Narasi

Khalifah, Bencana Ekologi, dan Etika Lingkungan

Bencana alam dalam segala bentuknya seolah-olah sudah menjadi langganan negeri ini. Hampir tidak ada wilayah yang luput dari bencana. Belum hilang duka kerena gempa bumi di satu daerah, banjir menyusul di daerah lain. Belum selesai tangis akibat longsor, kebakaran hutan sudah melalap wilayah lain.

“Mungkin alam sudah melai enggan bersahabat dengan kita”. Itulah lirik lagu Ebiet G. Ade. Alam sudah mulai menjauh, tidak mau berteman lagi, bahkan dalam dalam kondisi tertentu, alam mulai marah. Marah dengan gempa buminya, marah dengan banjir bandangnya. Marah dengan tanah longsornya.

Kemarahan alam bukanlah azab. Itu hanya cambuk kecil agar kita sadar, bahwa kita –siapa pun itu –mulai lupa akan tugasnya sebagai khalifah. Khalifah adalah suatu tugas yang diamanatkan kepada mausia oleh Tuhan untuk mejaga, merawat, melestarikan, dan memakmurkan bumi.

Tugas berat ini diberikan Tuhan, sebab manusia dinilai mampu mengembannya. Dalam bahasa Al-Quran, manusia mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, semisal Malaikat umpamanya, yakni “asma’a”, nama-nama.

Asma’a adalah simbol dari ilmu pengetahuan. Manusia bisa memakmurkan bumi sebab mempunyai ilmu pengetahuan yang bisa digunakan untuk menjaga alam.

Akan tetapi, dalam prakteknya, ilmu pengetahuan ini malah sering digunakan oleh manusia bukan untuk memakmurkan alam, malah terjebak kepada eksploitasi dan perusakan alam.

Kendala

Munir Mulkhan menyatakan ada tiga sebab mengapa alam bisa dirusak oleh manusia. Pertama, cara pandang . Cara pandang yang dimaksud adalah manusia memposisikan dirinya sebagai subjek, sementara alam di luar dirinya dianggap sebagai objek. Subjek dengan segala keistimewaanya “dianggap berhak” untuk mengksploitasi alam. Alam selalu jadi bahan ekploitasi yang dinilai manusia itu adalah hak mereka,

Baca Juga : Khalifah untuk Kesejahteraan dan Perdamaian

Kedua, rasionalitas manusia. Akibat berkedudukan sebagai subjek dengan potensi akalnya, manusia menilai dirinya –secara sah –mampu untuk menjelaskan alam. Alam dinilai sebagai objek pengetahuan yang harus ditundukkan atas nama rasionalitas manusia. Manusia menjadi superior, alam menjadi inperior, Alam menjadi sasaran empuk dari perkembangan ilmu pengetahuan manusia.

Ketiga, doktrin agama. Dokrin yang dimaksud di sini adalah adanya penafsiran yang keliru terhadap makna khilafah. Khilafah dimaknai sebagai individu yang berkuasa yang berhak untuk menguasai alam. Alam harus tunduk kepada mausia sebagai “pengganti Tuhan” di muka bumi.

Etika Lingkungan

Tiga faktor itu tentu mempunyai kontribusi terhadap terjadinya bencana alam. Tiga faktor itu memberikan saham terhadap terjadinya ketidakseimbangan ekologi. Dalam konteks inilah, kita perlu kembali kepada etika lingkungan. Etika yang dimaksud adalah kebalikan dari ketiga kendala di atas.

Pertama, keselarasan. Alam bukan lagi objek, melainkan harus didudukkan sebagai subjek yang sama dengan manusia. Cara pandang eksploitatif harus digeser menjadi cara pandang apresiatif.

Artinya alam harus dihargai, dihormati, dan diapresiasi laiknya manusia yang butuh penghagaan, kasih sayang, dan apresiasi. Dengan demikan, alam tidak lagi diberlakukan semena-mena, dan semaunya manusia.

Kedua, keseimbangan. Rasionalitas manusia bukan untuk menundukkan alam untuk kepentingan pragmatis manusia. Melainkan untuk menjaga keseimbangan ekologi. Keseimbangan adalah kata kunci terciptanya keamanan, keserasian, dan keharmonisan kosmos dan kosmis.

Dengan demikian, akal manusia harus diarahkan kepada nilai-nilai konstruktif-positif yang bisa membanguan dan berdaya guna, bukan dekstruktif-negatif yang merusak dan mengakibatkan terjadinya bencana.

Ketiga, khalifah fi al-ardh. Sejatinya khalifah bukanlah penguasa dalam arti kekuatan untuk menundukkan alam, melainkan untuk memakmurkan bumi. Memakmurkan yang dimaksud di sini –meminjam bahasa Quraish Shihab –menghantar setiap ciptaan untuk sampai kepada tujuan ciptaanya.

Artinya, tujuan ciptaan makhluk menjadi kata kunci dalam proses menjalankan tugas kekhalifahan. Dengan demikian, sebelum selesai tugas ciptaannya, maka manusia tidak mempunyai hak.

Ketiga filosofi ini dinilai bisa  meminimalisir terjadi bencana ekologi, yang bukan hanya menimpa manusia yang tidak beretika, melainkan menimpa semua manusia. Kembali kepada etika lingkungan, tidak bisa, harus digalakkan. Sebab bencan alam, tidak bisa ditawar-tawar. Mari menjadi khalifah dalam arti sesungguhnya.

Hamka Husein Hasibuan

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

19 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

19 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

19 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago