Narasi

Khutbah yang Menyenangkan dan Mempersatukan, Bukan Menakutkan

Ada yang penulis sayangkan ketika menemukan konten-konten para dai yang diidentifikasi sebagai kelompok radikal, yaitu mereka merasa menjadi korban atau dalam istilah psikologinya underside mentality. Statemen bahwa umat muslim sedang terpuruk, umat muslim terpojokkan, ulama’nya dikriminalisasi dan pemerintah tidak pro umat Islam, menjadi salah satu contoh. Statement seperti itu menimbulkan keresahan para jamaahnya, bahkan upaya untuk menakuti agar mereka tergugah untuk melakukan perlawanan dan menawarkan ideologi baru yaitu formalisasi agama yang berupa khilafah.

Mentalitas korban memang sangat ampuh untuk menarik masa untuk melakukan pergerakan, katakanlah jihad bagi versi mereka. Sehingga tidak heran apabila timbul ujaran kebencian, hoax, takfiri, melakukan justifikasi bid’ah ketika melakukan khutbah. Seharusnya khutbah bukan membuat semakin benci kepada orang lain, melainkan menjadi menghormati kepada orang lain. Tidak merasa benar sendiri, hingga melakukan tindakan intoleransi.

Salah satu contoh waktu dekat ini, ada sebagian kelompok yang ingin melakukan reuni 212, dengan alasan karena umat Islam sempat tersudut pada tahun ini. Mentalitas semacam itu seringkali ampuh membuat orang untuk melakukan ceramah agama, sehingga banyak orang yang tiba-tiba menjadi ustadz. Alhasil ceramahnya pun mengandung ujaran kebencian, menolak cara beragama umat Islam Indonesia yang selama ini telah dijalani, dan menganggap bahwa cara beragamanya yang paling benar.

Baca juga : Masjid untuk Mempersatukan Umat

Salah satu ciri dakwahnya kelompok intoleran, yaitu menakuti hingga menyalahkan kelompok lain hingga berujung ujaran kebencian. Membuat jamaahnya ketika pulang resah, gelisah dan berujung membenci salah satu kelompok atau tokoh. Bahkan seringkali mereka memanfaatkan agama untuk kepentingan politik praktis, dengan alasan umat Islam merasa menjadi korban.

Mempersatukan dan Menyenangkan

Dakwah-dakwah yang menimbulkan keresahan untuk melakukan kebencian terhadap orang lain, bagi para jamaah harus bisa menghindari. Salah satu ciri ceramah bagi kelompok radikal adalah melakukan ujaran kebencian, menyebar hoax, dan selalu mengobarkan api permusuhan. Cermah seperti itu sudah selayaknya tidak mendapatkan kesempatan, apabila di publik.

Ceramah sudah selayaknya yang mengarah pada persatuan umat dan menyenangkan, menghibur hati masyarakat, membimbing dan mengarahkan kepada jalan yang benar. Dakwah yang berorientasi menjaga ketenangan situasi bangsa Indonesia. Dakwah mengarah pada upaya perdamaian antar umat beragama. Dakwah yang mengarah untuk membangun Indonesia daripada sekadar mempermasalahkan perbedaan.

Salah satu dakwah yang dilakukan untuk membangun situasi yang damai dan ceramah yang menyejukkan dilakukan oleh para tokoh agama seperti Habib Lutfi bin Yahya, KH. Musthafa Bisri, KH. Maimoen Jubair dan serta dai lainnya. Misalnya Habib Lutfi bin Yahya, banyak dari ceramahnya yang mengarahkan umat untuk cinta kepada negaranya, sebagai pionir untuk melakukan persatuan bersama umat yang lain. Tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan, melainkan mengarah pada pembangunan bangsa Indonesia yang lebih baik, tanpa melakukan ujaran kebencian dan tanpa membenci kelompok yang lain.

Tokoh-tokoh agama tersebut berorientasi menjaga kerukunan umat Islam, bahkan kerukunan antar umat beragama. Walaupun sebagai umat muslim, namun tidak merasa sebagai umat muslim yang angkuh untuk menguasai semua lini hingga mengupayakan formalisasi agama, misalnya negara Islam. Islam dimaknai bukan sebatas simbol-simbol dalam kehidupan sehari-hari, melainkan jauh merasuk pada perilaku dalam kehidupan. Ketika bertemu dengan orang yang berbeda keyakinan dengannya, ketika bertemu dengan siapapun menunjukkan akhlak yang Islami.

Penulis pernah menghadiri salah satu majelis di Solo yaitu Majelis Ar-Raudhah, pimpinan Habib Novel Alaydrus. Dalam setiap ceramahnya berorientasi untuk membahagiakan jamaahnya. Ketawa, hingga upaya untuk introspeksi terhadap diri sendiri ketika hadir dalam majelis tersebut. Tidak melakukan ujaran kebencian, dan tidak mengeluarkan umpatan-umpatan yang ditujukan kepada orang lain.

Walaupun agama sudah berjalan di masyarakat, ada baiknya pemerintah memberikan panduan bagi para dai. Atau, bisa juga membuat kurikulum bagi para khotib yang menghindari ujaran kebencian dan upaya tindakan makar di masjid-masjid publik diawali dari lingkungan pemerintahan. Khotbah di lingkungan pemerintahan perlu untuk dijaga dari ujaran kebencian dan tindakan makar dengan mengeluarkan ide-ide khilafah. Selebihnya, pemerintah bisa berdialog dengan tokoh dari organisasi masyarakat Islam terkait standar khotbah.

Nur Sholikhin

Penulis adalah alumni Fakultas Ilmu Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang aktif di Majalah Bangkit PW NU DIY.

View Comments

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

2 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

2 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

2 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

2 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

3 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

3 hari ago