Perempuan melakukan aksi bom bunuh diri bukan hal asing lagi. Bahkan, ada yang berhasil mendoktrin suaminya supaya melakukan aksi-aksi terorisme. Fenomena itu di Indonesia menggejala sejak tahun 2016 silam. Menjadi tanda bahwa paham intoleran, anti perbedaan dan dan perasaan benar sendiri tidak hanya menyasar kaum laki-laki, tapi kalangan perempuan mulai tercemari. Kebanyakan mereka dari kalangan muslim perempuan (muslimah).
Muslimah yang terjebak dalam pusaran terorisme tentu sangat disayangkan. Kenyataan ini jauh berbeda dengan apa yang diteladankan oleh para muslimah generasi awal. Sahabat-sahabat Nabi dari kalangan perempuan (shahabiyah) terkenal bukan karena hasrat sebagai pembunuh karena perbedaan agama. Mereka masyhur karena kedalaman ilmu agamanya. Beberapa shahabiyah bahkan menjadi guru sahabat-sahabat Nabi.
Sehingga, sejarah tidak ada yang mencatat diantara shahabiyah ada menyuarakan propaganda anti kekerasan, menampilkan sikap intoleran dan melakukan kekerasan atas nama agama. Yang ada justeru teladan dari mereka tentang kerukunan antar umat beragama. Teladan kerukunan antar umat beragama dan sikap toleransi itu salah satunya datang dari Asma’, putri Abu Bakar as Shiddiq.
Ibunya bernama Qutailah binti Abdul Uzza al Amiri. Abu Bakar cerai dengan Qutailah sebelum memeluk Islam. Asma’ memeluk agama Islam bersama ayahnya, Abu Bakar. Sementara Qutailah tetap memilih agama nenek moyangnya.
Alkisah, Qutailah sangat merindukan putrinya, Asma’. Ia berniat mengunjungi putrinya sembari membawa hadiah sebagai oleh-oleh. Namun, harapan berbeda dengan kenyataan. Asma’ enggan menerima hadiah dari ibunya yang non muslim. Karena menurutnya, muslim dilarang menerima pemberian dari non muslim dan menerima tamu non muslim.
Setelah itu, terbersit keraguan dalam hatinya, apakah tindakannya tersebut benar? Kemudian, Asma’ menceritakan hal itu dan meminta kepada Aisyah untuk menyampaikan kepada Nabi. Setelah Aisyah menceritakan prihal sikap Asma’ terhadap ibunya yang non muslim, Nabi justeru memerintahkan kepada Asma’ supaya berbuat baik kepada ibunya, sekalipun non muslim. Lebih dari itu, ia juga harus menghormati ibunya ketika datang berkunjung.
Peristiwa tersebut menjadi setting historis atau sebab turunnya ayat: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah: 8)
Ayat ini berbicara mengenai pesan dan narasi perdamaian. Suatu perintah untuk menghormati dan berbuat baik kepada non muslim. Allah menegur Asma’ karena tidak menghormati ibunya karena beda agama. Bahkan, bukan hanya kepada ibu yang tidak seagama saja, terhadap non muslim yang tidak memerangi karena agama serta tidak mengusir kita dari kampung halaman tetap harus menghormati dan tidak boleh menyakiti. Sebagaimana makna tersurat ayat di atas.
Kisah Asma’ yang ditegur oleh Allah dan Rasulullah berisi pesan, ajaran Islam menghendaki tradisi toleransi dan budaya rukun berasas kekerabatan dalam hubungan sosial masyarakat tanpa sekat agama. Kisah Asma’ merupakan akar sejarah dimana Islam sangat melarang kekerasan atas nama agama. Oleh karena itu, fenomena muslimah yang melakukan kekejian aksi-aksi terorisme seperti bom bunuh diri sejatinya bertentangan dengan ajaran Islam.
Disamping bertentangan dengan ajaran agama, fenomena perempuan menjadi teroris sejatinya juga bertentangan dengan fitrah keibuan yang dimiliki semua perempuan. Perempuan secara intrinsik memiliki moral keibuan. Sebagai seorang yang melahirkan anak, moral keibuan hadir secara alami. Sehingga seorang ibu diatribusi sebagai “penjaga kehidupan”. Maka, pada dasarnya perempuan sangat anti kekerasan.
Kembali pada kisah Asma’ binti Abu Bakar, Islam tidak mengajarkan penghinaan, memusuhi, apalagi membunuh orang lain karena alasan perbedaan agama. Selama mereka tidak memerangi umat Islam karena agama serta tidak mengusir umat Islam dari kampung halamannya, umat Islam dilarang memerangi atau membunuh non muslim.
Karenanya, muslimah harus sadar akan hal ini. Kisah Asma’ binti Abu Bakar sejatinya menjadi inspirasi untuk selalu menebarkan kebaikan, perdamaian dan kerukunan. Terjebak dan percaya terhadap propaganda kelompok radikal merupakan kesalahan besar yang beresiko pada pengabaian terhadap ajaran agama Islam yang sebenarnya.
This post was last modified on 9 Maret 2023 2:04 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…