Narasi

Lakon Perempuan Radikal Atau Srikandi Persatuan?

Banyak sekali tayangan video yang bisa kita peroleh dengan mudah mengenai keharusan perempuan untuk hijrah (baca: beralih) dari cara hidup yang sebelumnya dianggap kurang menampilkan kereligiusan untuk dapat lebih religius. Tentu dalam konteks kebutuhan spiritualitas setiap individu, hal ini tidak jadi masalah. Persoalan muncul tatkala urgensitas hal ini mulai menghadirkan arogansi dalam perwujudannya. Bahkan karena hal ini, pemaksaan ideologi dengan menggunakan kekerasan pun mulai banyak terjadi di masyarakat. Mulai bermunculannya wajah perempuan yang menjadi penggerak sikap-sikap radikal atas nama agama, menjadikan fenomena yang ada menjadi lebih kompleks. Contoh nyata keterlibatan perempuan dalam ekskalasi isu terorisme adalah kejadian pada 12 Desember 2016 lalu di sekitaran istana Presiden Republik Indonesia. Hal lainnya lagi yang bahkan sulit terdeteksi adalah bagaimana peran perempuan dalam meningkatkan ekskalasi isu radikalisme, misalkan di dunia maya atau doktrin dalam masing-masing keluarga mengenai radikalisme beragama.

Sekilas pesan yang tampak dipermukaan adalah para perempuan tersebut merupakan penggerak perubahan karena merasa diri mereka telah menemukan sebentuk kebenaran. Namun Dibalik itu semua, kita pun tidak bisa abai dengan adanya faktor pendukung dan pemicu hal tersebut terjadi. Faktor-faktor tersebut memiliki ragam wujud, salah satunya adalah adanya agen yang memiliki kepentingan. Sehingga, kita pun harus berbesar hati bila kita mulai menaruh curiga bahwa adanya potensi bila para perempuan tersebut hanya menjadi semacam capital (modal). Modal di sini bermakna sebagai alat yang digunakan pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan atau hanya sekedar upaya untuk mewujudkan kepentingan. Kepentingan yang menyusup dibelakang penggunaan perempuan sebagai modal ini adalah kepentingan para kelompok radikal yang menunggangi Islam, di mana kecenderungan paling kuat dari tujuannya adalah untuk memaksakan ideologi Islam puritan layaknya yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah.

Islam Radikal dan Quasi Kapitalisme-nya

Bila kapitalisme secara sederhana dimaknai sebagai ideologi ekonomi-politik yang berasumsi bahwa segala sesuatu dapat menjadi modal guna memperoleh keuntungan khususnya dalam memperoleh kekuasaan, maka persoalan mengenai instrumentalisasi Islam dalam koridor radikakalisme erat relevansinya dalam ruang perbincangan mengenai Kapitalisme atau menyerupai Kapitalisme (quasi-kapitalisme).

Baca juga : Ibu Kekinian Edukasi Kebangsaan Pada Anak

Setidaknya jejak hal ini bisa kita amati pada agenda pengembalian ajaran agama yang puritan dengan memaksakan negara agar menghancurkan keberagaman yang telah ada. Belakangan orang-orang ini bahkan telah mentransformasikan gerakan mereka layaknya kapitalis (quasi-kapitalisme). Dengan mempergunakan agama sebagai alat, para perempuan yang kebanyakan berasal dari kaum urban dibentuk sebagai modal baru untuk mengkampanyekan dan memperjuangkan langsung ajaran ini di semua lini. Melalui pelibatan para perempuan dalam aktifitasnya, kelompok ini berhasil menuai cukup banyak keuntungan dari langkahnya tersebut. Sebab melalui perempuan, banyak ruang yang mampu mereka jangkau untuk mengkampanyekan pemahaman mereka. Ruang-ruang seperti keluarga, lingkungan masyarakat hingga media sosial mampu dijangkau dengan sangat smooth. Melalui perempuan, pihak-pihak yang memiliki pemahaman radikal sangat potensial menciptakan generasi-generasi yang berfikir ekstrimis-rasis dalam melihat bangsa ini tanpa terendus.

Perempuan yang telah dibentuk menjadi modal ini sebenarnya layak disebut sebagai pelaku-korban (Pelakor). Sebab pada akhirnya mereka pun harus menjadi pion yang diatur oleh isu dan kepentingan kelompok Islam radikal tersebut. Ironisnya, banyak dari kaum perempuan yang menjadi korban ini seringkali terlambat menyadari atau bahkan tetap tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban atas hal tersebut. Kebanyakan dari mereka hanya beranggapan bahwa hal ini merupakan sebentuk keberpihakan mereka kepada agama. Mereka meyakini bahwa hal ini penting untuk dilakukan, sebab hal ini merupakan sebuah langkah ketegasan seorang manusia yang berupaya memegang teguh ajaran agama.

Menjadi Srikandi Persatuan

Bila ini terus dibiarkan hanya akan menjadi penyakit bagi bangsa ini. Bila bangsa ini ingin kembali pulih, maka perempuan harus mulai menyadari bahwa dirinya bukanlah bagian dari persoalan tersebut. Perempuan harus mulai meliterasi diri dan kemudian memilih menjadi agen radikal atau Srikandi Persatuan. Bila pilihan menjadi Srikandi diambil, maka perempuan pun mesti masuk dalam kancah perang. Perang yang dimaksud tentu tidak dalam makna literal.

Salah satu contoh menarik dan bisa dijadikan sebuah pedoman menuju masyarakat yang inklusif dengan perempuan sebagai Srikandi perubahannya adalah contoh yang dibuat oleh Perempuan Mosintuwu di daerah Poso. Para perempuan tersebut menyadari bahwa konflik yang terjadi pada periode 1998 lalu, memang dilakukan oleh pria. Namun para perempuan yang umumnya Ibu-ibu tersebut melihat bahwa diri mereka sebenarnya dapat mengambil peran preventif sebagai king maker yang dapat membuat konflik itu semakin memanas atau pun menjadi anti-klimaks. Fenomena ini merupakan sebentuk kenyataan bagaimana para perempuan di sana ternyata mampu menjadi pengatur isu yang beredar. Peran mereka dalam mengatur komunikasi dengan sesama perempuan dalam ruang-ruang domestik (baca: rumah) ternyata tidak hanya akan berhenti sampai di situ. Obrolan atau informasi yang mereka dapatkan pada akhirnya akan sampai pula kepada suami mereka. Proses penyaringan yang tepat dan literasi yang dibangun dalam ruang-ruang domestik ternyata dapat menjadi salah satu benteng preventif pecahnya konflik.

Fredy Torang WM

Penerima Asian Graduate Student Fellowship - Asia Research Institute 2016, Pengajar di program studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

View Comments

Recent Posts

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…

15 jam ago

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

15 jam ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

15 jam ago

Mengapa Tidak Ada Trias Politica pada Zaman Nabi?

Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa…

4 hari ago

Kejawen dan Demokrasi Substantif

Dalam kebudayaan Jawa, demokrasi sebagai substansi sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum istilah “demokrasi”…

4 hari ago

Rekonsiliasi dan Konsolidasi Pasca Demo; Mengeliminasi Penumpang Gelap Demokrasi

Apa yang tersisa pasca demonstrasi berujung kerusuhan di penghujung Agustus lalu? Tidak lain adalah kerugian…

4 hari ago