Narasi

Kesopanan Digital, Infiltrasi Radikalisme dan Urgensi Polisi Virtual

Perusahaan teknologi Microsoft merilis hasil penelitian bertajuk Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet di dunia saat berkomunikasi di dunia maya. Dalam riset ini, warganet (netizen) Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara dan keempat terbawah di seluruh dunia. Sedangkan urutan pertama di kawasan Asia Tenggara dihuni oleh warganet Singapura yang sekaligus juga menempati urutan keempat secara global. Ada setidaknya tiga kriteria yang menjadi tolok ukur indeks kesopanan digital dalam survei tersebut.

Pertama, banyaknya berita bohong alias hoaks dan penipuan daring yang disebarkan atau dilakukan oleh warganet sebuah negara. Kedua, faktor ujaran kebencian dan komunikasi negatif. Terakhir, praktik diskriminasi daring seperti pembedaan perlakuan berdasar warna kulit, jenis kelamin, agama dan sejenisnya. Hasil survei ini pun ditanggapi beragam oleh warganet Indonesia. Sebagian menjadikan hasil survei ini sebagai refleksi atau cerminan atas praktik berinternet dan bermedia sosial yang selama ini memang cenderung tidak sehat. Namun, tidak sedikit pula warganet yang merespons hasil survei ini secara reaksioner.

Ketimbang bersikap reaktif dan menuding hasil survei tersebut sebagai sebuah manipulasi untuk mendeskreditkan warganet Indonesia, akan lebih relevan kiranya jika kita merenungkan ulang hasil survei DCI tersebut. Harus diakui bahwa pola masyarakat Indonesia dalam berinternet dan bermedia sosial memang belum sepenuhnya lepas dari hoaks, ujaran kebencian dan diskriminasi. Hal ini terjadi karena setidaknya dua faktor. Pertama, masih adanya semacam gegar budaya di sebagian masyarakat yang baru saja masuk ke dalam dunia digital daring yang serba cepat dan diwarnai oleh keberlimpahan informasi.

Sebagian masyarakat yang tidak siap dengan banjir informasi dan tidak memiliki kemampuan literasi digital yang memadai lantas mudah terjebak pada narasi hoaks. Mereka secara tidak sadar mendistribusikan hoaks melalui kanal-kanal media sosial lantaran hasrat ingin menjadi yang pertama dan terdepan dalam mengetahui dan menyebarkan informasi. Media sosial memang medium paling efektif untuk memuaskan hasrat manusia dalam hal narsisisme. Namun, di saat yang sama, media sosial juga kerap menjebak manusia pada kepalsuan, terutama dalam hal informasi dan pengetahuan.

Faktor kedua, ialah meningkatnya fanatisme keagamaan dan polarisasi politik yang belakangan ini membuat masyarakat terpecah-belah. Perpecahan itu sebenarnya tidak terlalu kentara di dunia nyata, meliankan lebih banyak mengemuka di dunia nyata. Sejak Pilpres 2014, lalu Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 ranah maya kita dipenuhi oleh sengkarut perang opini antarberbagai kelompok di masyarakat yang nyaris semuanya mengusung isu politik yang berkelindan dengan identitas SARA. Politisasi identitas di media sosial inilah yang menyumbang andil paling besar bagi maraknya ujaran kebencian dan diskriminasi daring.

Konsekuensinya seperti kita lihat belakangan ini, perundungan dan persekusi daring terhadap individu yang berbeda pandangan dengan pendapat arusutama seolah telah dianggap sebagai hal lazim. Semburan cacimaki dan kebencian menjadi bahasa komunikasi kita di kanal-kanal media sosial. Lebih fatal lagi, di saat yang sama situasi itu dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk mempropagandakan ideologinya. Di tengah carut-marut dunia maya yang didominasi hoaks, ujaran kebencian dan diskriminasi, ideologi radikal seolah mendapat tempat untuk hidup dan berkembang biak.

Membangun Budaya Kesopanan Digital

Membangun budaya sopan di ranah digital merupakan aspek penting dari agenda besar menjaga keutuhan bangsa dan negara. Dalam konteks inilah, hasil survei DCI kiranya tidak bisa dipandang sepele. Rendahnya tingkat kesopanan digital warganet Indonesia mencerminkan rendahnya literasi digital serta menggambarkan betapa mudahnya publik diadu-domba dan dicekoki oleh informasi sumir atau bahkan ideologi yang bertentangan dengan falsafah bangsa. Begitu mudahnya warganet kita terjebak pada hoaks dan ujaran ternyata juga menjadi pintu masuk bagi infiltrasi radikalisme.

Meski klise dan terkesan kerap diulang-ulang, namun kita harus mengakui bahwa gagasan tentang literasi digital harus terus-menerus didengungkan. Kita tidak bisa membendung laju perkembangan teknologi komunikasi berbasis daring. Negara tidak mungkin membatasi apalagi melarang aktivitas warganegara di media sosial dan internet lantaran hal itu akan melanggar konstitusi dan prinsip demokrasi. Apa yang bisa kita lakukan saat ini ialah membangun kesadaran publik akan pentingnya melek digital, yakni memahami dunia internet dan media sosial agar tidak mudah terjebak dalam hoaks, ujaran kebencian apalagi radikalisme daring.

Dari sisi regulasi, kita sebenarnya telah memiliki sejumlah aturan yang mendorong publik berlaku sopan di internet dan media sosial. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) misalnya merupakan salah satu instrument hukum yang mengatur hubungan dan komunikasi publik di internet dan medsos agar tidak mudah mengeksploitasi kebencian dan diskriminasi. Implementasi UU ITE ini kiranya akan semakin maksimal dengan adanya kebijakan polisi virtual yang beberapa waktu lalu diluncurkan oleh kepolisian.

Polisi virtual, lahir atas filosofi dan tujuan untuk mengedukasi publik ihwal berinternet dan bermedia sosial yang sehat; terhindar dari hoaks, praktik ujaran kebencian, perundungan, persekusi, diskriminasi dan praktik negatif lainnya. Polisi virtual tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti apalagi mengekang kebebasan berpendapat masyarakat, alih-alih sebagai semacam alarm warning agar publik lebih bijak bermedsos. Tentunya, keberadaan virtual police ini harus dibarengi dengan penguatan literasi digital di masyarakat secara berkelanjutan. Edukasi digital yang masif dan sistematis harus terus diupayakan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah.

Kebebasan dan keterbukaan dunia daring di satu sisi memang menjanjikan perubahan sosial ke arah yang lebih egaliter. Namun, di sisi lain hal itu juga bisa menjadi bumerang yang menyerang balik masyarakat itu sendiri. Tanpa aturan yang tegas mengatur mana yang boleh dan tidak boleh serta mana yang pantas dan tidak pantas disebarluaskan, dunia maya akan menjadi ladang bagi tumbuh suburnya hoaks, ujaran kebencian dari radikalisme yang justru akan menyebabkan kemunduran, alih-alih kemajuan bangsa.

This post was last modified on 2 Maret 2021 4:17 PM

Nurrochman

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

21 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

21 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

21 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago