Kebangsaan

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di Gresik. Kenyataan ini menjadi bahan refleksi betapa rentannya komunitas-komunitas tertentu dalam melaksanakan ritual keagamaan mereka, dan betapa arogansi kelompok lain dalam melihat yang berbeda.

Fenomena ini memaksa kita untuk merenungkan, bagaimana kita dapat mengatasi kesenjangan ini dan merawat keberagaman yang seharusnya menjadi kekuatan bangsa?

Dalam lanskap agama di Indonesia, perbedaan perlakuan antara mayoritas dan minoritas seringkali mencuat dengan jelas. Umat Islam, sebagai mayoritas, sering kali dapat menjalankan ibadahnya dengan nyaman dan aman, dengan masjid yang tersebar luas di pelosok negeri. Namun, di sisi lain, agama minoritas sering merasakan ketidakamanan dan keterbatasan dalam menjalankan ibadah mereka.

Dalam banyak kasus, Gereja, pura, vihara, atau tempat ibadah lainnya sering kali harus berjuang untuk memperoleh perlindungan dan keamanan yang sama seperti yang dinikmati oleh umat Islam. Disparitas ini menjadi cerminan yang mengkhawatirkan dalam realitas keberagaman di Indonesia.

Tentu saja, permasalahan seperti ini tidak serta merta terjadi begitu saja, tanpa kita sadari bahwa kesenjangan dalam beribadah sering kali berakar dari struktur sosial dan politik yang diskriminatif. Sebagai contoh, adanya peraturan daerah atau kebijakan lokal yang secara tidak langsung membatasi pembangunan tempat ibadah bagi kelompok minoritas. Ini terjadi di berbagai daerah, di mana izin pembangunan tempat ibadah menjadi alat kontrol politik dan sosial.

Ledakan kecil yang terjadi di tengah masyarakat sejatinya juga didorong oleh kondisi kebijakan politik yang tidak ramah perbedaan. Kebijakan yang belum mampu mengakomodasi kepentingn masyarakat marginal dan minoritas menjadi landasan absah bagi masyarakat masyoritas untuk bertindak sebagai kelompok yang lebih diuntungkan.

Karena itulah, kasus intoleransi bukan sekedar dilihat dari aspek kultural semata, tetapi ada intoleransi struktural di berbagai daerah yang didesain oleh peraturan daerah yang tidak inklusif. Kebijakan atau simbolisasi peraturan daerah yang menonjolkan kelompok tertentu sejatinya menjadi penegasan bagi tumbuhnya intoleransi kultural di tengah masyarakat.

Salah satu contoh, misalnya, slogan kabupaten tertentu yang mencantumkan visi tentang terciptanya masyarakat yang relijius/islami. Istilah-istilah ini sejatinya bagus bagi kelompok tertentu, tetapi tidak bagi yang lain apalagi di tengah wilayah yang sangat beragam dan multicultural.

Artinya, proses diskriminasi, intoleransi dan pengunggulan mayoritas tidak hanya ada di level masyarakat, tetapi juga dipromosikan oleh kebijakan struktural. Menggunakan terma-terma keagamaan tertentu sejatinya dengan sendirinya mengekslusi kelompok yang lain.

Sejatinya, kebijakan di berbagai daerah yang terlihat menonjolkan aspek tertentu harus belajar dari bagaimana rumusanya Pancasila dilakukan. Ketika terjadi perdebatan istilah “kewajiban melaksanakan syariat Islam” dalam rumusan Piagam Jakarta dihapuskan, secara semangat hal ini bisa dibawa dalam rumusan-rumusan lain terkait kebijakan keagamaan.

Karena itulah, penting bagi pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk membuat ruang yang nyaman bagi semua agama. Regulasi harus mampu melindungi kepentingan bersama. Bukan sekedar salah masyarakat yang terkadang bertindak intoleran, tetapi karena ruang regulasi dan kebijakan juga terkadang belum memihak kepada kelompok yang berbeda.

Ketika berbicara kebijakan berdimensi “publik”, kepentingan yang ada adalah kepentingan yang dapat mengakomodir aspirasi, nilai, dan norma bersama. Tidak ada lagi di ruang publik nuansa yang menonjolkan dan meminggirkan yang lain. Kebijakan harus berbicara dalam bahasa publik yang tidak hanya dapat dimengerti bersama, tetapi merasa milik bersama.

Pemerintah harus mendesain wilayahnya menjadi ruang dan tempat tinggal yang nyaman bagi semua kelompok. Pemerintah harus menjadi fasilitator yang menaungi tidak hanya kelompok tertentu, tetapi semua kepentingan masyarakat.

Septi Lutfiana

Recent Posts

Menghidupkan Kembali Dakwah Nusantara yang Akulturatif dan Akomodatif di Tengah Gempuran Dakwah Transnasional

Dakwah Islam di Nusantara memiliki sejarah panjang yang khas dan membedakan diri dari banyak model…

8 jam ago

Dakwah Bil Hikmah : Anjuran Al-Quran untuk Beradaptasi dengan Kearifan Lokal

Ada maqalah yang sangat menarik bahwa Al-haq bilâ nizham yaghlibuhul bâthil bin nizham." Arti sederhananya…

13 jam ago

Dakwah Puritan; Syiar Islam yang Tidak Relevan dengan Konteks Keindonesiaan

Dakwah puritan atau dakwah yang kencang mengkampanyekan pemurnian agama menjadi tren yang semakin menonjol dalam…

13 jam ago

Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya…

1 hari ago

Dakwah Sufistik ala Nusantara; Menggali Esoterisme, Membendung Ideologi Transnasionalisme

Jika kita melacak fakta sejarah, tampak jelas bahwa penyebaran Islam di Nusantara periode awal itu…

1 hari ago

Peran Ulama Lokal dalam Merawat Syiar Islam Nusantara di Era Dakwah Transnasional

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, memiliki keragaman budaya dan tradisi yang…

1 hari ago