Narasi

Mengobati Krisis Akhlak dengan Pendidikan Anti Kekerasan Berbasis Keluarga

Krisis akhlak masih terus melanda pada kalangan anak di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis akhlak mencerminkan belum mampunya pendidikan saat ini dalam menciptakan generasi bangsa yang berkualitas (santun, dan anti kekerasan). Namun dapat menyikapi krisis akhlak dengan pendidikan anti kekerasan dalam lingkungan keluarga, terutama orang tua.

Orang tua adalah madrasatul ula (pendidikan pertama) bagi setiap anak. Orang tua-lah yang mengemban peran paling besar dan penting dalam keluarga, terutama pada tumbuh kembang dan pembentukan karakter (akhlak) anak. Lingkungan keluarga hendaknya diciptakan dengan penuh kasih sayang, aman, tentram, dan nyaman demi tercipta keluarga yang harmonis. Selain itu perlu memberikan pendidikan anti kekerasan untuk membentuk akhlak yang santun.

Terbentuknya keluarga harmonis dan akhlak yang santun pada anak, dapat menggugurkan krisis akhlak dan juga dapat menyukseskan pendidikan anti kekerasan terhadap anak. Pendidikan anti kekerasan merupakan sebuah pendekatan progresif (tenaga pendidik (orang tua) memberikan kebebasan kepada peserta didik (anak) dalam pembelajarannya) untuk melakukan modifikasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik kekerasan dalam proses kehidupan yang beraneka suku.

Sejak dini, lingkungan keluarga hendaknya sudah mulai dengan menanamkan dasar-dasar perilaku, akhlak, dan kebiasaan baik lainnya sebagai modal awal sebelum memasukkan anak ke lingkungan sekolah. Kenakalan remaja yang sering terjadi di sekolah bisa jadi bibitnya dari lingkungan keluarga, di mana keluarga kurang memberikan perhatian kepada anak, sehingga seorang anak tersebut melampiaskan dengan melakukan kekerasan sebagai upaya mencari perhatian kepada orang lain. Oleh karena itulah diperlukan pendidikan anti kekerasan berbasis keluarga.

Pendidikan sejatinya sebagai penyokong dalam mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia dan bertujuan untuk memanusiakan manusia. Pendidikan bisa di dapatkan dari keluarga. Yang mana hasil pendidikan yang di dapatkan anak dalam keluarga sebagai penentu pendidikan anak selanjutnya. Orang yang melakukan kekerasan mencerminkan tidak berpendidikan yang krisis akhlak. Krisis akhlak pada anak dapat dilihat dengan banyaknya kasus tawuran, minum minuman keras (miras), bullying, dan bahkan sampai melakukan pembunuhan.

Ada berbagai macam pendidikan yang dapat digunakan sebagai bahan untuk mendidik anak, salah satunya pendidikan anti kekerasan. Pendidikan anti kekerasan ini dapat diterapkan dengan berbuat tindakan yang santun, berbicara dengan lemah lembut, bilang terimakasih ketika diberikan sesuatu apapun dari orang lain, dan meminta maaf ketika melakukan kesalahan. Hal tersebut bisa dibiasakan oleh orang tua terhadap atau di depan anak dengan tujuan mendidik (memberikan contoh) dengan diimbangi wawasan ketauhidan, agama, akhlak, kejujuran, keadilan, dan menumpahkan perhatian pada anak demi terbentuknya generasi penerus bangsa yang berkualitas (akhlaknya santun tanpa kekerasan).

Setiap manusia memiliki hak dalam kehidupannya begitupun dengan anak, di mana memahami hak anak terhadap orang tua menjadi bagian juga dari pendidikan anti kekerasan terhadap anak. Hak-hak yang dimaksudkan sebagai berikut: Pertama, hak untuk hidup. Hak inilah yang menjadi penyebab tidak bolehnya membunuh anak-anak. Kedua, hak untuk mendapatkan nasab yang jelas. Hak ini digunakan untuk menentukan status anak agar mendapatkan hak dari orang tuanya dan dapat diterima di lingkungannya dengan wajar. Ketiga, hak mendapatkan nama yang baik, karena sebuah nama merupakan do’a. Keempat, hak mendapatkan asuhan, perawatan, dan pemeliharaan. Hak ini dapat mempengaruhi jiwa anak. Keempat hak tersebut jikalau terpenuhi dalam kehidupan anak, maka tidak akan mengalami krisis akhlak.

Keluarga memang menjadi peran sentral dalam membentuk akhlak yang santun. Keluarga tidak dapat mengawasi anak selama 24 jam. Dengan begitulah keluarga harus mampu mengajarkan tindakan yang terpuji kepada anak dan terus memberikan nasehat yang baik demi masa depan anak.

Dengan demikian, dalam menyikapi krisis akhlak anak di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara hendaknya lebih sadar akan pendidikan anti kekerasan berbasis keluarga sebagai wadah pembentukan akhlak anak. Maraknya kasus yang mencerminkan krisis akhlak pada anak, menjadi hal miris bagi keluarga dan harus dileburkan demi menjaga kestabilan akhlak yang baik untuk meminimalisir tindakan kekerasan anak.

This post was last modified on 9 Maret 2023 2:12 PM

Dzuriya Dzuriya

Recent Posts

Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan…

2 hari ago

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2025

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme pada 2020 pernah…

2 hari ago

Jangan Membenturkan Kesadaran Nasional dengan Kesadaran Beragama

Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, narasi yang mencoba membenturkan antara kesadaran nasional dan kesadaran…

2 hari ago

Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah…

2 hari ago

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

3 hari ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

3 hari ago