Perang 11 hari antara Hamas dan Israel berakhir dengan gencatan senjata. Kesepakatan ini tentu layak diapresiasi. Namun, gencatan senjata tampaknya bukanlah akhir dari drama konflik Palestina-Israel. Di Indonesia, isu konflik Palestina-Israel masih menjadi trending topic perbincangan publik. Terutama di media sosial.
Beberapa hari terakhir, media sosial seperti Twitter, Instagram dan Facebook riuh oleh tanda pagar (tagar) yang menyuarakan pembebasan Palestina. Namun, sayangnya di tengah narasi pembebasan Palestina itu, terselip tagar-tagar yang mempromosikan khilafah. Narasi yang coba dibangun ialah bahwa khilafah merupakan solusi bagi problem Palestina saat ini. Sejumlah tagar kampanye khilafah dengan membonceng isu Palestina itu antara lain, #FreePalestineWithKhilafah, #KhilafahLIberateAlAqsa, dan #KhilafahSolusi Palestina.
Dilihat dari peta penyebaran konten digital di media sosial, tagar-tagar itu diusung dan diamplifikasi oleh akun-akun yang selama ini dikenal sebagai oposan pemerintah sekaligus corong gerakan Islam konservatif-radikal. Akun-akun tersebut secara masif dan sistematis berusaha membangun sebuah narasi bahwa konflik Palestina-Israel ialah murni konflik agama antara Islam dan Yahudi. Dan, solusi atas konflik tersebut hanyalah satu, yakni mendirikan kekhalifahan Islam.
Klaim bahwa khilafah merupakan solusi (satu-satunya) atas problem ketidakadilan yang dialami Palestina ini tentunya harus kita periksa ulang. Ditinjau dari sisi sejarah peradaban manusia, nyaris tidak ada satu pun peristiwa dimana konflik antar dua negara atau bangsa bisa diselesaikan dengan menegakkan khilafah. Sistem kekhilafahan di masa lalu, muncul bukan dalam konteks mengakhiri konflik antardua negara atau bangsa, melainkan sebagai sebuah sistem politik atawa pemerintahan.
Bahkan, fakta sejarah menunjukkan kenyataan sebaliknya. Yakni bahwa sistem khilafah justru kerap menadi akar bagi tumbuhnya perpecahan dan konflik sosial antarkelompok masyarakat. Sepanjang masa kekhalifahan Islam, banyak sekali terjadi pemberontakan sampai perebutan kekuasaan yang diwarnai intrik bahkan kekerasan. Intinya, khilafah bukanlah sistem pemerintahan nircela alias suci tanpa dosa sosial-politik.
Begitu pula jika ditinjau dari sisi filosofis, makna khilafah sendiri sebenarnya tidak pernah tunggal alias berkembang dari waktu ke waktu. Maka, jika wacana khilafah itu dimunculkan dalam bingkai konflik Palestina-Israel, pertanyaan yang akan muncul ialah model khilafah seperti apa yang mampu membebaskan Palestina dari agresi militer Israel? Di era modern-kontemporer seperti sekarang ini, ide tentang khilafah lebih mirip seperti idetopia, alias gagasan yang mustahil diwujudkan dan hanya bisa mewujud dalam angan-angan.
Solidaritas Kemanusiaan Global
Di titik ini, bisa disimpulkan gagasan khilafah untuk pembebasan Palestina lebih merupakan anomali ketimbang solusi. Anomali dalam leksikon ilmu sosial diartikan sebagai sebuah kondisi keganjilan atau penyimpangan dari keadaan biasa (normal). Anomali umumnya dibedakan dalam dua kategori, yakni perilaku dan pemikiran. Anomali perilaku ialah penyimpangan tingkah laku manusia dari standar normalitas umum. Sedangkan, anomali pemikiran ialah sebuah ketidaksinkronan antara persoalan dengan tawaran solusi.
Jika dibaca dari teori tersebut, klaim golongan radikal yang menyebut khilafah sebagai solusi pembebasan Palestina merupakan anomali pemikiran. Maknanya, ada ketidakcocokan antara persoalan yang dihadapi rakyat Palestina dengan solusi yang ditawarkan. Rakyat Palestina selama berpuluh tahun hidup di tengah himpitan perang antara Hamas dan Israel. Mereka rentan menjadi korban konflik dan kekerasan yang dilakukan kedua belah pihak. Anehnya, kelompok Islam radikal justru mengajukan khilafah sebagai solusi mengatasi persoalan tersebut.
Apa yang rakyat Palestina perjuangkan saat ini ialah kebebasan dalam menentukan nasib dan masa depan tanpa ancaman intervensi dan agresi militer Israel. Mereka sudah terlalu lama hidup dalam suasana konflik dan peperangan sehingga tidak sempat membangun masa depan. Sedangkan khilafah ialah proyek politik yang bisa jadi utopis karena menghendaki penyatuan seluruh negara dan bangsa dalam satu payung imperium Islam. Ini artinya, gagasan khilafah untuk pembebasan Palestina ialah satu hal yang irelevan.
Agenda khilafah ialah kembali ke masa lalu, bukan ke masa depan. Orientasi ke masa lalu (regresif) inilah yang menurut Ahmad T. Kuru (2019) menjadi problem dunia Islam saat ini. Alih-alih menatap masa depan dengan mengembangkan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, membangun kemapanan ekonomi dan mengembangkan sumber daya manusia serta memperkuat demokrasi, khilafah justru mengajak umat kembali ke romantisisme sejarah (kejayaan) Islam di masa lalu.
Apa yang urgen bagi dunia Islam saat ini terkait isu Palestina ialah membangun jejaring solidaritas kemanusiaan global. Umat Islam perlu membangun sebuah aliansi keumatan yang melampaui sekat-sekat aliran (sunni-syiah) dan mazhab guna memperjuangkan keadilan dan perdamaian di Palestina. Harus diakui, selama ini dunia Islam belum satu suara dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian di Palestina. Mewujudkan solidaritas kemanusiaan untuk Palestina inilah yang idealnya menjadi fokus bersama.
This post was last modified on 25 Mei 2021 11:53 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…