Fenomena merasa terganggu dengan ibadah orang lain di ruang publik sering kali muncul dalam masyarakat yang plural. Hal ini bukanlah semata persoalan kebisingan atau gangguan fisik, namun melibatkan dimensi psikologis dan sosial yang lebih mendalam. Secara fenomenologis, kita dapat memahami bahwa ada lapisan pengalaman yang lebih luas yang melibatkan persepsi individu terhadap apa yang dianggap “normal” dalam konteks mayoritas dan minoritas.
Ketika seseorang merasa terganggu dengan ibadah orang lain, gejala psikologis yang muncul dapat berupa rasa tidak nyaman, cemas, bahkan marah. Perasaan-perasaan ini sering kali tidak muncul karena adanya gangguan fisik yang nyata, melainkan lebih kepada ketidakselarasan antara harapan dan kenyataan.
Individu tersebut mungkin merasa bahwa ruang publik harus mencerminkan nilai-nilai atau praktik yang biasa ia temui dalam kesehariannya. Ketika ia menghadapi sesuatu yang berbeda, seperti ibadah atau ritual agama yang jarang ia temui, ia merasa bahwa ruang pribadinya telah dilanggar, meski tidak secara fisik.
Dalam kasus masyarakat mayoritas, ada kecenderungan untuk memandang praktik ibadahnya sebagai norma yang tak tertandingi. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa ritual dan simbol-simbol keagamaannya banyak ditemukan di ruang publik, sehingga menjadi bagian dari tatanan sosial yang dianggap lazim.
Di sisi lain, kelompok minoritas yang melakukan ibadah di ruang yang sama mungkin lebih terbiasa menahan diri atau menerima bahwa praktek-praktek mayoritas menjadi bagian dari kehidupan publik tanpa keluhan. Ironisnya, mayoritas sering kali tidak menyadari bahwa eksistensi mereka diterima tanpa penolakan oleh minoritas, bahkan dalam kondisi yang mungkin sebaliknya akan dianggap “mengganggu” jika terjadi dalam konteks yang terbalik.
Faktor Mayoritas dan Arogansi yang Tersirat
Dalam masyarakat dengan mayoritas yang dominan, perasaan terganggu terhadap ibadah atau ritual minoritas dapat mencerminkan sikap arogansi yang tak disadari. Keberadaan mayoritas memberikan rasa aman yang pada gilirannya dapat menciptakan persepsi bahwa “keberagaman” harus sesuai dengan batas-batas yang mereka tentukan.
Ketika kelompok minoritas melakukan ritual yang berbeda di ruang publik, mayoritas bisa merasa bahwa ruang tersebut sedang ‘diinvasi’ oleh sesuatu yang asing. Fenomena ini sering kali tidak disadari oleh mayoritas, dan mereka tidak menyadari bahwa minoritas, dalam banyak kasus, telah lama beradaptasi dan menerima keberadaan mayoritas tanpa protes.
Selain itu, ada kecenderungan melihat minoritas sebagai ancaman terhadap homogenitas atau keseimbangan sosial. Ini bukan ancaman fisik, melainkan ancaman simbolis yang terkait dengan identitas dan dominasi budaya. Kehadiran minoritas yang berbeda dalam ruang publik dapat menimbulkan rasa tidak aman, seolah-olah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh mayoritas sedang dirongrong.
Inilah salah satu sebab mengapa mayoritas terkadang merasa berhak menghentikan atau menentang praktik-praktik ibadah yang dianggap mengganggu, meskipun dalam kenyataannya, gangguan tersebut lebih bersifat perseptual dan psikologis.
Pendekatan Dialogis dalam Menyelesaikan Konflik
Fenomena terganggunya seseorang dengan ibadah orang lain harus dipahami dalam kerangka hubungan antara mayoritas dan minoritas, dan bagaimana persepsi serta pengalaman hidup di ruang publik saling bersinggungan. Setiap individu harus menyadari bahwa ruang publik adalah milik bersama, yang menuntut toleransi dan pemahaman lintas kepercayaan. Ketidaknyamanan yang muncul dari perbedaan seharusnya tidak langsung diinterpretasikan sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk memahami pluralitas dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendekatan dialogis diperlukan untuk mengatasi konflik yang timbul akibat fenomena ini. Dialog memungkinkan kedua belah pihak untuk saling mendengarkan dan memahami alasan di balik praktik ibadah masing-masing. Sebuah masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mampu menerima perbedaan tanpa merasa terancam, baik oleh suara azan, lonceng gereja, atau ritual ibadah lainnya.
Di sisi lain, minoritas juga harus diberikan ruang untuk mengartikulasikan pengalamannya sehingga mayoritas dapat menyadari bahwa keberagaman adalah aset yang perlu dirawat dengan baik, bukan dihadapi dengan ketakutan atau prasangka.
Fenomena terganggu dengan ibadah orang lain di ruang publik lebih dari sekadar persoalan kebisingan atau ketidaknyamanan fisik. Ia mencerminkan dinamika psikologis dan sosial yang lebih dalam, terutama terkait hubungan mayoritas-minoritas dan persepsi terhadap ruang publik.
Kesadaran akan keberagaman dan pentingnya toleransi adalah kunci untuk menciptakan harmoni sosial. Pendekatan dialogis dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi gesekan yang muncul, dan membantu masyarakat dalam merawat kebersamaan di tengah perbedaan.
Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…
Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…
Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…
Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…
Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…
Dalam sebuah wawancara, mantan teroris Ali Imron pernah berkata bahwa ia bisa meradikalisasi seseorang hanya…