Narasi

Ibu Kekinian Edukasi Kebangsaan Pada Anak

Semenjak masyarakat dimudahkan teknologi dan berbagai platform media sosial untuk akses informasi, kebohongan menjadi sulit dikendalikan. Apalagi, sifat media sosial yang cepat tanpa peduli akurasi kontennya, membuat narasi apapun yang disebar bisa diakses warganet pengguna media sosial tersebut. Sehingga, berita bohong yang disebar tinggal menunggu beberapa detik saja untuk diakses publik.

Ada banyak kasus kekerasan yang bermula dari berita bohong di media sosial. Hal ini lantaran masyarakat gegabah dalam menerima informasi. Langsung percaya saja dan dengan semangat tinggi yang dibaluti perpektif jihad yang keliru, misalnya, tak segan ia melangkahi kemanusiaan demi menegakkan agama. Bukankah yang demikian hanya akan mengurai persatuan warga-bangsa ini?

Patut diamati survei Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) berkaitan dengan berita bohong. Melalui ketua presidium, Septiaji, Mafindo mengatakan bahwa sepanjang 2015 hingga 2018 terdapat 997 berita bohong atau hoaks yang beredar di masyarakat. Sementara hoaks yang paling banyak adalah berkaitan dengan politik, disusul isu agama. Adapun bentuk hoaks yang paling sering ditemui adalah terkait foto dan narasi yang tidak relevan. (suara.com).

Hoaks provokatif yang mengandung unsur politik juga telah memporakporandakan interaksi sosial kita. Sebagai contoh, nenek lumpuh yang jenazahnya ditolak dishalati di masjid lantaran beda pilihan politik dengan mayoritas –pada saat pemilihan Gubernur DKI. Meski tokoh agama setempat menampik penolakan tersebut, tapi fakta membuktikan bahwa ada baliho terpampang di sebuah masjid yang bertuliskan ultimatum penolakan masyarakat menyalati jenazah muslim yang mendukung ‘penista agama’.

Baca juga : Emak-Emak Bijak Kebal Radikalisme dan Hoax

Muslim yang baik tentu tidak akan menelantarkan saudara seimannya. Namun sayangnya, hanya karena narasi politik yang dibumbui dengan dalil-dalil agama asal comot, menyebabkan muslim yang ‘awam’ percaya begitu saja. Dan, ini telah menggejala hampir ke seluruh lapisan masyarakat; karena yang disukai masyarakat hari ini adalah narasi yang sensasional sekalipun tidak valid; bisa menikmati alur cerita tanpa peduli kebenaran cerita tersebut.

Konsumsi berita bohong yang berlebih akan berdampak buruk bagi kesehatan pikir kita. Karena, kebohongan yang diproduksi dan dikosumsi secara terus menerus, pada titik tertentu akan dianggap sebagai kebenaran. Jika sudah begitu, seseorang akan gagap jika sewaktu-waktu menemui hal yang berbeda dari kebenaran yang diyakininya.

Sebenarnya pemerintah telah berupaya meredam sebaran hoaks, tapi kemampuan mereka terbatas. Pemerintah tidak bisa jalan sendiri, melainkan butuh kerja sama dengan masyarakat. Lingkup kecil dari sebuah masyarakat adalah keluarga. Jadi, anggota keluarga yang telah dewasalah yang mesti ‘mengkader’ anaknya untuk bersikap dan laku yang toleran. Sementara sosok yang tepat untuk menjalankan tugas tersebut adalah ibu.

Adapun bentuk perjuangannya, kita bisa mencari referensi yang melimpah, baik di buku maupun media sosial. Misalnya, RA Kartini. Agaknya gebrakan RA Kartini ini bisa menjadi spirit para ibu dan perempuan untuk ikut andil dalam kerja-kerja publik. Jika dulu RA Kartini memperjuangkan pendidikan khusus perempuan, maka ibu dan perempuan yang lainnya mesti meniru –tentu dengan kontekstualisasi.

Misalnya, karena dulu akses pendidikan perempuan terbatas, karena itu RA Kartini berjuang supaya perempuan bisa sekolah. Sementara hari ini, telah ada peningkatan partisipasi masyarakat dalam menyekolahkan anaknya. Pun, pemerintah dan swasta juga telah banyak memberikan beasiswa bagi peserta didik dengan kualifikasi tertentu. Pun dalam film Where We Go To Now. Dalam film tersebut, ditonjolkan para perempuan yang berupaya menyelamatkan kampung mereka dari perpecahan berbasis agama.

Maka untuk ibu-ibu kekinian, hal yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan mengedukasi anaknya untuk tidak mudah terprovokasi. Bahwa pembentukan kepribadian anak banyak terjadi di lingkup keluarga. Karena, di samping ajaran moral-lisan, juga anak mendapat teladan dari kehidupan anggota keluarga.

Mengenalkan anak-anak pada sosok-sosok pejuang perdamaian juga bisa menjadi alternatifnya. Sehingga, semenjak kecil, anak-anak akan terbiasa dengan narasi damai yang didapatkan dari cerita sang ibu. Jelaskan pula konten-konten yang tidak layak dibaca lantaran hanya memuat berita bohong. Juga, memberikan manifestasi NKRI yang termaktub dalam pilar-pilar Negara-bangsa ini. Sehingga, anak akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang cinta damai, cinta Negara, dan dengan begitu juga cinta kemanusiaan.

Latifatul Umamah

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago