Faktual

Dilema Dialog Lintas Agama di Era TikTok; Antara Prasangka dan Standar Ganda

Tiktok merupakan platform media sosial baru yang digandrungi generasi Z. Pola algoritma TikTok yang lebih inklusif ketimbang media sosial lain membuat aplikasi ini begitu digandrungi. Kita tidak perlu memiliki pengikut banyak agar konten kita viral di platform ini.

Salah satu fitur unggulan TikTok adalah layanan siaran langsung (live) bagi akun yang memiliki minimal 1000 pengikut dsn terverifikasi. Fitur live ini banyak dipakai oleh tiktoker untuk banyak hal. Mulai dari jualan, unjuk bakat (musik, menyanyi, dll), ngobrol dengan netizen, maupun dialog atau diskusi. Termasuk dialog antaragama.

Belakangan, ada sejumlah akun TikTok yang setiap hari live dan mengadakan semacam dialog antaragama. Pemilik akun bertindak sebagai host yang memandu dialog dan menjawab pertanyaan dari netizen yang berkomentar di akunnya.

Setelah mengamati beberapa kali, model dialog antar agama di platform TikTok ini fd cenderung dilematis. Model dialog antaragama yang berkembang di platform ini cenderung diwarnai oleh dua narasi utama, yakni prasangka dan standar ganda.

Narasi prasangka atau curiga ini tampak jelas mewarnai dialog antaragama di TikTok dimana setiap pemeluk agama memandang ajaran dan simbol agama lain dengan sentimen curiga dan prasangka.

Sejak awal, para peserta dialog antar agama di TikTok Live itu telah membawa keyakinan bahwa ajaran agama sendiri sebagai yang paling benar dan suci sedangkan ajaran agama lain itu salah dan menyesatkan. Alhasil, dialog cenderung mengarah ke upaya mengukuhkan klaim kebenaran agama sendiri (truth claim) dengan jalan mendistorsi atau mendelegitimasi ajaran agama lain.

Dialog lantas berjalan ke arah yang destruktif ketimbang konstruktif. Para peserta dialog lebih sering menyerang ajaran dan simbol agama lain secara emosional ketimbang mengemukakan argumen yang rasional. Alhasil, dialog keagamaan itu lebih mirip debat kusir antar-beberapa individu pemeluk agama yang berbeda. Tidak ada pengetahuan baru yang diproduksi dari dialog tersebut. Alih-alih hanya menimbulkan kegaduhan yang justru berpotensi memantik gesekan horisontal.

Selain diwarnai narasi prasangka, dialog atau debat keagamaan di TikTok juga kerap diwarnai oleh standar ganda. Di satu sisi, pemeluk agama tertentu dengan mudah dan enteng membahas sisi sensitif agama lain secara eksplisit bahkan acapkali tidak mengindahkan nilai kesopanan dan kepantasan.

Namun, di sisi lain, ketika sisi sentitif agamanya sendiri dibahas, ia akan marah dan secara emosional menuding hal itu sebagai tindakan tidak sopan dan menyinggung. Perilaku standar ganda yang demikian ini tentu mengaburkan esensi dialog antaragama yang sesungguhnya.

 

Mewujudkan Dialog Antar-Agama yang Konstruktif di TikTok

Dialog agama, bagaimana pun juga didesain sebagai wadah para pemeluk agama yang berbeda untuk saling mengenal. Tujuan dialog atau debat keagamaan tentu bukan untuk saling menghujat, menghina, dan merendahkan ajaran agama lain. Debat keaagamaan juga tidak didesain untuk meneguhkan klaim kebenaran agama sendiri sembari mencari kesalahan agama lain. Apalagi mencari agama apa yang paling benar.

Tujuan debat atau dialog keaagamaan yang sesungguhnya adalah untuk menghapus curiga dan prasangka antaragama. Dengan dialog keagamaan, diharapkan setiap pemeluk agama akan memahami ajaran agama lain sehingga tidak muncul kesalahpahaman dalam kehidupan sosial.

Sayangnya, elemen itu justru absen dalam dialog keaagamaan di era TikTok. Di platform dengan jumlah pengguna terbesar di dunia itu, dialog keaagamaan lebih sering mengarah pada kecenderungan destruktif ketimbang konstruktif.

Fenomena ini kiranya patut direspons oleh para pegiat dialog antar agama. Mulai dari para tokoh agama progresif sampai aktivis perdamaian yang aktif mewujudkan relasi harmonis antaragama. Para tokoh agama progresif dan aktivis perdamaian agama idealnya juga menjadikan TikTok sebagai media dialog, debat, dan diskusi keaagamaan.

Dengan begitu, dialog agama di TikTok tidak hanya didominasi oleh corak debat kusir yang provokatif dan memecah belah. Para tokoh agama progresif dan aktivis perdamaian harus menghapus narasi prasangka dan standar ganda dialog keaagamaan di TikTok. Lalu mengenalkan perspektif dialog antar agama yang mengedepankan pendekatan simpati dan empati untuk membangun kesalingpahaman antar-pemeluk agama yang berbeda.

Ke depan, kaum moderat harus mengembangkan model dialog keagamaan yang konstruktif dan progresif di platform TikTok. Bagaimana pun juga, platform itu kini menjadi favorit kalangan gen Z yang merupakan kelompok demografi terbesar dan menentukan corak keberagamaan ke depan. Dialog antaragama yang konstruktif akan menjadi pengalaman berharga bagi gen Z sehingga ke depan diharapkan menjadi insan yang relijius, namun juga mampu berpikir inklusif.

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

6 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

6 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

6 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

6 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago