Narasi

“Kembali ke Betlehem” : Menabur Kasih, Mencegah Ekstremisme

Pengusung ideologi ekstrem telah membuat kekacauan sejak berabad-abad yang lalu. Penyakit dari
ekstremis sebenarnya adalah kecacatan dalam berfikir sehingga terlalu condong pada praduga yang
kental dengan karakter pribadi mereka dalam menentukan hukum dan tindakan.

Ketidakstabilan dalam masyarakat, umumnya terjadi karena pola pikir yang terlalu condong pada
satu arah. Bukan dalam hal beragama saja, dalam perilaku, politik dan lain-lain, ekstremis (puritan)
adalah biang kerok sesungguhnya. Ekstremis adalah bentuk dari egosentris yang sebenarnya.

Padahal nalar yang mereka gunakan adalah nalar-nalar lemah namun dikemas dengan meyakinkan.
Ekstremis ini selain membuat agama terlihat sempit, mereka juga menodai agama karena membuat
manusia-manusia memandang agama menjadi hal yang buruk bahkan tidak penting.

Ekstremis Menafikan Hukum Praduga dalam Islam

Hukum fikih yang kita kenal kebanyakan merupakan produk pemikiran ulama yang digali dari dalil-
dalil agama. Dalil-dalil yang bersifat eksplisit, menghasilkan hukum yang jelas yang disepakati oleh
para ulama yang kita kenal dengan ijma’. Sedangkan dalil-dalil yang tidak eksplisit menghasilkan
hukum-hukum praduga yang membuat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kenyataanya
banyak sekali hukum praduga ini dan para ulama sadar dan menerima bahwa perbedaan ini adalah
sebuah kewajaran sampai akhirnya datang kelompok ekstremis.

Kelompok ekstremis berkeyakinan bahwa pendapat dia adalah kebenaran dan kebenaran harus
diperjuangkan dengan cara apapun. Mereka tidak mau menerima perbedaan pendapat. Bahkan
aneh sekali, mereka menyeret hal-hal yang bersifat praduga pada hukum absolut. Sehingga yang
berseberangan pendapat dengan dia bisa saja mereka anggap kafir dan halal darahnya untuk
dibunuh.

Mayoritas ulama menggali hukum berdasarkan praduga-praduga yang disusun dari kumpulan dalil
yang sangat banyak dan diolah dengan alat-alat bahasa dan logika. Ekstremis tidak membutuhkan
pengolahan dalil yang sangat banyak, mungkin karena mereka tidak mempunyai perbendaharaan
dalil yang memadai. Sehingga hukum praduga mereka dianggap sebagai hukum Allah. Mereka tidak
membedakan dugaan dan keyakinan. Karena itulah ekstremis cenderung merasa ekslusif.

Ekstremis Tidak Menghargai Kemanusiaan dan Perdamaian

Sebelum Ekstremis membuat citra Islam menjadi buruk, Islam tercitra sebagai agama yang
mengkampanyekan semangat peradaban, kesetaraan, keadilan, saling berbuat baik dan tolerasi
tanpa adanya fanatisme. Selain mempertimbangkan hubungan dengan Sang Pencipta, Islam juga
mempertimbangkan hubungan dengan sesama makhluk, baik makhluk hidup maupun lingkungan.
Allah sangat menghargai manusia. Bahkan Dia memuliakannya. Hal ini terekspos secara nyata dalam
ayat 70 surah al-Isra’:
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam
Salah satu bukti Allah menghargai manusia adalah memberikan hak pada manusia dalam masalah
dosa. Dosa di dalam dunia Islam, dibagi menjadi dua. Dosa yang berhubungan dengan Allah dan yang
berhubungan dengan manusia.

Dosa yang berhubungan dengan Allah, dijanjikan akan diampuni jika pendosa meminta ampunan paa
Allah dengan cara bertaubat. Sedangkan dosa yang berhubungan dengan manusia, selain
mencederai manusia, dosa ini juga mengkhianati Allah. Oleh sebab itu cara membersihkan dosa ini
ditentukan oleh dua pihak, yaitu Allah dan manusia. Untuk bertaubat dari dosa ini, seorang pendosa
harus mendapatkan ampunan dari Allah dan pemaafan dari manusia. Bukan kah dosa ini lebih berat?
Jadi ekstremis telah melakukan kesalahan dalam berfikir. Bagaimana mereka mencederai hak-hak
kemanusiaan dengan nama Allah dan membuat kecemasan? Sedangkan Allah sendiri terkhianati
ketika ada manusia yang tidak mendapatkan haknya.

Bahkan Rasulullah saw. di dalam suatu redaksi hadis pernah berdiri ketika ada janazah orang Yahudi
lewat. Kemudian para sahabat memberitahu bahwa itu adalah jenazah orang Yahudi. Rasulullah saw.
pun berkata: “Bukankah ia dia adalah jiwa?”

Tema Natal Nasional 2024 adalah “Kembali ke Betlehem”. Tema ini dipilih karen mengusung makna-
makna relijiutas yang sangat mendalam, yang berhubungan dengan lingkungan dan kemanusiaan.
Salah satu dari makna tema ini adalah inklusifitas. Hal tersebut dijelaskan oleh Ketua Perayaan Natal
Nasional 2024, Thomas Djiwandono. Ia bahkan mengatakan, bahwa inklusifitas tak juga hanya
terhadap manusia, tapi juga lingkungan diajak bersukacita, karena itu tak cuma kepedulian dan belas
kasih kepada manusia, juga pada lingkungan hidup.

Dengan merenungi kembali nilai-nilai dan makna kemanusiaan dari tema natal nasional tahun ini,
seseorang bisa terlepas dari pemikiran ekstrem. Bagi muslim, ini merupakan pelajaran berharga yang
sangat Islami dan tidak bertentangan dengan agamanya. Inklusifitas ini lah yang membuat orang
menjadi tidak ekstrem dalam bertindak dan berfikir. Ekstremis bukan lah ajaran Islam, Kristen atau
agama-agama lain.

This post was last modified on 26 Desember 2024 5:53 PM

Samachatul Maula

Recent Posts

Posisi Iman dalam Ucapan Selamat Natal

Setiap tahun, perdebatan kosong mengenai ucapan selamat Natal itu selalu tumbuh dari situasi diri kita…

15 menit ago

Menjaga Gereja, Kebijakan Gus Dur Dan Banser Jaga Kebhinekaan

Setiap Hari Raya Natal, Barisan Ansor Serbaguna (Baser) NU hampir bisa dipastikan menjaga gereja-gereja selama perayaan…

22 menit ago

Mengokohkan Iman dengan Merayakan Perbedaan

Penguatan iman tidak berarti menghindari perbedaan, melainkan dengan menerima dan merayakannya sebagai bagian dari desain…

28 menit ago

Tafsir Surat Maryam Ayat 33; Menjernihkan Polemik Ucapan Selamat Natal

Perdebatan ihwal boleh-tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat Natal itu memang menjengkelkan, membosankan, dan kurang kerjaan.…

2 hari ago

Potret Iman dalam Kebhinekaan

Nandhing sarira iku Aku-sliramu dudu Tepa sarira rasamu-rasengmami Mulat sarira puniku Swug sirna pandhakuning wong…

2 hari ago

Betlehem: Inspirasi Relijiusitas dan Persatuan

Di tengah keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, perayaan hari besar keagamaan sering kali…

2 hari ago