Narasi

Kesetiakawanan Sosial, Benteng dari Adu Domba

Kita adalah bangsa yang berdiri atas nilai kebersamaan dan nilai kegotongroyongan. Negara ini didirikan di atas fondasi kesepakatan dan persatuan dari para pendiri bangsa. Fondasi tersebut terlihat dari dasar negara Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berisi semangat berketuhanan, berkemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan berkeadilan. Nilai-nilai tersebut merupakan landasan bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai merdeka, kini, dan mesti terus dirawat hingga nanti.

Namun saat ini kita menghadapi kondisi masyarakat yang rentan pertikaian dan perpecahan. Pelbagai isu terus-menerus muncul dan tak henti menciptakan polarisasi dan perpecahan di masyarakat. Perbedaan pandangan politik, misalnya, kerap menciptakan pertikaian hingga merambat ke persoalan yang lebih luas dan kompleks. Bahkan, tak jarang perbedaan tersebut diarahkan untuk kembali mempersoalkan perbedaan dan kemajemukan bangsa ini, terutama perbedaan-perbedaan primordial seperti suku, agama, ras, dan sebagainya.

Kita melihat bagaimana nilai-nilai persatuan dan persaudaraan yang ada di masyarakat belakangan mendapatkan cobaan. Rajutan kebhinekaan yang telah lama terjaga di masyarakat, seakan kembali dilemahkan dan diurai untuk mendapatkan demi kepentingan dan keuntungan tertentu. Aroma adu domba seakan menguat lewat munculnya isu-isu sensitif bermuatan SARA yang terus-menerus mempersoalkan perbedaan. Alhasil, masyarakat, terutama yang mudah dipengaruhi dan diprovokasi, menjadi gampang larut dalam perdebatan dan pertikaian.

Terlebih, di era media sosial di mana suatu kabar atau isu bisa dengan cepat tersebar, dikomentari, dan menciptakan perdebatan, potensi terjadinya pertikaian menjadi sangat besar. Prinsip kehati-hatian, kecermatan, dan kejernihan dalam memandang setiap persoalan mulai tergerus oleh kepraktisan, ketergesaan, dan emosi yang mewarnai perilaku kita di media sosial. Hal inilah yang kemudian kerap dimanfaatkan orang atau kelompok tertentu untuk menciptakan dan menyebarkan isu-isu pemecahbelah atau mengadu domba.

Kita sadar bahwa setiap orang, setiap kelompok, memiliki kepentingan masing-masing. Suatu kelompok agama misalnya, punya ajaran, nilai-nilai, sikap, dan semangat masing-masing yang diperjuangkan. Seseorang yang memperjuangkan kepentingan kelompok yang menjadi identitasnya adalah sesuatu yang wajar. Namun, kita juga perlu ingat bahwa kita hidup berdampingan dengan kelompok lain. Di sinilah, kita perlu saling menghargai di tengah pelbagai kepentingan tersebut.

Nilai Kesetiakawanan Sosial

Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Desember merupakan momentum yang tepat bagi kita untuk kembali menguatkan nilai-nilai kesetiakawanan sosial. Nilai-nilai seperti rasa saling peduli, saling membantu, berempati, saling menghargai, gotong royong, dan semangat persaudaraan merupakan nilai-nilai yang sangat relevan untuk kembali kita gali, kita tanamkan, dan kita kembangkan saat ini. Melihat apa yang terjadi di masyarakat belakangan, di mana kita mudah diprovokasi dan saling bertikai hanya karena pebedaan, semangat Hati Kesetiakawanan Sosial Nasional mestinya bisa kita jadikan sebagai momentum untuk merevitalisasi nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan yang sebenarnya sudah mengakar di masyarakat kita sejak lama.

Seperti tema Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) 2017 ini, yakni “Kesetiakawanan Sosial Nasional Perekat Keberagaman”, kita perlu memaknai peringatan ini sebagai momentum untuk refleksi dan evaluasi diri kita masing-masing tentang sejauh mana kita memiliki rasa kesetiakawanan sosial terhadap orang lain dan sejauh mana kita telah berkontribusi dalam merekatkan ikatan keberagaman. Kita bisa melakukan evaluasi diri dengan bertanya pada diri kita masing-masing; Apakah yang saya lakukan selama ini telah bermanfaat dan membantu orang lain yang membutuhkan atau justru menggangu dan menyakiti orang lain? Apakah semua yang saya lakukan selama ini telah mampu menunjukkan penghargaan pada orang lain atau justru hanya keegoisan belaka? Apakah yang saya katakan selama ini berpotensi menciptakan keharmonisan atau justru perpecahan di masyarakat?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kita renungkan bersama-sama sebagai langkah awal melakukan evaluasi diri dalam memaknai Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional. Ketika kita sudah melakukan evaluasi diri, selanjutnya kita akan tahu apa yang perlu kita usahakan ke depan dalam rangka menguatkan kesetiakawanan sosial. Dalam arti, kita menjadi tahu sikap-sikap dan perilaku yang perlu dan tidak perlu kita lakukan. Dalam konteks individu, hal ini bisa diwujudkan misalnya dengan menjadi pribadi yang lebih peduli dengan masyarakat sekitar, lebih peka dengan persoalan-persoalan di lingkungan sekitar, lebih peduli dengan kesusahan yang dialami orang lain, dan menjadi seseorang yang selalu menciptakan persaudaraan dengan sesama.

Kesadaran yang muncul dari setiap individu tersebut kemudian bisa disalurkan melalui pelbagai kegiatan massa atau kelompok, sehingga kekuatan kebersamaan bisa ditransformasikan untuk menciptakan kebaikan bersama. Misalnya, kita bisa bergabung dengan LSM, organisasi, maupun gerakan-gerakan yang mengupayakan dan menyuarakan kepedulian terhadap saudara-saudara kita yang lemah, yang sedang tertimpa musibah atau bencana, atau yang tertindas atau dibelenggu ketidakadilan. Hal-hal tersebut merupakan aksi konkret yang bisa dilakukan seseorang untuk mengejawantahkan semangat kesetiakawanan sosial.

Di samping tentang kepedulian pada sesama, nilai-nilai kesetiakawanan sosial juga perlu diwujudkan melalui sikap dan perilaku saling menghargai, menghormati, dan toleransi di tengah perbedaan yang ada. Dalam konteks saat ini, nilai-nilai tersebut bisa diwujudkan lewat kedewasaan dalam memandang perbedaan, sehingga kita tak mudah tersulut provokasi dan adu domba yang kerap menciptakan kebencian, pertikaian dan perpecahan. Sebab pertikaian, kebencian, dan perpecahan sangat kontradiktif dengan semangat kesetiakawanan sosial yang mengupayakan keharmonisan, kepedulian, dan persatuan.

Jika kita mampu melakukan evaluasi dan refleksi diri sehingga muncul kesadaran tentang pentingnya nilai-nilai kepedulian, empati, dan sikap saling menghargai, kemudian kita wujudkan melalui sikap, perilaku, maupun aksi-aksi konkret di masyarakat, tentu jalan menuju terciptanya kehidupan yang harmonis dan damai akan semakin dekat. Sebab kita akan menjadi masyarakat yang memiliki ikatan persatuan dan rasa persaudaraan yang kuat.   Di samping itu, kita juga akan menjadi masyarakat yang memiliki benteng yang kokoh untuk menghadapi pelbagai provokasi dan adu domba.

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

18 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

18 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

18 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago