Narasi

Kekeliruan Istilah Ulama “Pribumi” vs Ulama “Impor”

Wacana yang memisahkan ulama menjadi “pribumi” dan “impor” adalah konstruksi sosial yang lemah secara historis dan keliru secara epistemologis. Di balik istilah itu tersembunyi bias identitas, politisasi agama, dan pengaburan makna keulamaan itu sendiri. Islam tidak mengenal batas geografis dalam transmisi ilmunya. Ia menyebar lintas benua, menembus batas etnis, dan tumbuh dalam ruang kosmopolitan ilmu pengetahuan.

Sejak awal, Islam di Nusantara merupakan hasil dari jaringan ulama transnasional. Para pembawa Islam pertama bukan berasal dari satu etnis atau bangsa tunggal. Mereka datang dari Gujarat, Hadhramaut, Persia, hingga Asia Tengah, membawa ajaran Islam yang kemudian berinteraksi dengan budaya lokal. Para Wali Songo adalah contoh dari proses akulturasi ini, bukan simbol eksklusivitas lokal, melainkan representasi keterbukaan global.

Dalam tradisi keilmuan Islam, paspor dan akta kelahiran tidak pernah menjadi syarat sahnya sebuah ilmu. Seorang alim ulama diukur bukan dari warna kulit atau logat bicaranya, melainkan dari kedalaman ilmunya, ketajaman analisisnya, dan integritas akhlaknya. Imam al-Ghazali dihormati di seluruh dunia bukan karena ia seorang “Persia”, melainkan karena Ihya’ Ulumiddin-nya mampu menghidupkan jiwa-jiwa yang kering di mana pun mereka berada.

Begitu pula Syekh Nawawi al-Bantani, putra Banten yang menjadi Sayyidul Ulama’ al-Hijaz (pemimpin ulama Hijaz). Ia tidak dihormati di Mekkah karena stempel “pribumi Indonesia”, tetapi karena keluasan ilmunya yang menjadi rujukan bahkan bagi ulama-ulama Arab sekalipun. Beliau adalah bukti hidup bahwa ilmu mampu meruntuhkan sekat-sekat geografis yang sempit.

Istilah “ulama impor” tidak hanya keliru, tetapi juga merendahkan. Seolah-olah ulama yang datang dari luar tidak memahami konteks lokal, dan oleh karena itu, ilmunya dianggap tidak sah. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa banyak pembaruan Islam justru lahir dari interaksi lintas budaya. Ketika ulama asing belajar dari masyarakat lokal, dan sebaliknya, terjadi pertukaran ilmu yang memperkaya peradaban. Menutup pintu bagi ulama luar hanya akan mempersempit cakrawala keilmuan umat.

Di sisi lain, klaim eksklusif atas “ulama pribumi” juga bermasalah. Tak sedikit dari mereka yang mengutip kitab-kitab berbahasa Arab, belajar dari pesantren yang menggunakan kurikulum klasik Timur Tengah, dan memakai metodologi ilmu yang berasal dari luar. Jadi, bagaimana bisa disebut murni “lokal”? Jika semua ilmu dan tradisi keulamaan kita bersumber dari jaringan global, maka dikotomi ini menjadi tidak relevan.

Pemisahan semacam ini sering kali tidak lahir dari kepentingan keilmuan, melainkan dari agenda politik. Ulama yang berbeda pandangan ideologis akan dicap “impor” agar delegitimasinya terasa lebih mudah. Sebaliknya, mereka yang berpihak pada narasi dominan akan dilabeli “asli” dan “representatif”. Padahal dalam Islam, kebenaran tidak ditentukan oleh asal-usul, melainkan oleh kesesuaian dengan ilmu dan akhlak.

Dalam konteks sosiologis, upaya mengotak-ngotakkan ulama berdasarkan garis etnis atau nasionalitas adalah bentuk primordialisme baru yang justru bertentangan dengan semangat universal Islam. Identitas Islam tidak dibatasi oleh batas negara, dan ulama adalah simbol dari keterhubungan itu. Mereka menjadi jembatan antara teks dan konteks, antara masa lalu dan masa depan.

Lebih berbahaya lagi, wacana ini berpotensi membelah umat. Umat akan belajar untuk menolak ilmu bukan karena ia salah, tetapi karena datang dari “orang luar”. Sikap ini mengarah pada chauvinisme keagamaan yang anti-dialog dan anti-ilmu. Jika ini dibiarkan, maka ruang publik Islam akan menjadi sempit, penuh kecurigaan, dan kehilangan semangat ijtihad.

Islam tidak pernah berkembang dalam ruang yang tertutup. Dari Baghdad ke Kairo, dari Timbuktu ke Aceh, dari Andalusia ke Pattani, ilmu menyebar karena ada kesediaan umat untuk belajar dari siapa pun yang membawa cahaya. Ulama bukanlah penjaga lokalitas, tetapi pengemban amanat ilmu yang melampaui batas.

Membela ulama karena dia “pribumi” atau menolak ulama karena dia “impor” adalah bentuk loyalitas semu. Kebenaran harus dicarikan sandarannya pada argumentasi, bukan pada asal geografis. Yang kita butuhkan hari ini bukan kategorisasi ulama berdasarkan wilayah, tetapi pemurnian makna keulamaan sebagai pengabdian terhadap ilmu, kebenaran, dan umat.

Dengan membongkar dan menolak narasi ini, kita menjaga marwah keilmuan Islam dan mencegahnya dijadikan alat propaganda sempit. Ulama adalah milik umat, bukan milik satu bangsa, golongan, atau partai. Dan selama ia membawa ilmu dan akhlak, maka ia layak dihormati—tanpa perlu dilabeli dari mana ia datang.

Syukron

Recent Posts

Waspada Karakter Fasik di Era Digital: Menyaring Informasi, Menyelamatkan Persatuan

Di era digital yang dibanjiri informasi, sikap kehati-hatian dan bijak menjadi kebutuhan pokok. Bayangkan, setiap…

55 detik ago

Anak dalam Jejaring Teror, Bagaimana Menghentikan?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan…

3 hari ago

Peran Penting Orang Tua dalam Melindungi Anak dari Ancaman Intoleransi Sejak Dini

Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, media sosial telah menjadi arena bebas…

3 hari ago

Ma-Hyang, Toleransi, dan Kesalehan dalam Kebudayaan Jawa

urip iku entut gak urusan jawa utawa tionghoa muslim utawa Buddha kabeh iku padha neng…

3 hari ago

Petaka Takfiri-Bedah Narasi Pengkafiran Kelompok Radikal Teroris : Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 5 Juni 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

3 hari ago

Menimbang Pendidikan Anak: Benarkah Kurikulum Tahfizh Tersimpan Virus Intoleransi?

Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan berbasis tahfizh (hafalan Al-Qur’an) semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia.…

4 hari ago