Kebangsaan

Ksatria dan Pedagogi Jawa

Basa ngelmu

Mupakate lan panemu

Pasahe lan tapa

Yen satriya tanah Jawi

Kuno-kuno kang ginilut tri prakara

 

Lila lamun

Kelangan nora gegetun

Trima yen kataman

Sakserik sameng dumadi

Trilegawa nalangsa srahing Bathara

—Serat Wedhatama

 

Istilah “pahlawan” konon merupakan istilah yang mengacu pada sosok-sosok yang berjasa sekaligus, ironisnya, tak berharap akan adanya balas-jasa. Tentu, pada titik ini, yang menyeruak dalam benak kita barangkali adalah sosok-sosok seperti Wiro Sableng ataupun Gatotkaca sebagaimana yang dikisahkan dalam pagelaran wayang di Jawa.

Namun, dalam pemerintahan Indonesia, dan bukannya pemerintahan Majapahit maupun Pringgandani, kepahlawanan sebagaimana yang ditunjukkan oleh sosok-sosok yang tak nyata itu perlu untuk diakui secara resmi oleh pemerintah untuk setidaknya kita, sebagai para pewarisnya, menjadi tahu balas budi, yang berarti pula tahu diri.

Beberapa waktu yang lalu, pemerintah Indonesia memberikan pengakuan secara resmi pada sosok-sosok yang dianggap pantas untuk menyandang gelar “pahlawan.” Tentu, pemberian gelar pahlawan ini bukanlah tanpa masalah, mengingat—merujuk pada Derrida—kata-kata memang tak pernah mengacu pada kenyataan dan hanya mengacu pada kata-kata lainnya, sebagaimana kata “pahlawan” yang hanya akan bermakna ketika disandingkan dengan kata “bajingan,” misalnya.

Namun, yang cukup menggelikan, dalam polemik pemberian gelar pahlawan oleh pemerintah Indonesia beberapa waktu yang lalu adalah ketakrelaan beberapa golongan masyarakat pada sosok yang dianggap sebagai pahlawan yang berasal dari golongan masyarakat lainnya. Dan celakanya, ketika gelar pahlawan itu diterimakan pada sosok-sosok yang berasal dari golongan mereka sendiri, mereka tak menampiknya dan justru menerimanya dengan berbunga-bunga.

Peristiwa itu ternyata menyingkapkan beberapa hal bahwa kenapa terjadi polemik semacam itu adalah karena sifat kekanak-kanakan orang dalam memandang sejarah, sebagaimana para bocah yang menikmati kisah pewayangan secara hitam-putih.

Pun, polemik itu menyingkapkan perlunya kita untuk memahami bagaimana terbentuknya ngelmu (ilmu) dan kawruh (pengetahuan) dalam kebudayaan Jawa, yang pada akhirnya dapat memetakan bagaimana semestinya proses belajar-mengajar di era kini yang semakin lama semakin rumit. Atau dengan kata lain, bagaimana semestinya mendudukkan seorang guru dan seorang murid di sepotong masa yang konon adalah sepotong masa dimana segala batas telah dinyatakan tak lagi berlaku, karena perkembangan dan konsekuensi dari IT ataupun AI, dsb.

Di Jawa, ilmu dan pengetahuan tidaklah berlaku sama sebagaimana yang disiratkan oleh istilah ilmu pengetahuan. Ilmu (ngelmu) dan pengetahuan (kawruh) memang kerapkali tak dapat diceraikan, namun keduanya dapat dipilah. Ketika yang pertama seolah dapat tak memiliki konsekuensi apapun (“kalakone kanthi laku” dan “mupakate lan panemu”), maka yang kedua dapat menyebabkan kerelaan pada segala konsekuensi yang otomatis ditempuh (“lekase lawan kas” dan “pasahe lan tapa”).

Hasil dari kawruh itulah yang lazim dikenal sebagai akhlaq ataupun pepacak. Maka, karena berlakunya istilah “pahlawan” itu secara semena-mena, orang Jawa di masa lalu lebih mengenal istilah “ksatria” daripada “pahlawan” yang hanyalah sekedar salah satu karakteristik dari seorang ksatria.

Ketika istilah “pahlawan” itu ditalikan pada istilah Jawa “ksatria,” maka yang terjadi bukanlah semata gelar. Namun, adalah sebuah “jejer” atau peran dan fungsi. Bukankah dalam bentuk masyarakat hinduistis “ksatria” itu adalah sebuah kasta yang sama sekali tak ada kaitannya dengan kepantasan ataupun ketakpantasan sebagaimana istilah “pahlawan” yang sekarang dianggap mesti bersandarkan pada azas kepantasan?

Dengan istilah “ksatria” itulah konon orang-orang Jawa Mataraman dapat memahami sekaligus memaklumi sosok, misalnya, Amangkurat Agung (ngelmu) yang, walau bagaimana pun, adalah salah satu penyambung sejarah kekuasaan di tanah Jawa (kawruh).

Barangkali, yang sejatinya “pahlawan” pada akhirnya bukanlah sosok-sosok yang dianggap pantas menyandangnya, yang tentu saja semuanya telah tiada. Namun, yang sesungguhnya “pahlawan” itu adalah mereka yang merasa mewarisinya. Sebab, di Jawa “pahlawan” atau “ksatria” itu adalah rela ketika kehilangan (lila lamun/ kelangan nora gegetun), menerima ketika menyandang (trima yen kataman), dan legawa pasrah pada Yang Kuasa (trilegawa nalangsa srahing Bathara). Inilah beberapa pepacak atau karakteristik dari seorang “ksatria” yang tak sekedar berilmu (ngelmu), namun juga berpengetahuan (kawruh).

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Ketika Virus Radikalisme mulai Menginfeksi Pola Pikir Siswa; Guru Tidak Boleh Abai!

Fenomena radikalisme di kalangan siswa bukan lagi ancaman samar, melainkan sesuatu sudah meresap ke ruang-ruang…

3 jam ago

Pendidikan Bela Negara dan Moderasi Beragama sebagai Benteng Ekstremisme

Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya, menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan…

4 jam ago

Narasi Tagut : dari Doktrin ke Aksi Teror-Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 9 November 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

7 jam ago

Guru Pendidik: Menanamkan Budi Pekerti dan Nalar Kritis Ektremisme

Dalam dinamika sosial yang semakin kompleks, peran guru pendidik tidak hanya berkutat pada transfer pengetahuan…

1 hari ago

Menyelami Peran Guru di Era Serba ‘Klik’

Dulu, untuk mengetahui penyebab Perang Diponegoro atau memahami rumus volume kubus, seorang siswa harus duduk…

1 hari ago

Potret Buram Beban Guru di Tengah Runtuhnya Benteng Keluarga

Peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta pada awal November 2025 lalu bukan sekadar insiden kriminal…

1 hari ago