Narasi

Ketika Rumah Ibadah Tak Lagi Ramah

Rumah ibadah adalah tempat umat untuk melakukan peribadatan dan mendekatkan diri pada Tuhan. Rumah ibadah pada dasarnya merupakan tempat yang suci. Dalam Islam, rumah ibadah masjid juga disebut sebagai “Rumah Allah” (Baitullah). Masjid menjadi tempat suci di mana orang yang memasukinya perlu memerhatikan etika dan adab. Di samping memasukinya dalam keadaan suci, ada pula perintah melakukan salat sunnah tahiyyatul masjid sebelum seseorang masuk masjid untuk menghormati masjid.

Sebagai “Rumah Allah”, sudah semestinya masjid menampilkan suasana yang damai, aman, dan tenang, agar jamaah yang beribadah bisa mendapatkan pengalaman mendalam saat mendekatkan diri pada Allah Swt. Kedamaian, keamanan, dan ketenangan tersebut bisa dibangun, tak sekadar dari bentuk bangunan atau ruang masjid yang megah, nyaman, sejuk, dan hal-hal yang bersifat fisik lainnya. Namun, yang paling utama, kedamaian, keamanan dan ketenangan tersebut bisa diciptakan dari kegiatan di dalamnya; ibadah, khotbah, ceramah-ceramah, serta berbagai majelis yang diadakan. Artinya, seruan-seruan yang terdengar dan kita dapatkan dari masjid mestinya bisa membawa kita untuk ketenangan dan kedamaian, agar bisa merasakan kedekatan pada Allah Swt.

Sayangnya, seruan-seruan yang terdengar dari masjid kadang membawa kita pada hal sebaliknya; ketegangan, keresahan, kebencian, dan bahkan dendam. Khotbah dan ceramah di masjid-masjid tertentu kadang disusupi muatan-muatan yang jauh dari representasi “Rumah Allah”. Alih-alih memberikan ketenangan dan membuat kita semakin tawadhu’, beberapa masjid ada yang mengobarkan kebencian kita pada kelompok tertentu. Bahkan, ada pula yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis pragmatis melalui ceramah-ceramah yang diadakan di dalamnya, misalnya saat masa-masa pilkada. Yang tak kalah mengkhawatirkan, ketika khotbah dan ceramah di masjid menjadi tempat disebarkannya paham-paham radikal yang mengajarkan kekerasan dan peperangan.

Jika itu yang terjadi, masjid tak lagi memberi ketenangan, namun justru membuat orang gelisah. Orang pulang dari masjid tak dalam keadaan tenang dan damai setelah merasakan pengalaman mendekatkan diri pada Allah, namun justru bisa menjadi emosi karena kebencian yang dikobarkan. Sebagian besar orang yang mendengar khotbah bernada kebencian atau bermuatan kampanye politik, mungkin tetap memutuskan diam di tempat untuk menghormati khotbah yang berlangsung. Namun, ada pula orang-orang yang tak segan memutuskan untuk meninggalkan masjid saat merasa khotbah yang didengar sudah terasa meresahkan.

Laporan Arman Dhani dan Mawa Kresna dalam tirto.id (3/11/2016) tentang orang-orang yang memutuskan untuk meninggalkan masjid saat khotbah Jumat berlangsung, penting disimak. Ada Arbi Putra, seorang pekerja swasta dari Cimanggis, yang mengisahkan memutuskan untuk keluar dari masjid saat Jumatan karena khatibnya menjelekkan Syiah. “Itu pertama kalinya dalam hidup saya keluar dari masjid ketika Jumatan,” jelasnya.

Laporan berjudul “Masjid Tak Pernah Netral” tersebut juga mengisahkan pengalaman kurang menenangkan saat khotbah Jumat yang dialami Hamzah Ibnu Dedi. Mahasiswa sebuah kampus ternama di Jogja tersebut mengaku, pada 11 Desember 2015,  saat baru saja terjadi Pilkada serentak, mendengarkan khotbah Jumat di masjid kampus yang membahas tentang demokrasi. Namun, Hamzah mengisahkan, “Ada tuduhan thaghut terus lemah iman karena mengikuti proses demokrasi. Saya memutuskan balik badan terus shalat Dzuhur”.

Pengalaman-pengalaman beberapa orang tersebut memberi kita gambaran betapa besar dampak khotbah yang meresahkan. Ketika khotbah Jumat tak memberi refleksi dan ketenagan batin dan jiwa, namun memantik kegelisahan, keresahan, bahkan emosi, orang bisa sampai memutuskan pergi meninggalkan masjid. Di sini, kita melihat bagaimana rumah ibadah yang tak lagi ramah. Adegan mendengar khotbah Jumat yang mestinya menjadi pengalaman reflektif untuk semakin mendekatkan diri pada Allah, justru dialami dengan penuh kekecewaan karena isi khotbah yang berisi kebencian.

Rumah ibadah yang ramah

Melihat hal tersebut kita seakan semakin sadar betapa pentingnga rumah ibadah menyuguhkan suasana yang ramah. Baik “ramah” secara fisiknya; bangunan yang nyaman, sejuk, dan aman. Maupun “ramah” dalam hal isinya; khotbah, ceramah-ceramah, maupun diskusi-diskusi dalam majlis yang diadakan di dalamnya.

Masjid, sebagai rumah ibadah umat Islam, agama yang membawa rahmat dan keselamatan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), mestinya bisa menjadi tempat untuk menyuarakan pesan-pesan perdamaian untuk membangun umat yang harmonis dan kuat dalam persaudaraan (ukhuwah). Bukan malah menebarkan kebencian pada kelompok-kelompok tertentu, sehingga memecah belah.

Masjid, sebagai “Rumah Allah” mestinya bisa merepresentasikan nilai-nilai kasih sayang atau rahmat Allah Swt, bukan malah menebarkan paham-paham kekerasan yang membuat orang resah, saling membenci sesama, dan jauh dari nilai-nilai kasih sayang dan penghargaan pada sesama. Masjid, sebagai tempat suci untuk mendekatkan diri pada Allah, mestinya tidak dinodai dengan seruan-seruan bermuatan politik praktis yang sekadar mengharapkan keuntungan pribadi atau kelompok, sehingga melupakan kepentingan bersama atau kepentingan umat. Wallahu a’lam..

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

14 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

14 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

14 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago