Narasi

Komitmen Kemanusiaan dan Menjaga Spirit Kebhinnekaan

Kita sudah sepantasnya merasa prihatin atas apa yang terjadi di Rakhine dimana tragedi kemanusiaan kembali menimpa saudara-saudara muslim Rohingya. Terlepas apakah kejadian tersebut dilatarbelakangi oleh konflik agama ataupun pertarungan kepentingan politik dan ekonomi, adanya pembunuhan atas manusia, bahkan mengarah pada genosida merupakan tindakan biadab yang harus dihentikan. Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia perlu kita apresiasi, melalui statement Presiden Joko Widodo, Menteri Luar Negeri segera melakukan langkah diplomatik dan bantuan kemanusiaan yang memang dibutuhkan oleh masyarakat Rohingya. Bangsa Indonesia yang selama ini memegang teguh prinsip kemanusiaan dan anti penindasan telah memberikan kontribusi nyatanya dalam mewujudkan perdamaian dunia, khususnya di kawasan ASEAN.

Tidak bisa kita pungkiri, maraknya informasi mengenai tragedi kemanusiaan di Rakhine memicu berbagai pandangan dan analisis. Tidak jarang kemudian publik disuguhi informasi atau foto kejadian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan alias hoax. Selain itu, mulai terlihat ada oknum yang memancing di air keruh dengan menghembuskan isu sentimen keagamaan, sehingga muncul informasi di media massa, utamanya di media sosial yang menggiring publik untuk saling membenci antar umat beragama. Problematika sosial yang terjadi di Rakhine memang tidak bisa dibaca dalam satu perspetif ansich, meski kemudian disana ada konflik agama yang turut menjadi bagian. Namun demikian, tidak pantas jika isu tersebut kemudian di bawa sampai ke dalam negeri bangsa Indonesia. Bangsa ini telah belajar mengenai toleransi selama ratusan tahun, dan fitrah kebhinnekaan merupakan anugerah yang perlu disyukuri.

Pada satu sisi sebagai bangsa yang beragama, kita tidak akan pernah berhenti menyuarakan kemanusiaan, karena itulah komitmen kita yang sudah tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun di sisi yang lain, bangsa ini harus terus merawat spirit kebhinnekaan agar tidak mudah terpancing dan terjebak pada framing yang salah. Terkait dengan merawat spririt kebhinnekaan, masih cukup segar dalam ingatan kita apa yang disebut dengan “Deklarasi Manado”, mengutip hasil dari The Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XV di Manado dengan mengankat tema “Harmony in Diversity: Promoting Moderation and Preventing Conflict in Socio Religious Life” (Fathurrahman Ghufron, 2016). Ada lima butir “Deklarasi Manado” yang perlu dicermati bersama. Pertama, meyakini bahwa keragaman bangsa Indonesia adalah sumber kekuatan. Kedua, bertekad menjaga suasana damai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk Indonesia yang kuat, sejahtera, dan berdaulat. Ketiga, akan bahu membahu dengan semua komponen bangsa untuk mencegah setiap usaha, gerakan, dan pemikiran yang dapat mengusik kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, mendukung setiap langkah negara untuk mencegah berkembangnya segala bentuk fanatisme, ekstrimisme, dan radikalisme yang mengatasnamakan suku, agama, ras, dan golongan. Kelima, mengajak semua komponen bangsa untuk berperan aktif dalam menegakkan nilai-nilai kebersamaan dan menjaga kedamaian.

Kelima point yang dihasilkan dalam ‘Deklarasi Manado” tersebut sekiranya sangat tepat untuk kemudian kita refleksikan kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Point of interest yang perlu digarisbawahi bersama yakni adanya sikap saling menghormati keragaman yang menjadi fitrah bangsa ini untuk kemudian bersama-sama menjaga kedamaian  dengan mencegah segala pemikiran yang secara sistematis ingin merusak kenyamanan publik. Publik harus memiliki kohesi sosial yang kuat sehingga tidak lahir rasa saling curiga, apalagi saling menuduh atas umat beragama. Apa yang terjadi di Rakhine, Myanmar, memang harus segera kita sikapi dengan segera dan bijak. Karena bukan tabiat bangsa Indonesia hanya berdiam diri melihat pembunuhan manusia yang terjadi begitu rupa. Akan tetapi juga bukan menjadi karakter kita untuk mudah tergiring dalam isu sektarian atau sentimen SARA sehingga merusak rasa toleransi yang sudah kita rawat selama ini.

Komitmen kemanusiaan sudah tentu menjadi tugas bersam seluruh elemen bangsa ini, dan  Bangsa Indonesia memiliki posisi sekaligus peran yang sangat strategis untuk menjaga perdamaian di kawasan ASEAN, maupun dunia internasional. Mari buktikan bahwa dengan Pancasila yang dahulu ditahun 1960 pernah Soekarno lantangkan dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa  dengan judul “To Build The World A New”, telah memberikan inspirasi bagi negara-negara di dunia untuk meneguhkan komitmen perdamaian, dimana menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta katakan stop untuk segala aksi penindasan dan penjajahan adalah ruh dari perdamaian itu sendiri.

Agung SS Widodo, MA

Penulis adalah Peneliti Sosia-Politik Pusat Studi Pancasila UGM dan Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago