Sungguh sejak awal menjadi dasar negara Indonesia, Pancasila telah menuai pro dan kontra. Bahkan, sila pertama pun menuai perdebatan sengit antara kaum agamis dan nasionalis. Awalnya, sila pertama Pancasila berbunyi “Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Setelah menuai perdebatan panjang, maka sila ini diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam perjalanannya, tak asing lagi ketika saat ini terdapat tudingan pemerintahan kafir, thoghut, hingga berhala Pancasila dari kelompok radikal. Bagi orang yang hanya mempelajari ilmu agama secara sempit, tudingan-tudingan ini bisa dibenarkan. Kelompok mereka melarang setia dan taat kepada ideologi ciptaan akal manusia.
Ada beberapa dasar yang mereka nukil sebagai penguat atas pendapat sepihaknya. Seringkali, kelompok radikal menukil dalil,“Dan bahwa (yang kami perintah) ini adalah jalanku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya, yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am (6) : 153).
Selain itu, dasar lain yang mereka gunakan adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Dari Jabir, ia berkata, “Kami duduk di sisi nabi SAW lalu beliau membuat garis seperti ini (garis lurus) di depannya seraya mengatakan, “Ini adalah jalan Allah.” Lalu, beliau membuat dua garis di sebelah kanannya dan dua garis di sebelah kirinya seraya mengatakan, “Ini adalah jalan-jalan setan.” Kemudian, beliau meletakkan tangannya di garis yang ada di tengah, kemudian beliau membaca ayat ini, “Dan, bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (HR. Ahmad).
Namun, mereka mengabaikan teladan Nabi Muhammad SAW ketika memerintah di Madinah. Saat itu, negara Yatsrib (sebelum menjadi Madinah) merupakan negara yang multikultural. Di sana bukan hanya terdapat rakyat yang beragama Islam, namun juga umat-umat yang lain. Di sana juga terdapat beberapa suku yang hidup berdampingan. Maka, Nabi Muhammad SAW tidak menerapkan dasar agama Islam kepada seluruh penduduk Madinah. Bahkan, meski sebagai makhluk yang paling maksum dan selalu mendapat pendampingan dari Allah SWT, Nabi Muhammad SAW “membuat” Piagam Madinah yang berisi beberapa poin penting, semisal Ketuhanan, Musyawarah, dan Keadilan.
Oleh para founding father Negara Kesatuan Republik Indonesia, nilai-nilai universal Piagam Madinah tersebut menjadi poin-poin penting perumusan dasar Pancasila. Hal ini dilakukan karena Indonesia bukan saja terdiri atas umat yang satu (Islam) dan suku yang satu pula. Negara Indonesia terdiri atas beragam agama dan suku.
Analisis kasar, ketika bangsa besar Indonesia yang terdiri atas beragam agama dan suku akan dipaksa untuk menjalankan syariat Islam, maka kemadaratan akan terjadi di mana-mana. Pemaksaan demi pemaksaan melaksanakan dasar agama kepada agama lain tentu akan menjadikan pertumpahan darah dalam satu negara. Padahal, agama Islam merupakan agama yang cinta damai. Tidak dibenarkan mengorbankan keselamatan umat lain guna merealisasikan “nafsu” semata.
Pancasila kiranya sudah sangat tepat untuk diterapkan sebagai dasar negara Indonesia. Dengan adanya Pancasila, umat Islam dapat dengan leluasa menjalankan syariat agama. Pancasila tidak pernah menyelisihi dasar-dasar yang ada di dalam agama Islam. Kelima sila yang ada sejalan dengan apa yang terdapat di dalam agama Islam.
Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan konsep Islam “hablun min Allah” yang merupakan sendi-sendi tauhid. Di antara ayat al-Qur’an yang sesuai dengan sila pertama ini adalah surat Al-Baqarah ayat 163. Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dalam agama Islam sesuai dengan konsep hablun min al-nas. Konsep ini sesuai dengan firman Allah SWT di dalam surat Al-Maa’idah ayat 8. Sila ketiga “Persatuan Indonesia” sesuai dengan konsep ukhuwah Islamiah dan ukhuwah Insaniah. Dasar yang sesuai adalah firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 103.
Sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan” sesuai dengan konsep mudzakarah (perbedaan pendapat) dan syura (musyawarah). Al-Qur’an menyebutkan konsep ini sebagaimana yang terdapat di dalam Surat Ali Imran ayat 159. Sementara sila kelima, “Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sesuai dengan konsep adil dalam agama Islam. Di antara ayat al-Qur’an yang menerangkan keadilan adalah surat al-Nahl ayat 90.
Al akhir, ketika dasar negara sudah sejalan dengan ajaran agama seperti ini, haruskah dipaksa mencari pengganti dengan mengatasnamakan agama Islam?
This post was last modified on 2 Oktober 2017 9:45 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…