Ditengah ramainya kemajuan yang berhasil dicapai oleh ilmu pengetahuan, agama malah kerap diseret untuk menjauh dari hingar bingar tersebut dan cenderung memilih posisi tersendiri. Akibatnya, banyak penemuan dari bidang ilmu pengetahuan yang seolah berbenturan dengan beberapa kaidah penting dalam agama. Jika sudah begini, agama kerap tidak memiliki posisi penting untuk turut memberikan pandangan dan masukan kebijakan.
Agama terlalu kerap dikungkung dalam keyakinan sempit dengan menganggap bahwa agama hanya ditujukan untuk kehidupan di alam setelah kematian. Kehidupan saat ini, dengan seabrek kompleksitasnya, hanya dimaknai sebagai arena persiapan. Sehingga hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan ‘kehendak Tuhan’ akan mudah saja diabaikan.
Saat ini, mulai banyak bermunculan kelompok orang yang memahami dan menjalankan agama secara kaku serta menolak mentah-mentah segala ide tentang kritisisme, alasannya karena agama adalah murni tentang ketundukan dan kepatuhan kepada Tuhan; perintah agama tidak usah terlalu dipikirkan, langsung saja dijalankan. Bagi kelompok di atas, beragama tidak boleh menggunakan akal pikiran, karena agama adalah urusan hati. Jika ada sekelompok orang yang bersikap kritis dalam beragama, maka akan langsung dimatikan dengan label-label sinis, seperti liberal, sekuler, atau bahkan kafir.
Dampak nyata dari hilangnya peran akal dalam beragama adalah menggejalanya pola beragama yang hanya sebatas menggugurkan kewajiban tanpa dibarengi dengan semangat untuk memperbaiki kehidupan. Akibatnya, deretan ritual keagamaan yang dilakukan sama sekali tidak memiliki efek bagi kehidupan sosial. Lebih jauh, bahkan ritual keagamaan atau peribadatan yang mempertimbangkan kehidupan sosial dianggap sebagai prilaku menyimpang (sesat, bid’ah dan bahkan syirik). Menempatkan agama hanya sebagai ‘perkara langit’ nyatanya malah membuat segala sesuatunya menjadi semakin sulit. Ide-ide perubahan dan kebaikan kerap ditolak hanya karena dianggap keluar dari perintah Tuhan atau tuntunan Rasul.
Menggunakan akal dalam beragama bukan saja dibolehkan, tetapi juga bahkan diwajibkan. Karena beragama tanpa akal ibarat orang lumpuh yang tidak mampu berjalan, sementara ilmu (akal) tanpa agama ibarat seorang buta; dapat berjalan namun tidak tahu arah. Agama memang telah menunjukkan hal-hal yang baik dan buruk, namun akal membantu kita untuk memahami mengapa hal tersebut baik atau buruk.
Dengan bantuan akal pula, kita dapat mengimplemantasikan kaedah-kaedah agama agar memiliki manfaat langsung terhadap dunia nyata; tidak melulu tentang surga dan neraka, tetapi juga menyangkut hal terdekat dari kita, tetangga dan sanak saudara. Lebih dari itu, berakal adalah syarat utama agama, dimana tanpanya manusia gugur kewajibannya untuk beragama.
Sebagai penutup, saya ingin mengajak pembaca untuk memahami bahwa tuntutan untuk beragama menuntut syarat dewasa dan berakal. Dewasa dan berakal adalah prakondisi dimana seorang hamba akan dianggap layak menerima mandat syariaat. Karena pentingnya akal, sampai-sampai para alim dan intelektual fiqh menyebut hifdzul ‘aql, memelihara akal adalah bagian dari hak yang asasi pada manusia. Akhirnya selamat menjadi hamba yang terus mengabdi kepada Tuhan dengan segenap kesempurnaan akal yang dikaruniakan. Amin.
This post was last modified on 2 Juli 2015 9:41 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…