Narasi

Kelas Sebagai Etalase Kemajemukan; Bagaimana Melahirkan Generasi Kritis dan Empatik?

Sekolah modern mengenal pembagian kelas berdasar umur dan kemampuan murid. Kelas sebagai bangunan fisik didesain untuk memudahkan pembelajaran. Anak didik konsentrasi belajar dengan duduk rapi, memungkinkan mereka menyimak, mencatat, dan melakukan apa saja yang berhubungan dengan aktivitas belajar mengajar.

Namun, secara sosiologis kelas bukan sekadar ruang fisik belaka. Kelas adalah manifestasi relasi sosiologis antar individu, mulai dari guru, murid, aturan internal sekolah dan sistem pendidikan nasional dalam lingkup yang lebih luas. Bahkan, dalam pemaknaan yang lebih luas, kelas juga dimaknai sebagai arena kontestasi wacana dan ideologi.

Jika merujuk pada konsepsi Emile Durkheim, kelas adalah representasi dari teori fungsionalisme struktural, dimana setiap elemen mulai dari guru dan siswa menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Sistem sosial di ruang kelas dapat berjalan ketika ada konsensus bersama dan masing-masing pihak berkomitmen untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan sosial secara keseluruhan.

Sedangkan jika merujuk Pierre Bourdieu, kelas adalah perwujudan dari habitus. Ruang kelas adalah arena dimana kebiasaan, perilaku instingtif, dan pengalaman manusia diekspresikan dan dinegosiasikan secara otomatis alias tanpa disadari. Maka, ruang kelas di setiap sekolah pasti berbeda secara sosiologis.

Ruang kelas sebuah SD Negeri di pelosok Papua tentu berbeda dengan ruang kelas sebuah SD Negeri di kota besar seperti Jakarta. Maka, ruang kelas bukan sekadar tempat belajar ilmu pengetahuan.

Ruang kelas juga menjadi arena menempa karakter, menguatkan identitas, dan menginternalisasi prinsip kehidupan. Dalam konteks Indonesia, ruang kelas juga menjadi etalase kemajemukan dimana perbedaan identitas, budaya, agama, bahasa, dan latar belakang sosial dikompromikan dalam sebuah mekanisme sosial.

Dalam konsep pendidikan modern, kelas idelanya didesain secara sosiologis dengan mengedepankan prinsip kesetaraan. Guru tidak lagi menjadi pusat pembelajaran di kelas. Guru tidak ditempatkan sebagai si maha tahu yang paling berkuasa di kelas.

Sebaliknya, peran guru bergeser menjadi fasilitator dan inspirator. Guru berperan memfasilitasi aktivitas belajar siswa dan menjadi contoh bagi pembentukan karakter melalui perilaku yang dibangun di atas keteladanan.

Model kelas yang egaliter ini bertujuan untuk melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, namun juga memiliki kemampuan berpikir kritis dan empatik. Bagiamana kesetaraan di ruang kelas mampu menumbuhkan sikap kritis dalam empatik?

Ruang kelas yang egaliter memungkinkan setiap siswa menjadi dirinya sendiri. Termasuk menyampaikan pandangannya secara terbuka tanpa takut diintimidasi oleh siapa pun. Kelas yang egaliter akan mendorong kritisisme siswa, yakni kemampuan anak didik dalam melihat sebuah persoalan atau isu dengan perspektif lain yang tidak mainstream. Kemampuan berpikir adalah keterampilan mutlak yang harus dikuasi oleh generasi sekarang. Generasi yang hidup di tengah kesimpangsiuran informasi yang rawan menyesatkan.

Selain menumbuhkan sikap kritis, ruang kelas yang egaliter juga mendorong anak mengembangkan sikap empatik. Komunikasi yang terbuka dimana setiap individu dianggap setara akan membuat semua anggota kelas merasa aman dan nyaman.

Perasaan itu memperkuat rasa saling percaya dan menghapus sikap saling curiga apalagi benci. Benih empati akan mudah tumbuh dalam ekosistem sosial yang mengedepankan kesetaraan dan rasa saling percaya.

Generasi yang kritis dan empatik adalah modal menuju kemajuan bangsa. Perpaduan antara sikap krisis dan empatik adalah hal yang mahal hari ini. Banyak generasi muda hari ini memiliki kemampuan berpikir kritis, namun sayangnya gagal berempati. Alhasil, kritisisme kerap berujung pada vandalisme atau bahkan ekstremisme. Sikap kritis diekspresikan melalui kebencian dan kekerasan.

Sebaliknya, banyak anak muda yang kuat secara empati, namun tidak kritis dalam melihat persiapan. Akhirnya, mereka terjebak pada sikap naif. Generasi naif ini begitu mudah dimobilisasi opini dan perilakunya dengan isu atau narasi tertentu.

Generasi naif ini mudah menolong, suka bersolidaritas, dan gemar berdonasi, namun cenderung hitam putih dalam melihat persoalan. Konsekuensinya, mereka kerap dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan politis maupun ideologis.

Mendesain ruang kelas sebagai etalase kemajemukan identitas dan pikiran membutuhkan peran guru. Guru yang berpikiran progresif niscaya mampu menjadikan kelas sebagai laboratorium sosial tempat anak meneliti, menganalisa, dan mengidentifikasi fenomena sosial.

Salah satu tantangan terbesar bangsa ini adalah mengelola kemajemukan. Berulang kali, kemajemukan bangsa menghadirkan gesekan sosial. Konflik yang dilatari perbedaan suku atau agama perbedaan adalah kegagalan kita merawat kemajemukan. Pendidikan idealnya menjadi solusi bagi problem yang dilatari kemajemukan.

Pendidikan harus berkontribusi positif secara langsung untuk mengatasi problem terkait kemajemukan. Pendidikan harus melahirkan generasi yang kritis sekaligus empatik. Hal itu hanya bisa diwujudkan dengan mendesain kelas yang egaliter dimana setiap individu diperlakukan setara.

Nurrochman

Recent Posts

Inilah Sosok Guru yang Dibutuhkan dalam Negara Majemuk seperti Indonesia!

Dalam negara majemuk seperti Indonesia, posisi guru tidak hanya berkaitan dengan tugas mengajar di ruang…

11 jam ago

Peran Guru dalam Mencetak Generasi Nasionalis Anti-Radikalisme; Hal yang Tak Bisa Digantikan AI

Di tengah arus digitalisasi yang kian deras, keberadaan kecerdasan buatan (AI) menjadi bagian tak terpisahkan…

12 jam ago

Mengapa Anak Rentan Terpapar Paham Kekerasan?

Fenomena terpaparnya 110 anak usia 10–18 tahun oleh paham radikal-terorisme, sebagaimana ditemukan Densus 88 melalui…

4 hari ago

Mengapa Anak-Anak Sangat Menyukai Konten Provokatif? Ini Penyebabnya!

Minat anak dan remaja terhadap konten provokatif kini semakin terlihat jelas. Video tawuran yang dianggap…

4 hari ago

True Crime Community; Bagaimana Telegram Menjadi Paltform Penyebar Kekerasan Mimetik?

Kepala BNPT Komjen Edy Hartanto menyebut bahwa pelaku pemboman di SMAN 72 Jakarta mengakses konten…

4 hari ago

Teror Tak Kasat Mata: Menghadapi Virus Ideologi yang Menginfeksi Nalar Siswa

Kita sedang berada di fase sejarah di mana "ruang aman" adalah sebuah kemewahan yang nyaris…

4 hari ago