Ihwal UU Cipta Kerja yang disahkan DPR pada tanggal 5 Oktober lalu menjadi gaduh tidak hanya di media sosial, namun juga gaduh dan riuh di kehidupan nyata. Beragam penolakan dilakukan oleh mahasiswa, buruh dan masyarakat sipil lainnya. Demonstrasi pun mengemuka di banyak wilayah di Indonesia.
Hanya saja, dalam aksi demonstrasi tersebut, marak terjadi aksi-aksi anarkis yang dianulir dilakukan oleh provokator yang sengaja menunggangi aksi agar dapat berbuat tindakan-tindakan radikal dan kekerasan. Melampiaskan kekecewaan terhadap negara dengan tindakan tindakan radikal dan anarkis, sungguh tidak dapat dibenarkan. Menyampaikan aspirasi dijamin kebebasannya oleh undang-undang, namun pengrusakan fasilitas umum dan tindak anarkis ialah bentuk pelanggaran hukum.
Patut disyukuri, kesadaran sipil dalam demokrasi terjadi di masyarakat Indonesia. Dan, nyaris dapat dipastikan; seluruh peserta aksi adalah para generasi muda, yang nantinya akan menjadi penerus bangsa. Kesadaran mereka akan pentingnya membuat regulasi yang berpihak kepada rakyat, membawa angin segar untuk perubahan menuju peradaban maju. Tak heran, kalau Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno pernah mengatakan, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”.
Di era sekarang, generasi muda tumbuh dan berkembang dalam dominasi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Atau meminjam istilah Don Tapscott dalam bukunya Grown Up Digital, generasi ini bisa juga disebut sebagai generasi internet (net generation) atau generasi milenial (saat ini berusia kisaran 14-34 tahun).
Tentu saja, tantangan yang dihadapi oleh pemuda-pemuda sekarang berbeda dengan era sebelumnya. Di era sebelumnya, generasi muda dihadapkan dengan perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan NKRI, maka generasi muda sekarang dihadapkan dengan perjuangan mempertahankan persatuan, kedamaian, dan kedaulatan NKRI. Bahkan sekali pun hanya menggunakan teknologi digital, mereka dapat turut berjuang mempertahankan keutuhan NKRI, yakni dengan mengkounter narasi provokasi aksi radikal dan anarkis yang berkembang di media sosial.
Paulus Mujiran (2016) menyebutkan bahwa terdapat dua alasan mengapa memerangi potensi provokasi dan penyalahgunaan medsos. Pertama, medsos merupakan media komunikasi yang sangat personal. Unggahan di medsos berbeda dengan produk jurnalistik yang diproduksi oleh media mainstream karena memiliki jajaran redaksi untuk memfilter informasi sebelum dipublikasikan.Pemilik akun medsos bebas mengunggah foto, video, berita kapan pun dan dimana pun. Minimnya kesempatan untuk memfilter atau sensor informasi menyebabkan sajian medsos menjadi bebas dan seringkali disalahgunakan untuk kepentingan pemiliki akun.
Kedua, keterbukaan informasi menyebabkan medsos yang tujuan semula untuk berbagi informasi, menjalin persahabatan disalahgunakan untuk tujuan-tujuan tertentu seperti menghasut, provokasi dan mempengaruhi pihak lain. Bahkan menjadi sarana kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan dalam kampanye pilkada.
Ditambah lagi, medsos dapat menjadi sara jurnalisme warga yang gratis. Tentu saja, ini menjadi salah satu alasan animo luar biasa masyarakat terhadap penggunaan medsos. Namun mempergunakan medsos tetaplah harus memperhatikan kaidah jurnalistik agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Karena apabila ditemukan pengguna medsos yang melakukan bullying, fitnah, atau penghinaan yang menebar kebencian kepada orang lain, maka dapat dikenakan jeratan hukum yang tertuang pasal dalam UU ITE.
Medsos dan Kolaborasi
Caroline Tyan (2017), dalam tulisannya Nationalism in the age of social media, menjelaskan bahwa media sosial merupakan penguat dari nasionalisme. Generasi milenial sebagai generasi yang akrab dengan media sosial tentu bisa mengambil peran sebagai agen-agen penguat nasionalisme dengan menjadi penebar pesan-pesan perdamaian. Media sosial menghubungkan secara bersamaan dari banyak pihak ke banyak pihak. Menjadi alat konektivitas yang dikendalikan secara emosional, dimana komunitas politik bisa dikonstruksi ulang ataupun dihancurkan melalui pengaruh yang diberikan dalam pikiran para netizen.
Hanya saja, menciptakan medsos yang dapat membangun nasionalisme, tidak bisa dilakukan secara individu mengkounter narasi radikal dan anarkis, namun mereka memerlukan jejaring yang kuat. Mustahil membuat dunia maya penuh dengan narasi sejuk dan damai apabila tidak dilakukan secara gotong-royong. Upaya yang dilakukan secara individual akan sulit mencapai target yang diharapkan, justru semakin menjauhkan dari tujuan yang diinginkan.
Lagipula, konektivitas atas hadirnya media digital juga akan mempermudah upaya kolaborasi membumikan pesan-pesan damai di dunia maya. Jika semua generasi milenial berkolaborasi menebar pesan-pesan kedamaian dan mengkounter narasi radikal dan anarkis, bukan hanya dunia maya yang terbebas dari narasi hoaks, ujaran kebencian dan provokasi, tetapi dunia nyata juga terbebas dari segregasi sosial yang diakibatkan penggunaan medsos yang tidak bijak oleh para netizen. Dari medsos oleh generasi milenial untuk perdamaian global. Wallahu a’lam.
This post was last modified on 16 Oktober 2020 5:35 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…