Sebenarnya tidak begitu mengejutkan keputusan akhir yang diambil oleh Pemerintah terkait pro kontra pemulangan WNI eks ISIS. Diumumkan melalui Menkopolhukam, Mahfud MD, rapat terbatas dengan Presiden menghasilkan keputusan bahwa pemerintah tidak ada rencana memulangkan WNI yang telah terlibat dalam jaringan foreign terrorist fighter (FTF) ISIS.
Sepertinya pemerintah tidak mau tergiring opini dengan memakai istilah WNI eks ISIS, tetapi jelas dan tegas memakai WNI yang terlibat FTF. Saya seperti lebih suka dengan pilihan bahasa itu. Pilihan itu akan lebih lembut dari pada menggunakan eks WNI yang bergabung ISIS.
Masihkah perlu berdebat tentang aspek kemanusiaan. Mungkin kita mudah lupa aspek kemanusiaan seperti apa ketika teror bom bunuh diri meledak di tengah keramaian publik. Di mana narasi kemanusiaan ketika itu bersembunyi. Tidak perlu pula berbicara tentang hak warga negara, ketika mereka dengan pilihan sadar melempar identitas kewarganegaraannya guna bergabung dengan khilafah ISIS yang mereka idamkan.
Akhirnya, kita sampai pada satu kesimpulan ada sekian juta yang harus diselamatkan dari dampak yang mungkin timbul dari seratusan mereka yang akan kembali. Apa tidak terlalu berlebihan jika menghitung secara matematis lalu mengorbankan mereka yang terlantar di kamp Suriah. Bisa jadi itu pilihan ekstrim tidak manusiawi!. Celoteh tetangga samping rumah.
Ocehan tetangga itu semakin nyaring dan berkata: bukankah mereka korban? Mereka tidak berdosa yang terpana dengan ajakan dan propaganda ISIS. Mereka hanya ingin hidup damai di negeri khilafah yang seperti mereka idamkan. Sebentar, kita catat dulu: mereka ingin hidup damai dalam naungan khilafah. Dari mana keyakinan itu muncul?
Baca Juga : Jangan Sekali-kali Mengkhianati Ibu Pertiwi
Pernahkah kita membayangkan jika suatu saat nanti ada gelombang politik global yang muncul kembali dengan narasi ajakan khilafah yang lebih meyakinkan dari pada ISIS. Apakah mungkin masih ada yang tegiur dengan narasi hijrah dan memilih negeri khilafah untuk pergi meninggalkan tanah air? Harus berapa banyak lagi yang akan tergiur dan mudah tergoda? Atau dalam bahasa tetangga tadi harus berapa banyak yang akan menjadi korban?
Dinamika politik tidak pasti apalagi konteks global. Dulu ancaman terorisme muncul melalui satu sumber al-Qaeda dan jaringannya di berbagai negara. Lalu, tiba-tiba ISIS datang dan memukau para “jihadis” yang lama mengidam khilafah. Apa yang terjadi? Berduyun-duyun rombongan “muhajirin” melakukan “hijrah” ke tanah yang dijanjikan dalam propaganda ISIS.
Tidak usah terlalu jauh. Gelombang ajakan “jihad” itu terjadi di negara tetangga bernama Filipina di Kota Marawi. Tidak sedikit WNI yang juga memilih menyeberang untuk berjuang di walayat ISIS di Asia Tenggara. Atau tidak perlu melangkah jauh, ajakan jihad menegakkan khilafah itu muncul di dalam negeri dan tidak sedikit mereka yang terpukau. Terpukau artinya mengimpikan khilafah dan mengkafirkan sistem yang ada.
Jika demikian, bisa dipastikan bahwa ajakan untuk hijrah dan berdiam di negeri khilafah itu adalah bentuk ideologi dan keyakinan. Tentu tidak mudah dihilangkan, lebih parahnya bisa mudah menyebar. Pertanyaan yang sama dan tidak bosan-bosan saya mengulangi dalam tulisan ini: jika suatu saat nanti ada ajakan khilafah atau di dalam negeri bergemuruh ajakan khilafah, apakah ideologi itu tidak akan tumbuh kembali? Itu pelajaran pertama yang harus diperhatikan.
Pelajaran kedua, sel teroris ISIS di negeri ini sebenarnya bukan punah. ISIS di Irak-Suriah telah berserakan, tetapi jaringan sel di dalam negeri masih berkeliaran. Karena persoalan ideologi, maka pertemuan eks WNI dengan sel tidur di Indonesia bukan sesuatu yang berlebihan untuk ditakuti.
Pelajaran ketiga, Indonesia tidak boleh menutup mata dan lupa tentang sejarah terorisme yang pernah mengejutkan negeri ini pada awal tahun 2000-an. Hampir rentetan bom yang meledak dari bulan ke bulan dan tahun ke tahun adalah hasil dari rakitan aksi veteran jihadis dari Afganistan yang kembali ke Indonesia.
Rentetan aksi Insiden terorisme pada masa itu tidak bisa dilepaskan dari adanya keterbukaan pemerintah menerima kepulangan WNI eks Afganistan. Atas nama kemanusiaan dan hak warga negara, mereka kembali merasakan iklim keterbukaan dan kebebasan pasca Orde Baru runtuh. Namun, lihatlah rangkaian mematikan yang mereka peragakan melalui aksi teatrikal penuh kekejaman di ruang publik.
Pelajaran keempat dan terakhir tetapi sangat penting bahwa ISIS lebih ekstrem
secara ideologi dan aksi dari pada al-Qaeda. Mereka mengkafirkan siapapun yang
berbeda dengan mereka tidak peduli Barat, non muslim atau bahkan sesama muslim.
Cara mereka menghalalkan darah lebih kejam dari pada al-Qaeda. Cara ISIS
mendoktrin lebih mematikan dari al-Qaeda bahkan lebih ganas dari virus corona. Wal-hasil, untuk kesekian kalinya saya harus mengulangi
pertanyaan penting yang kali ini mungkin anda bosan untuk membacanya: jika
suatu saat nanti kembali ada ajakan khilafah siapa yang menjamin mereka yang
(semisal) dipulangkan tidak tergiur lagi atau anda yang akan tergiur?
This post was last modified on 12 Februari 2020 3:15 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…