannya, lalu berceloteh dan mengatakan bahwa bom yang meledak diberbagai tempat dan rumah ibadah tersebut adalah rekayasa penguasa dan hanyalah settingan belaka. Sungguh ironi memang, masih banyak status-status ditulis di dinding media sosial yang menyangsikan kebenaran dari aksi barbar yang jelas-jelas kita saksikan di depan mata telanjang kita tersebut. Bahkan yang menyebarkan hoax ini adalah steakholder yang seharusnya menyejukkan suasana dan ikut mengecam aksi anti kemanusiaan tersebut, malah membuat pernyataan-pernyataan yang mengaburkan kebenaran jika bukan membela terorisme.
Cukup disayangkan, di Kalimantan Barat ada seorang kepala sekolah berinisial FSA, lewat dinding medsosnya ia mengatakan “Sekali mendayung 2-3 pulau terlampaui. Sekali ngebom: 1. Nama Islam dibuat tercoreng ; 2. Dana trilyunan anti teror cair; 3. Isu 2019 ganti presiden tenggelam. Sadis lu bong… Rakyat sendiri lu hantam juga. Dosa besar lu..!!!”. Karena status hoax dan meresahkan ini, FSA ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh pihak penegak hukum. Hal yang serupa pula dilakukan oleh seorang dosen Universitas Sumatera Utara (USU) Himma, ia mengatakan “Skenario pengalihan yg sempurna… #2019GantiPresiden” tulisnya di akun facebook. Atas pernyataannya itu, Himma ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolda Sumatera Utara. Sebenarnya masih banyak status-status yang bertebaran di media sosial yang tidak bertanggung jawab dan tanpa sadar justru memberi angin segar dukungan kepada kelompok atau jaringan radikalisme-terorisme di Indonesia.
Pada konteks inilah saya melihat bahwa ada semacam ambiguitas sebagian umat Islam dalam menyikapi aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam tersebut. Masih ada dan masih banyak diantara umat Islam yang membangun nalar yang menimbulkan keraguan, kekaburan, dan konstruksi opini seolah-olah aksi bom bunuh diri tersebut tidak jelas dan diragukan kebenarannya. Padahal faktanya harus diakui bahwa ada sekelompok orang yang membajak nama Islam sebagai jalan pintas untuk memenuhi kepentingannya. Dan jelas ini merugikan citra Islam itu sendiri. Kelompok ini bisa datang dari internal umat Islam, yang akar sejarahnya memenag ada, yaitu kelompok khawarij. Dan juga bisa dari pihak luar tanpa disadari mereka sengaja memanfaatkan, memprovokasi, dan membudidayakan kelompok radikal Islam untuk kepentingan ekonomi dan politik di belahan dunia.
Apapun motifnya, entah karena sesat paham terhadap ajaran agama, ataupun adanya campur tangan jaringan luar, hemat saya, sudah saatnya umat Islam membuang jauh-jauh ambiguitas, lalu bersama-sama menyelamatkan citra Islam dengan membendung paham radikalisme dan bersama menyatakan dukungan kepada pemerintah untuk pemberantasan terorisme hingga keakar-akarnya. Saatnya pemerintah dan seluruh elemen bangsa, khususnya bersama elemen umat Islam dapat duduk bersama dan merumuskan langkah konkrit yang komprehensif dalam membendung bahaya radikalisme, dan jaringan terorisme di Indonesia. Wallahu’alam
This post was last modified on 6 Juni 2018 3:01 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…