Narasi

Khalifah Masa Kini, Merawat Pancasila Sebagai Ikatan Persaudaraan

Indonesia memiliki penduduk usia produktif yang lebih banyak dibandingkan lima negara Asia lainnya yang memiliki produk domestik bruto (PDB) besar seperti China, Jepang, India, dan Korea. Negara-negara itu, saat ini justru mulai memasuki fase aging population karena penduduk tuanya mulai mendominasi total jumlah penduduk.

Indonesia memiliki penduduk usia muda yang besar yaitu 90 juta milenial (berusia 20-34 tahun), total fertility rate (angka kelahiran) 2,28 (per 1.000 orang per tahun), angka kematian anak 24 (per 1.000 kelahiran), angka harapan lama sekolah masih 12,72 tahun.

Dengan jumlah ini, generasi milenial harus menjadi garda terdepan membumikan pancasila yang sudah terbukti merawat persaudaran dalam keadaan masyarakat yang majemuk ini. Tanpa ada ikatan tersebut, masyarakat bisa hidup berdampingan tanpa harus kehilangan identitas agama, suku dan kebudayaanya. Mereka bisa hidup bebas, tetapi harus memiliki cita-cita kehidupan Pancasila; semua cita-cita universal itu sudah terkandung dalam Pancasila.

Ketika Soekarno meneruskan sekolah di THS (Technische Hooge School), Bandung. Ia sangat bergairah untuk disiplin dalam mengerjakan sesuatu. Dengan tradisi yang dilakukan Soekarno semacam itu merupakan sebentuk kesadaran anak kebangsaan untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap kolonial Belanda.

Baca juga : Menjadi Khalifah Pencegah Radikalisme dengan Ideologi Pancasila

Sebagai mahasiswa yang mendapatkan julukan “Agen of Change”, tak mungkin Soekarno dan teman-teman seperjuangan duduk manis di keadaan yang tidak pasti waktu itu. Dengan bertukar gagasan sewaktu diskusi, kedisiplinan yang cukup tinggi dan merealisasikan dalam kehidupan nyata, Soekarno dan teman-temannya bisa mengubah keadaan waktu itu dengan lebih baik. Membuat kolonial Belanda tidak betah di Indonesia, karena terjadi perlawanan dan berakhir dengan kemerdekaan.

Apa yang dilakukan Soekarno dan kawan-kawannya sudah berlalu, hanya meninggalkan sejarah. Bila mahasiswa kini terobsesi untuk meneladani spirit perlawanan para founding father yang dengan nyata telah berhasil menegakkan kemerdekaan. Kini, apa yang harus dilakukan mahasiswa terkini sebagai penyandang gelar “Agen of Change”? Apa yang harus dilawan mahasiswa sekarang? Penjajahan telah tiada.

Sebagai agen perubahan dari masa ke masa, apa yang dilakukan tidak sama. Sewaktu Soekarno dan kawan-kawannya menjadi “Agen of Change”, mereka merebut merdeka yang cengkeraman kolonial Belanda. Tetapi saat ini, menjadi mahasiswa “Agen of Change” tugas dan tanggung jawab sejatinya lebih berat dibanding dengan masa orde-orde sebelumnya. Karena, fenomena yang dihadapi mahasiswa sekarang bukan penjajahan yang membawa senjata, melainkan penjajahan yang melumpuhkan akal pikiran.

Coba kita tengok, sebagai generasi penerus bangsa, beberapa tidak suka dengan berpikir dengan permasalahan yang ada. Mereka memilih jalan pintas untuk memahami sesuatu. Cora berpikir semacam ini sangat berbahaya tatkala dalam memahami sebuah ajaran agama. Mereka yang malas belajar agama dari kitab ke kitab, dari ustadz ke ustadz, maka mereka akan menganggap bahwa ustadz satu dibuat panduan dan tidak mau mencari pembenaran yang lain.

Melihat apa yang dilakukan pendahulu kita saat mereka masih muda, maka milenial harus berani lebih dari mereka. Di mana, milenial harus membangun bangsa ini lebih maju dan berani bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya. Terlebih di masa keterbukaan informasi, milenial yang acap kali sering bergandengan dengan sosial media untuk mengabarkan dan menerima warta, seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyadarkan bagaimana sosial media yang bijak dan baik.

Tidak hanya itu, tantangan yang sangat berat adalah menjaga Indonesia dari paham-paham yang mengacau kehidupan bersama bangsa ini. Di mana musuh ini tidak mudah dideteksi dengan kasat mata semata, tetapi harus dipahami dengan pemahaman yang cerdas dan mengetahui bahwa kehidupan berbangsa ini untuk mengayomi semua bangsa, tidak hanya pada golongan tertentu. Oleh sebab itu, milenial harus menjaga Pancasila sebagai ideologi bangsa untuk menangkal paham yang merusak kehidupan berbangsa.

Dengan cara sederhana ini, semua milenial dan semua elemen harus menjadi garda terdepan menjaga bangsa Indonesia. Tanpa terkecuali.

This post was last modified on 11 April 2019 3:44 PM

Ngarjito Ardi

Ngarjito Ardi Setyanto adalah Peneliti di LABeL Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

View Comments

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

4 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

4 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

4 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

4 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

21 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

21 jam ago