Kontroversi sang nabi palsu Joseph Paul Zhang agaknya belum akan berakhir. Klaimnya sebagai “Nabi Jones” alias nabi ke-26 menyulut amarah publik Islam. Belum lagi pernyataan-pernyataan frontalnya yang secara sengaja mengejek Nabi Muhammad, sosok yang diagungkan dalam dunia Islam dan merendahkan bulan Ramadan, bulan suci bagi umat Islam. Tulisan Sitti Faizah di kanal Suara Kita Jalandamai.org berjudul “Joseph Paul Zhang dan Dinamika Popularitas Jalur Instan” secara apik mendedah kontroversi tersebut.
Faizah menganggap apa yang dilakukan Zhang murni sebagai sebuah upaya mencari popularitas instan di dunia maya. Klaim kenabian dan segala sumpah serapah Zhang terhadap ajaran dan simbol agama dianggap Faizah sebagai sebuah cara instan mendapatkan popularitas di dunia Maya. Bagi Faizah, aksi Zhang ini tidak lebih dari aksi konyol sejumlah pembuat konten di YouTube yang berusaha mendulang penonton dengan video-video semacam prank sumbangan sampah.
Analisis Faizah tersebut tentu tidak salah. Kesimpulan bahwa aksi kontroversial Zhang dilakukan untuk mendaki tangga popularitas virtual secara instan memang cenderung masuk akal. Namun demikian, ada hal yang belum sepenuhnya terjelaskan dari analisis Faizah tersebut. Benarkah Zhang melakukan hal kontroversial bahkan berpotensi membahayakan nyawanya itu hanya karena ingin memperoleh popularitas di dunia maya?
Saya pribadi memiliki tilikan lain yang sedikit berbeda dengan kesimpulan yang disajikan Faizah. Menurut saya, apa yang dilakukan Zhang lebih dari sekadar mencari popularitas di dunia maya. Namun, ia memiliki misi yang lebih besar dari itu. Asumsi saya itu berdasar dari setidaknya tiga hal. Pertama, klaim Zhang sebagai nabi palsu sebenarnya bukan pertama kali ini dia lakukan. Di pertengahan 2019 lalu ia juga pernah menyatakan diri sebagai nabi. Namun, entah mengapa pernyataan itu tidak sekontroversial sekarang dan meguap begitu saja ditelan isu-isu lainnya.
Kedua, jika dilihat secara seksama, kontroversi klaim kenabian Zhang dan pernyataannya yang mengejek atau merendahkan agama merupakan imbas dari amplifikasi yang dilakukan oleh sejumlah media online di Indonesia. Mengutip analisis Ismail Fahmi, melalui aplikasi drone emprit-nya, isu Zhang ini ramai setelah diberitakan oleh berbagai media online di Indonesia. Padahal sebelumnya, penggalan videonya telah bertebaran di Twitter, namun belum direspons masif oleh publik.
Ketiga, satu hal yang harus kita pahami ialah bahwa Zhang tidak hanya menyerang Islam saja, namun dia juga menghina agama Kristen dan pendeta. Padahal, Zhang yang bernama asli Shindy Paul Soerjomoelyono ini memiliki latar belakang sebagai mahasiswa di Universitas Katolik Satya Wacana Salatiga. Dia bahkan dikenal sebagai mahasiwa yang pintar dan kritis sewaktu kuliah. Fakta bahwa ia tidak hanya menyerang Islam ini menjadi penting untuk melihat aksi Zhang dalam konteks yang lebih luas alias tidak hanya menganggapnya sebagai sosok yang “pansos” melalui isu keagamaan.
Saya pribadi lebih melihat Zhang sebagai sosok yang dipasang oleh kekuatan tertentu sebagai bagian dari perang proksi antar kekuatan global. Barangkali analisis ini terkesan konspiratif. Namun, jika melihat keberanian Zhang dan sulitnya menemukan keberadaan dia saat ini, hipotesis ini tentu patut dipertimbangkan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa persaingan global saat ini kerap diwarnai oleh perang proksi.
Secara sederhana, perang proksi dapat dipahami sebagai sebuah konfrontasi antar-dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung. Frasa “pemain pengganti” dalam konteks perang proksi ini umumnya ialah sosok-sosok yang memang diplot untuk mengusung isu-isu kontroversial dan meresahkan publik. Tujuannya tiada lain ialah memecah belah kekuatan lawan dengan isu-isu kontroversial dan provokatif. Maka, dalam perang proksi kadangkala tidak jelas mana kawan dan mana lawan.
Mewaspadi Provokasi
Disinilah pentingnya kita memahami Zhang dalam bingkai analisis yang lebih luas. Tidak hanya sekadar melihatnya sebagai fenomena media sosial dan algoritma popularitas yang mengiringinya. Zhang jelas lebih dari sekadar pencari popularitas. Ia tahu apa yang ia lakukan. Ia yakin dengan statemen-statemen kontroversialnya. Dan ia paham benar bahwa ia tengah menghadapi risiko yang tidak ringan. Bahkan, bisa jadi nyawa ialah taruhannya. Meski demikian, ia tetap melakukan aksinya itu tanpa ada rasa bersalah.
Pertanyaanya kemudian ialah jika benar Zhang merupakan bagian dari perang proksi, maka kekuatan mana yang menjadi afiliasinya? Pertanyaan ini tentu patut dielaborasi lebih lanjut.
Di titik ini bisa kita simpulkan bahwa tujuan Zhang tidak lain ialah memprovokasi umat beragama, khususnya umat Islam yang memang dikenal gampang tersulut emosinya jika agamanya dihina. Dalam sebuah ceramahnya, KH. Bahaudiin Nursalim alias Gus Baha pernah berseloroh bahwa biasanya umat Islam yang gampang terprovokasi itu umumnya justru tidak soleh dalam pengamalan agamanya.
Gus Baha mencontohkan, orang yang sama sekali tidak pernah menginjak masjid tiba-tiba paling marah ketika ada masjid yang dicoret-coret atau dirusak. Demikian pula, ada orang yang tidak pernah sholat tapi marah ketika agama Islam dihina. Pendapat Gus Baha itu kiranya bisa kita jadikan inspirasi dalam menyikapi setiap isu kontroversial yang menerpa Islam. Termasuk dalam menghadapi kasus Zhang tersebut.
Apalagi saat ini kita tengah menjalani puasa Ramadan. Kita hendaknya tidak mengumbar amarah hanya karena ulah seseorang yang sengaja menyebar provokasi untuk memecah belah umat Islam. Amarah umat Islam hanya akan menjadi bahan bakar bagi orang-orang seperti Zhang, karena itulah yang mereka inginkan. Mereka menebar isu kontroversial agar kita marah, lalu meluapkan kemarahannya dan pada akhirnya kita lupa pada pada hal-hal dan persoalan subtansial.
Orang seperti Zhang ini besar karena amplifikasi media massa yang sedemikian dahsyat. Media massa terutama daring kadang tidak memperhatikan efek jangka panjang dari pemberitaan yang mereka lakukan. Padahal, secara tidak langsung mereka memberikan panggung lebih luas bagi Zhang dan agenda provokatifnya. Maka dari itu, cara paling tepat untuk menghadapi Zhang ialah dengan mengabaikannya. Kita yakin bahwa Islam, Nabi Muhammad dan puasa Ramadan tidak akan berkurang nilai kesucian dan kemuliannya hanya karena ocehan seoarng Zhang.
This post was last modified on 22 April 2021 12:34 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…