Dalam surat-suratnya yang dihimpun dalam buku yang fenomenal Habis Gelap Terbitlah Terang, dalam versi bahasa Indonesia dan Door Duisternis Tot Licht dalam bahasa Belanda oleh J.H Abendanon, R. A. Kartini menumpahkan argumennya yang cerdas dan empatik terhadap kondisi pada masanya tentang ketidakadilan, hegemoni dan penjajahan nalar, khususnya yang dialami perempuan. Ada dua hal yang menjadi benalu yang mengikat kebebasan perempuan, menurutnya. Konstruksi budaya yang patriarki dan nalar beragama yang menjustifikasi budaya tersebut.
Tentu, dalam banyak istilah yang digunakan, Kartini tidak merujuk pada kritik esensi agama itu sendiri, tetapi konstruksi pemikiran dan pemaknaan beragama yang dijadikan alat hegemoni budaya dan politisasi kepentingan. Goresan pena itu berbunyi : bukan agama yang tidak dapat disembah, tetapi manusia yang telah membuat apa yang awalnya bersifat seperti Allah dan indah, menjadi buruk dan jelek. Kami berpikir bahwa cinta kasih adalah agama yang paling tinggi.
Kritik ini, nampaknya, sangat menarik untuk melihat cara Kartini melakukan kritik kebudayaan sekaligus nalar beragama saat itu. Dan saat ini, agama juga kerap dijadikan alat hegemoni dan politisasi untuk menundukkan perempuan dan lebih luas tentang menjadikan agama sebagai tameng pembeda dan tindakan kekerasan.
Kritik nalar pertama, persoalan formalisme dan tektualisme beragama. Banyak sekali orang terjebak pada ritual-formal, tetapi tidak menyelami makna agama yang sebenarnya. Menurut Kartini agama tidak boleh hanya menjadi bacaan bibir, tetapi harus dijiwai dalam seluruh kehidupan. Betapa banyak yang hafal al-Quran namun tidak banyak memahaminya.
Misalnya Kartini mengeluhkan keadaan : Di sini tidak ada seorang pun yang berbicara bahasa Arab. Sudah menjadi kebiasaan untuk membaca Al-Quran; tetapi apa yang dibaca tidak ada yang mengerti! Bagi saya adalah hal yang konyol untuk diwajibkan membaca sesuatu tanpa bisa memahaminya.
Kritik ini sebenarnya mungkin juga Kartini, entah pernah atau tidak, mengetahui bagaimana Nabi mengkritik orang yang pandai membaca, tetapi tidak memahami isi al-Quran : Akan keluar manusia dari arah timur dan membaca Al-Qur’an namun tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat keluar dari agama sebagaimana halnya anak panah yang melesat dari busurnya. Mereka tidak akan kembali kepadanya hingga anak panah kembali ke busurnya.” (HR. Bukhari).
Apa yang ingin Saya sampaikan kepada Raden Ajeng, kondisi yang pernah anda alami masih terjadi saat ini. Banyak orang yang terjebak kesalehan formal yang tidak pernah memahami esensi agama yang sebenarnya. Banyak berbicara ayat-ayat suci, tetapi tidak pernah memahami arti berbagi dan saling menghormati.
Kritik nalar kedua, agama yang dieksploitasi dan dipolitisasi menjadi alat kebencian. Agama menurut Kartini adalah berkah bagi semua. Esensi agama yang paling tinggi adalah cinta. Tetapi, pada prateknya, nalar kaum beragama selalu dipenuhi oleh kebencian terhadap yang berbeda. Mereka sering berselisih paham karena perbedaan praktek ritual.
Saya tentu memahami dengan gemas dan geramnya Kartini menulis dalam suratnya : Tuhan, kadang-kadang saya berharap tidak pernah ada agama, karena apa yang seharusnya mempersatukan umat manusia dalam satu persaudaraan yang sama, telah menjadi penyebab perselisihan, pertikaian, dan pertumpahan darah sepanjang zaman. Anggota keluarga yang sama telah menganiaya satu sama lain karena perbedaan cara mereka menyembah Tuhan yang sama. Mereka yang tadinya diikat oleh kasih yang paling lembut telah berubah menjadi kebencian satu sama lain.
Goresan ini adalah bentuk refleksi realitas keberagamaan yang sangat lugas dan cerdas sekaligus sangat berani. Seperti lirik lagu John Lennon dalam Imagine yang mengandaikan tidak ada negara dan agama sebagai alasan saling membunuh. Namun, Bukan agama sebagai sumber bencana, tetapi nalar umat beragama yang menjadikan agama sebagai tameng dan benteng untuk tidak saling menyapa. Hanya berbeda tempat ibadah, mereka seolah harus berpisah.
Apa yang ingin Saya sampaikan kepada Raden Ajeng, kondisi yang anda alami saat itu juga tidak sirna hingga kini. Agama, kadang, diperalat oleh hambanya untuk menghukumi yang berbeda tanpa menyapa, saling berselisih sembari melupakan kasih, dan saling menganiaya bukan mengumbar cinta.
Kartini tidak hanya mengajarkan tentang kesetaraan dan pembebasan perempuan dari belenggu budaya dan pemaknaan agama, tetapi Kartini memberikan suatu cara berpikir yang sangat menarik dalam memahami agama. Baginya esensi agama adalah cinta dan dimaksudkan sebagai berkah bagi umat manusia. Agama adalah ikatan bagi seluruh ciptaan Tuhan dalam persaudaraan. Karena itulah, harusnya tidak ada pembeda antara sesama manusia baik karena beda agama, budaya, dan jenis kelamin.
Agama adalah sumber cinta yang mendorong manusia saling mengasihi, menolong, menguatkan dan menghormati. Bukan salah agama, tetapi manusia beragama sejak dulu telah mengaburkan makna dan tujuan agama yang sebenarnya.
Terakhir, Saya ingin mengutip dentuman lugas kritik Kartini : Kita merasa bahwa inti dari semua agama adalah hidup yang benar, dan bahwa semua agama itu baik dan indah. Tetapi, hai manusia, apakah yang tidak kamu perbuat?
Islam dan kultur patriarki merupakan dua hal yang bertolak belakang, tapi sekaligus sering disalahpahami sebagai…
Di tengah tragedi yang melanda Palestina dan peringatan Hari Kartini, sejumlah akun media sosial radikal…
Peran perempuan dalam membangun peradaban adalah keniscayaan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jauh sebelum…
Kaum radikal identik dengan watak oportunis. Mereka lihai mengaitkan peristiwa atau isu untuk menyebarkan ideologi…
Setiap tanggal 21 April, bangsa ini selalu memperingati hari Kartini. Spirit perjuangan Kartini sejatinya harus…
Setiap kali Hari Kartini tiba, narasi tentang perjuangan perempuan Indonesia kembali menggema, mengingatkan kita pada…