Kebangsaan

Kejawen dan Demokrasi Substantif

Dalam kebudayaan Jawa, demokrasi sebagai substansi sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum istilah “demokrasi” itu tercipta. Tak sekedar sebentuk konsep sosial-politik-ekonomi, dalam kebudayaan Jawa demokrasi sebagai substansi itu justru untuk pertama kalinya berkaitan dengan hubungan antara Tuhan (Gusti) dan insan (kawula).

Dalam kebudayaan Jawa, sebagaimana yang tercermin dalam pagelaran wayang kulit, Tuhan tak selamanya didudukkan sebagai sang dalang sebagaimana yang selama ini diasumsikan. Lepas dari citra totalitarianisme dan otoritarianisme, yang tentu saja merupakan potensi dari kedudukan seorang dalang, Tuhan dalam kebudayaan Jawa lebih berperan laiknya “yang menanggap,” atau yang diistilahkan sebagai “Sang Hyang Manon” (Sangkan-Paran, Heru Harjo Hutomo, Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2021).

Ketika dalil pertama dari demokrasi adalah sebentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat—yang kemudian melahirkan semacam “iman sekularistik” bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan—, tepatlah bahwa demokrasi sebagai substansi sudah dikenal dan diterapkan di Jawa pada tataran spiritual.

Karena itulah kenapa di Jogja feodalisme itu, secara politis, dapat seturut dengan semangat demokrasi yang konon adalah sebentuk sistem yang mendudukkan rakyat atau kawula pada posisi yang tinggi dalam sebuah hierarki kekuasaan.

HB IX dan HB X adalah beberapa raja Jogja yang kentara menganut dan kemudian menerapkan demokrasi substantif semacam itu. Barangkali, pendidikan modern adalah faktor yang menyebabkan mereka menjadi seorang demokrat tanpa perlu berkoar-koar soal demokrasi. Tapi, pada dasarnya, warisan kebudayaan yang lazim dianggap tradisional dan feodallah yang menjadikan mereka berkiprah secara demokratis.

Ketika Tuhan dalam kebudayaan Jawa lebih didudukkan laiknya “yang menanggap” pagelaran ataupun “Sang Hyang Manon” (Yang Maha Tahu), maka ketika itu pula kekuasaan (purba wisesa) itu mendekati pengertian kekuasaan sebagaimana yang pernah dirumuskan oleh seorang Michel Foucault: abstrak, tak sentralistik, tak hierarkis, dan tak bisa dilokalisir. Atau dengan kata lain, purba wisesa atau kekuasaan itu lekat dengan setiap bentuk kehidupan (Urip).

Sebagaimana peristiwa atau kerusuhan ’98, sebagai sebuah tamsil yang bagus, HB X kembali berperan dan menyingkapkan karakteristik kekuasaan dalam kebudayaan Jawa, yang menurut kacamata orang zaman sekarang, bersifat demokratik.

Memang benar, dalam sebuah pagelaran wayang, sang dalang memang berkuasa. Namun, kekuasaan itu ternyata hanya akan terlaksana karena palilah dari Sang Hyang Manon atau “yang menanggap.” Sementara, tentang kesuksesan ataupun ketaksuksesan sebuah pagelaran para pemirsa atau yang melihatlah yang berkepentingan.

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Mengapa Tidak Ada Trias Politica pada Zaman Nabi?

Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa…

7 jam ago

Rekonsiliasi dan Konsolidasi Pasca Demo; Mengeliminasi Penumpang Gelap Demokrasi

Apa yang tersisa pasca demonstrasi berujung kerusuhan di penghujung Agustus lalu? Tidak lain adalah kerugian…

10 jam ago

Algoritma Kemarahan; Bagaimana Kegaduhan Medsos Berperan Mendelegitimasi Pemerintah?

Akhir Agustus, ketika sejumlah kota di Indonesia dilanda demonstrasi massa, media sosial pun ikut bergejolak.…

1 hari ago

Membaca Solusi Khilafah: Antara Romantisme Sejarah, Ideologisasi dan Realitas Kontemporer

Khilafah sering kali digembar-gembor oleh sebagian kecil kelompok sebagai solusi pamungkas bagi segala permasalahan umat…

1 hari ago

Membaca Kerentanan Anak Muda dalam Jejaring Kekerasan Demonstrasi

Demonstrasi yang terjadi di Indonesia pada tanggal 25-28 Agustus telah memberikan peringatan keras bagi para…

1 hari ago

Menyingkap Simpati Semu dalam Narasi Radikal

Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia diguncang oleh serangkaian demonstrasi besar yang melibatkan berbagai elemen masyarakat,…

2 hari ago